Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Siswaku Nyaris Putus Sekolah Gegara Game Online

5 Juni 2024   21:02 Diperbarui: 6 Juni 2024   12:49 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak sedang bermain game online (sumber BBC Via Kompas)

Siswa bermasalah sejauh ini kerap dihubungkan dengan siswa yang menunjukkan perilaku nakal, suka mengganggu temannya, atau melakukan hal-hal yang melanggar peraturan sekolah. Jika kita kembali kepada pendidikan secara menyeluruh, siswa bermasalah dapat diartikan sebagai istilah yang merujuk kepada siswa yang menghadapi berbagai tantangan atau kesulitan dalam konteks pendidikan. 

Tantangan atau kesulitan tersebut bisa tampak dalam beragam bentuk. Siswa dapat dianggap bermasalah jika menunjukkan perilaku yang tidak wajar secara sosial atau dalam interaksi dengan teman-temannya, seperti, merusak sarana prasaran sekolah, suka mengganggu temannya, melakukan tindakan bullying, atau tawuran 

Dalam hal disiplin, tantangan siswa dapat ditunjukkan dengan sering tidak mengerjakan tugas, tidak masuk sekolah, suka terlambat, atau sering bolos.

Tantangan paling umum yang dihadapi peserta didik berhubungan kesulitan belajar, tidak fokus, atau lamban memahami instruksi dalam proses pembelajaran. 

Permasalahan juga dapat merujuk kepada sisi emosional peserta didik. Aspek ini dapat menyangkut kecemasan, depresi, kemarahan, rendah diri, atau pengalaman masa lalu yang menimbulkan traumatik.

Semua jenis masalah itu merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Hal ini tentu membutuhkan perhatian ekstra dan dukungan khusus dari para guru dan ahli lainnya agar mereka dapat mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

Setiap sekolah secara niscaya dihadapkan pada satu atau lebih peserta didik bermasalah. Permasalahan yang muncul akan berbeda secara individu maupun pada lingkup institusi atau satuan pendidikan.

Adalah Iwan (bukan nama sebenarnya) salah seorang siswa di sekolah saya mengalami masalah yang agak unik. Dia tidak masuk sekolah selama lebih dari satu setengah bulan. Pada minggu pertama ketidakhadiran Iwan di sekolah, guru kelas sudah menyampaikan kepada saya terkait permasalahan yang dihadapi siswanya.

Iwan merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai pekerja migran di Malaysia. Ibunya mengisi keseharian dengan bertani pada sepetak sawah dan mengambil upah menjahit dari sebuah UMKM di bidang garmen.

Iwan sebenarnya dikenal sebagai anak yang baik di sekolah. Dia sosok yang pendiam. Di sekolah dia memiliki hubungan pergaulan yang normal dengan teman-temannya. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya masalah dalam interaksi sosial di sekolah. Hubungannya dengan semua guru juga baik-baik saja.

Dalam kegiatan tertentu di luar kegiatan belajar, Iwan menunjukkan perilaku yang responsif. Dia juga cukup bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas piket atau kerja gotong royong di sekolah. Sesekali saya meminta jasanya untuk membelikan minuman air mineral di warung dekat sekolah. Iwan nurut.

Secara motorik Iwan juga mengalami perkembangan yang normal, mulai dari, berjalan, berlari, melompat, menangkap sebuah benda, atau melakukan gerakan lainnya. Kemampuan akademiknya tidak terlalu buruk.

Sebagaimana siswa pada umumnya, setiap individu memiliki masalah dalam kegiatan belajar. Iwan juga mengalami hal serupa. Permasalahan Iwan terletak pada kegiatan belajar yang melibatkan kegiatan menulis, seperti, menjawab atau menyelesaikan tugas tertentu, mencatat hal-hal penting tentang materi pelajaran, atau menjawab lembar kerja yang disediakan guru. Menghadapi tugas-tugas sejenis, Iwan cenderung "kuwalahan" dan kurang bersemangat.

Di balik permasalahan itu, Iwan lebih menyenangi pembelajaran yang melibatkan praktek. Misalnya, memelihara tanaman, membaca puisi, atau kegiatan lain yang memerlukan kerja fisik. Bahkan, dia pernah terlibat dalam pentas teater yang dilakukan sekolah.

Melalui teman-temannya guru kelas mencoba menanyakan kabar dan penyebab Iwan tidak masuk sekolah. Berdasarkan informasi teman sekampungnya, Iwan tidak mau masuk sekolah dengan alasan yang tidak jelas. Iwan lebih banyak di kamar.

Untuk memastikan informasi tersebut, guru kelas mencoba melakukan kunjungan rumah untuk mencari informasi sebenarnya dan melakukan dialog agar Iwan dapat masuk sekolah sebagaimana biasa. Dalam kunjungan tersebut, Iwan hanya mendekam di kamarnya dan tidak mau bertemu dengan guru. Iwan baru keluar melalui proses yang cukup lama setelah dibujuk guru dan ibunya.

Dalam kunjungan itu gurunya tidak dapat memastikan secara jelas penyebab Iwan tidak masuk sekolah. Namun, berdasarkan informasi dari ibunya, selama tidak masuk sekolah hampir sepanjang hari Iwan berada di kamarnya. Sepanjang itu pula Iwan hanya berkutat dengan handphone bermain game. 

Saat diminta masuk sekolah Iwan lebih banyak menggeleng. Berkali-kali Iwan dibujuk tetapi dia tetap pada pendirian. Merasa tidak berhasil gurunya kembali dengan harapan kosong. 

Penasaran dengan informasi itu, beberapa hari berikutnya saya mencoba melakukan hal yang sama, menemui Iwan untuk mengajaknya kembali ke sekolah. Ternyata upaya saya jauh di bawah ekspektasi. 

Sebagaimana dialami guru kelasnya, saya menemukan Iwan mengurung diri di kamar. Saya dan ibunya berusaha membujuknya agar keluar dan bisa ngobrol bersama.

Agak lama juga Iwan mengurung diri. Dengan sabar saya dan ibunya membujuk Iwan dari luar kamar agar mau keluar. Sekitar 10-15 menit berlalu akhirnya Iwan keluar juga. 

Saya dan Iwan duduk berhadapan. Saya mulai mengajak Iwan berdialog dengan bertanya beberapa hal. Mengapa dia tidak masuk? Bagaimana perasaan Iwan di sekolah? Apa yang membuatnya nyaman atau ridak nyaman saat berada di sekolah? Saya juga mengorek keterangan mungkin ada guru atau temannya yang membuatnya sedih atau ketakutan?

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak satupun dijawabnya. Saya mencoba memberikan pengertian bagaimana ayahnya bersusah payah pergi ke Malaysia dengan tujuan agar dia dan adiknya dapat sekolah. Demikian juga dengan ibunya yang ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena ayahnya tidak selalu dapat mengirimkan uang.

Saya mengajak Iwan berefleksi tentang hal-hal yang menarik atau kegiatan yang membuatnya senang di sekolah sembari membujuknya agar mau masuk kembali. Namun sayang, Iwan semua bujukan dan ajakan itu hanya direspon dengan gelengan kepala. Sejenak ada perasaan jengkel saat dengan jelas dia mengatakan "tidak mau masuk".

Akhirnya saya mengalah. Beberapa hari lalu saya diskusikan lagi dengan guru kelasnya untuk mencari jalan keluar supaya Iwan kembali ke sekolah.

Dalam diskusi itu, dalam perkiraan guru kelasnya, penyebab Iwan tidak mau masuk sekolah karena sudah kecanduan game. Dalam pikiran saya ini memerlukan psikolog. Tetapi mau cari psikolog di mana?

Pada titik ini, saya ingat Iwan merupakan salah satu siswa penerima BSM (Bantuan Siswa Miskin). Saya pikir ini bisa menjadi senjata untuk memaksa Iwan kembali ke sekolah.

Sebelum menemui Iwan saya dan guru sepakat untuk menyampaikan peringatan berupa pemberian sanksi agar dana BSM yang sudah diterima dikembalikan ke sekolah. Sanksi lainnya akan dikeluarkan dari data kesiswaan dan dinyatakan putus sekolah.

Saat menyampaikan ancaman sanksi itu, ibunya mengatakan tidak mungkin mengembalikan dana BSM yang telah diterima Iwan karena tidak punya uang. Sembari menangis, ibunya mengizinkan sekolah menyita handphone milik Iwan.

Mendengar handphonenya di sita, Iwan tampak khawatir. Akhirnya Iwan menyatakan bersedia masuk sekolah kembali. Sampai artikel ini saya tulis Iwan sudah masuk sekolah seperti biasa.

Secagai catatan, terkait pengembalian dana BSM dan penyitaan handphone sebenarnya hanya sebatas ancaman. Sekolah tidak mungkin melakukannya. Berdasarkan pengalaman di atas, saya berasumsi bahwa rupanya Iwan kembali ke sekolah karena takut handphonenya disita sekolah. Kekhawatirannya bukan ancaman pengembalian BSM. Iwan membayangkan betapa menyedihkan hidupnya jika handphonenya disita sekolah. 

Kasus Iwan di atas menunjukkan bahwa betapa dahsyatnya pengaruh game online ketika anak-anak sudah mengalami kecanduan. Mungkin tidak semua anak mengalami hal semacam itu.

Saya tidak akan memberikan solusi bagaimana mengatasi kecanduan game online. Ada banyak artikel yang menawarkan tips untuk mencegah dan menghentikan kecanduan tersebut. Iwan hanya salah satu dari banyak kasus kecanduan yang terjadi. Diperlukan kontrol orang tua untuk mencegahnya.

Lombok Timur, 05 Juni 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun