Seorang siswa laki-laki memegang tongkat dengan kepala dililit ikat kepala. Tubuhnya telanjang dada dan wajahnya dibalut make up yang membuatnya tampak seperti kakek-kakek renta.
Seorang siswa lainnya mengenakan kaos singlet putih dan celana kolor. Rias wajahnya mewakili sosok menyeramkan. Mulutnya bertaring, matanya memerah, dan rambut awut-awutan.
Seorang siswa perempuan membawa boneka dalam gendongannya laiknya seorang ibu muda sedang momong bayi yang baru dilahirkan. Siswa itu mengenakan kain sebagai busana ciri khas perempuan kampung di masa lampau. Siswa perempuan lainnya mengenakan pakaian yang sama. Siswa perempuan usia menjelang pintu remaja itu dibalut pakaian sedemikian rupa sehingga tampak seperti perempuan dewasa.
Anak-anak ABG itu merupakan siswa kelas 6 di sekolah saya. Mereka tengah berlatih teater untuk mengisi jeda waktu setelah ujian sekolah dan pengumuman kelulusan.
Secara umum kelas 6 SD di Kabupaten Lombok Timur telah rampung mengikuti ujian sekolah. Biasanya setelah ujian siswa merasa seakan sudah tamat atau lulus. Mereka pun memilih tidak masuk sekolah.
Banyak dari mereka mengisi waktu luang itu dengan keluyuran ke mana-mana. Bisa jadi mereka pamit dari rumah untuk pergi ke sekolah tetapi nongkrong di tempat-tempat tertentu. Anak-anak usia kelas 6 secara umum berada pada fase yang sedang labil. Mereka cenderung rentan terlibat dalam pergaulan yang tidak diharapkan.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan sekolah menyibukkan mereka dengan kegiatan sanggar. Di sini mereka melakukan beberapa hal positif, salah satunya, berlatih teater.
Dikutip dari Gramedia, secara spesifik, seni teater merupakan sebuah seni drama yang menampilkan perilaku manusia dengan gerak, tari, dan nyanyian yang disajikan lengkap dengan dialog dan akting.
Teater merupakan seni peran dimana seseorang harus melepaskan karakter pribadinya. Pemain teater harus menjadi orang lain saat berhadapan dengan penonton.
Agar dapat menjalani sebuah peran, saat berada di panggung seorang pemain teater harus memiliki kemampuan menghayati perannya. Seorang siswa yang memerankan sosok lanjut usia harus dapat menghayati perilaku seorang kakek atau nenek. Dia harus terlihat renta, berjalan tertatih dan terlihat bongkok, atau tampil dengan ekspresi yang mencerminkan karakter sejenisnya.
Tentu tidak mudah ketika seorang siswa dituntut memerankan karakter yang berbeda dari kesehariannya. Sebagai pemain teater mereka harus keluar dari cangkang asalnya dan masuk ke cangkang yang berbeda.
Kekuatan Imajinasi
Satu hal yang pasti, kemampuan menghayati peran dalam teater sangat ditentukan oleh kemampuan imajinasi untuk memainkan karakter tertentu.
Evan Sanderson seorang advokat seni menulis, dalam blog Americans for The Art, bahwa imaginasi memiliki reputasi buruk di mata banyak orang. Imajinasi dianggap sebagai sebuah kenaifan dan ketidakhadiran pikiran. Evan menentang anggapan ini. Baginya, tidak ada pola pikir yang lebih merusak selain menganggap imajinasi sebagai sesuatu yang tidak layak untuk dikembangkan.
Apa itu kemampuan imajinasi? Dikutip dari Meriam Webster, imaginasi dimaknai sebagai tindakan atau kekuatan membentuk gambaran mental tentang sesuatu yang tidak ada pada indra atau belum pernah dirasakan seluruhnya dalam kenyataan.
Kemampuan imajinasi sebagai kerja mental merupakan kemampuan sistem kognisi seseorang untuk membayangkan objek atau peristiwa yang tidak ada, tidak ada saat ini, atau telah terjadi di masa lalu. Imajinasi memungkinkan seseorang berpikir untuk mengembangkan pengalaman sehari-hari.
Imajinasi disulut oleh rasa ingin tahu. Hal ini mendorong keinginan kuat bagi seseorang untuk belajar, mengeksplorasi, dan menemukan hal-hal baru. Imajinasi menimbulkan kecenderungan untuk melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda..
Imajinasi dapat pula diartikan sebagai kemampuan untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan baru, mengeksplorasi perspektif yang berbeda, dan memimpikan ide-ide baru. Bahkan imajinasi membuat Anda menantang status quo. Tanpa rasa ingin tahu dan imajinasi, hidup akan menjadi statis, kita menjadi berpuas diri, menolak perubahan, dan berpikiran tertutup.
Imajinasi dalam Teater
Kekuatan imajinasi membuat pikiran seseorang mampu membayangkan tentang hal-hal yang berada di luar pengalaman empirisnya. Daya imajinasi dipercaya dapat membuat seseorang menyelami seluruh dunia di dalam pikirannya.
Karenanya, penting untuk mengasah kemampuan imajinasi sejak dini. Semakin banyak anak-anak menggunakan imajinasi, semakin besar kemungkinan mereka menggunakan imajinasi mereka secara alami sepanjang hidup mereka--dalam pemecahan masalah, dalam pekerjaan, dan dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat.
Dilansir dari laman childresearch.net, pengembangan kemampuan imaginasi pada anak-anak dapat dilakukan melalui teater. Sebuah organisasi bernama Gemini Theatre Company di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, yang didirikan oleh Lani Cataldi dan Dennis Palko pada tahun 1996, mencoba mengembangkan kekuatan imajinasi anak-anak melalui teater. Organisasi teater nirlaba ini melakukannya dengan misi "menumbuhkan kreativitas, imajinasi, dan orisinalitas melalui seni pertunjukan."
Kekuatan imajinasi tidak saja bermuara pada keberhasilan seseorang memperoduksi karya tertentu. Imajinasi juga meliputi tumbuhnya sikap positif yang diperlukan dalam rangka menjalani kehidupan sosial.
Menumbuhkan empati dan sikap toleransi terhadap sesama
Sebagai sebuah seni peran, pelajaran teater memberikan kesempatan kepada siswa untuk memerankan berbagai karakter, dengan latar belakang sosial budaya, keyakinan, pandangan, dan pengalaman hidup yang berbeda.
Perbedaan peran itu memungkinkan siswa untuk memahami perasaan sesama. Dengan menghayati kebutuhan, pandangan, dan perspektif orang lain melalui pengalaman langsung dalam teater akan dapat menumbuhkan sikap empati dan toleransi terhadap sesama.
Sebagai ilustrasi, ketika siswa memerankan tokoh yang dihadapkan pada kemiskinan, dia harus berimajinasi dan menghayati peran tersebut. Hal ini akan membuat siswa merasakan dan memahami penderitaan orang lain yang mendorong tumbuhnya kepekaan dan sikap empati terhadap sesama--sebuah keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam pergaulan sehari-hari.
Memberikan ruang yang aman untuk berekspresi
Teater tidak semata-mata bersifat hiburan. Lebih dari itu, seni peran ini dapat menjadi media untuk menyampaikan pesan-pesan moral, mengekspresikan pikiran, dan menyampaikan kritik sosial. Melalui teater siswa dapat mengeksplorasi identitas, perasaan, dan pemikiran secara kreatif tanpa menerima kemarahan, beban penghakiman, dan penilaian negatif.
Sebagaimana seni pada umumnya kritik sosial melalui teater akan terasa lebih elegan, lebih lembut, dan bersahabat. Pesan-pesan yang disampaikan melalui teater diklaim memiliki kekuatan persuasif tersendiri.
Banyak contoh dimana sebuah (ide atau kritik) yang disampaikan melalui ceramah, pidato, atau diskusi kerap tidak dapat mempengaruhi perspektif orang banyak tentang sebuah isu. Melalui teater pesan yang diasampaikan dapat diterima dengan baik dan mempengaruhi pikiran orang lain tanpa harus merasa dipaksa.
Sebagai contoh, seseorang yang melakukan pencurian karena terpaksa dalam dunia nyata kerap identik dengan kejahatan dan menimbulkan kebencian. Dalam teater, ketika aksi pencurian dilakukan karena alasan sulitnya lapangan pekerjaan, bisa jadi akan menimbukan empati kepada penonton. Hal ini bukan berarti bahwa penonton membenarkan tindakan pencurian itu sendiri. Namun, dengan latar cerita tertentu penonton akan menerima pencurian itu sebagai sesuatu yang wajar.
Melatih komunikasi
Teater melibatkan proses interaksi antar pemain. Ada proses dialog--berbicara dan mendengarkan. Ini merupakan kemampuan komunikasi.
Teater tidak dapat dilepaskan dari komunikasi, dialog. Dalam dialog itu, pemain harus mampu menunjukkan intonasi yang tepat dan pengucapan yang jelas. Pemain teater harus dapat memproyeksikan suara--berbicara secara wajar tanpa harus berteriak atau berbisik yang membuat penonton tidak dapat menangkap suara dengan jelas. Dialog tidak saja secara verbal tetapi juga ekspresi wajah dan gestur tubuh. Semua itu merupakan proses komunikasi yang diperlukan dalam pentas teater.
Komunikasi bukan hanya berbicara--memproyeksikan suara--tetapi juga mendengarkan. Dalam proses dialog pemain harus tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam dan mendengarkan.
Ini menyangkut pembelajaran etika sosial dalam kehidupan nyata. Dalam kehidupan sehari-hari kita kerap hanya ingin didengarkan tetapi tidak memiliki cukup kemampuan untuk mendengarkan orang lain. Teater mengajarkan anak-anak untuk menjadi pembicara sekaligus menjadi pendengar yang baik.
Mengembangkan sikap percaya diri
Secara pribadi anak-anak kerap dihadapkan pada sikap rendah diri dalam pergaulan. Tidak saja anak-anak, gejala rendah diri atau tepatnya sikap tidak percaya diri acapkali menghantui orang dewasa. Saya sendiri tidak menafikan bahwa ketika berdiri di depan sekumpulan audiens tidak jarang dirundung sikap grogi akibat munculnya rasa tidak percaya diri.
Teater sebagai seni pertunjukan mau tidak mau harus berhadapan dengan penonton. Keterlibatan siswa di atas panggung sejak dini, setidaknya dapat membangun sikap percaya diri siswa saat berhadapan dengan banyak pasangan mata. Terbiasa menjadi pusat perhatian di atas pentas dapat menjadi pemicu berkembangnya sikap percaya diri dalam berbagai situasi.
Lombok Timur, 01 Juni 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H