Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rumah Adat Limbungan, Terjepit dalam Keangkuhan Modernitas

14 April 2024   22:48 Diperbarui: 15 April 2024   09:37 1522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Rumah Adat Limbungan, Desa Perigi, Kecamatan Suela, Lombok Timur, NTB (Dokumen Pribadi)

Jarum penunjuk hitungan menit pada arloji di tangan saya sudah melampaui angka 12 siang. Sebuah suara azan melengking melalui corong TOA dari masjid sebelah kiri jalan. Waktu Zuhur telah tiba. Saya masuk masjid di persimpangan jalan itu dan shalat bersama warga setempat.

Usai shalat saya keluar dari masjid. Dari pintu gerbang masjid terlihat sebuah papan nama dengan tulisan "Komunitas Adat Limbungan". Warna tulisan itu terlihat sudah mulai pudar. 

Sekitar 2 meter sebelah kiri papan nama itu berdiri sebuah penunjuk arah bertuliskan Limbungan Barat dengan tanda panah mengarah ke barat dan Limbungan Timur dengan tanda panah ke timur. Rupanya siang itu, Minggu, 14 April 2024, saya sudah tiba di ujung perkampungan Limbungan. 

Limbungan merupakan sebuah perkampungan tua di Lombok. Perkampungan ini terletak di Desa Perigi, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Lokasinya berada di ketinggian bukit, sekitar 750 di atas permukaan laut. Dari Mataram menuju perkampungan Limbungan berjarak sekitar 72 km. Dari Bandara Internasional Praya perjalanan menuju Limbungan sekitar 67 km.

Untuk menuju ke Limbungan cukup mudah. Perjalanan ke tempat ini dapat menggunakan roda empat atau sepeda motor. Saat ini akses ke tempat itu cukup baik dengan kondisi jalan yang sudah beraspal. Hanya saja perjalanan cukup menanjak dengan sejumlah kelokan.

Bagian menarik dari perjalanan ke Limbungan adalah pemandangan alam yang cukup mempesona. Di satu sisi, tampak perbukitan yang terdiri dari persawahan dan perkebunan warga. Di sisi lain, hamparan selat Alas yang memisahkan Lombok dan Sumbawa tampak begitu menawan. Pesona alam dari ketinggian itu benar-benar menakjubkan.

Perkampungan Limbungan merupakan jejak masa lalu yang masih tersisa. Jejak itu masih terlihat jelas pada bangunan tradisional yang ada di dalam perkampungan tersebut. 

Perkampungan tua Limbungan merupakan pemukiman dengan bangunan rumah adat yang khas. Rumah adat tersebut diyakini telah menunjukkan keberadaannya sejak ratusan tahun yang lalu.

Kumpulan rumah adat itu terletak di dua tempat yang terpisah, Limbungan Timur dan Limbungan Barat. Rumah-rumah yang dibangun dengan gotong royong itu menggunakan konsep blok. Setiap blok membentuk garis lurus dan terdiri dari 7 sampai 11 rumah. Rumah-rumah itu didirikan dengan jarak yang hampir sama antara rumah yang satu dengan rumah lainnya.

Struktur Bangunan

Secara umum, rumah adat Limbungan dibangun berbentuk segi empat dengan atap menyerupai limas. Semua rumah memiliki bentuk serupa dan menghadap ke arah timur.

Struktur bangunan rumah adat relatif rendah dibuat dengan bahan alam, mulai dari lantai hingga atap. Lantainya terbuat dari batu dan tanah liat dipadatkan. Jika sudah padat permukaan lantai dilapisi lagi dengan adukan tanah liat yang kental.

Lantai yang telah kering dilumuri lagi dengan kotoran sapi atau kerbau dan getah tumbuhan Banten (Jaranan). Menurut warga setempat, kotoran itu digunakan agar permukaan halus. Ini mungkin terkesan jorok tetapi jika sudah mengering lantai akan mengeras seperti semen. Sedangkan getah Banten berfungsi untuk mencegah serangga masuk ke dalam rumah.

Saya ingat saat masa kanak-kanak saat orang tua menjemur padi di halaman. Setelah halaman disapu sampai bersih, permukaannya dilumuri dengan kotoran sapi. Fungsinya untuk merekatkan debu dengan tanah sehingga tidak bercampur dengan padi yang akan dijemur.

Untuk menopang seluruh bangunan, rumah adat menggunakan tiang penopang. Jumlah tiang tergantung ukuran rumah.

Dinding pelindung rumah adat dibuat dengan bahan dasar bambu yang telah dianyam. Dinding bambu itu biasanya direkatkan pada tiang penopang di samping rangka tambahan untuk memperkuat dinding.

Rumah adat itu tidak dilengkapi dengan jendela. Untuk pencahayaan dan sirkulasi udara, rumah adat memanfaatkan celah dinding yang terbuat dari anyaman bambu.

Rangka atap rumah adat secara keseluruhan berbahan bambu. Atapnya menggunakan tumbuhan alang-alang kering yang telah dianyam sedemikian rupa. Anyaman alang-alang itu kemudian direkatkan ke rangka atap dengan tali yang terbuat dari bambu.

Sesangkok dan Bale Dalem

Rumah adat Limbungan hanya memiliki dua ruangan. Ruangan depan disebut dengan istilah sesangkok (semacam beranda). Ruangan lainnya dikenal dengan nama bale dalem.

Bale dalem dan sesangkok dihubungkan dengan sebuah pintu. Satu pintu lagi ditempatkan di sesangkok untuk keluar menuju halaman. Pintu-pintu yang dibuat dengan bambu itu dibuka atau ditutup dengan cara digeser ke kiri atau ke kanan.

Sesangkok berfungsi sebagai tempat menerima tamu atau tempat berkumpul bersama keluarga. Uniknya bale dalem berfungsi sebagai ruang tidur, tempat penyimpanan barang berharga, dan dapur.

Permukaan lantai sesangkok dan bale dalem juga berbeda. Lantai bale dalem dibuat lebih tinggi dari sesangkok. Untuk masuk ke bale dalem biasanya dilengkapi dengan undakan/tangga yang juga dari tanah liat.

Pantek

Masing-masing rumah memiliki pantek. Biasanya berada di depan rumah. Pantek juga dibangun dengan bahan alam. Bangunan ini memiliki empat tiang yang menggunakan kayu besar sebagai penyangga utama. Rangka atap juga menggunakan bambu, kayu dan alang-alang.

Pantek berbentuk bangunan panggung yang terdiri dari dua bagian. Bagian bawah yang berupa panggung merupakan semacam saung atau gazebo, fungsinya sebagai tempat bersantai atau melepaskan penat. Pantek juga berfungsi sebagai tempat menerima tamu atau tetangga yang datang berkunjung.

Di atas panggung terdapat ruangan. Ukurannya bervariasi. Lantai ruangan menggunakan papan kayu. Fungsinya sebagai tempat penyimpanan padi atau hasil pertanian lainnya. Pantek juga berfungsi sebagai tempat menerima tamu.

Bong

Rumah adat Limbungan tidak memiliki fasilitas kamar mandi dan toilet. Untuk keperluan mandi, cuci pakaian, dan keperluan lain keluarga rumah adat harus ke sungai. Untuk menyimpan air mereka menggunakan bong, semacam penampungan air yang terbuat dari tanah liat. Tidak ada penampungan air yang terbuat dari semen dan batu-bata. Semua bahannya benar-benar dari alam.

Saat ini sanitasi rumah adat sudah mulai membaik. Pemerintah daerah telah memfasilitasi keluarga rumah adat dengan air yang bersumber dari pegunungan. Warga tidak perlu lagi mengambil air ke sumber mata air di sungai dengan bersusah payah. Air sudah dialirkan melalui pipa ke setiap rumah untuk di tampung pada bong yang tersedia.

Penerangan

Salah satu sentuhan modern yang dapat ditemukan di rumah adat Limbungan adalah penerangan elektrik. Setiap rumah sudah menikmati aliran listrik. Hal ini memungkinkan penghuni rumah adat memiliki kesempatan menonton tivi.

Terjepit Moderenitas

Berdasarkan dialog dengan salah seorang pria penghuni rumah adat, di area perkampungan itu dilarang membuat bangunan yang terbuat dari bahan lain selain dari alam. Jika ada yang ingin membangun rumah permanen, yang bersangkutan harus keluar dan membangun di tempat lain.

Menurutnya, alang-alang merupakan bahan yang paling sulit didapatkan saat ini. Tanaman yang berfungsi sebagai atap rumah itu saat ini sulit ditemukan dan harganya cukup mahal. Dia menunjuk rumahnya yang belum bisa diperbaiki karena belum mendapatkan alang-alang. Untuk sementara dia terpaksa menumpang di rumah keluarganya yang tinggal di seberang jalan.

Di antara rumah adat tersebut terlihat beberapa rumah yang sudah rusak dan ditinggal pemiliknya. Mereka belum dapat membangun kembali rumahnya lantaran biaya dan bahan yang dibutuhkan semakin sulit ditemukan.

Sebagian rumah itu memang telah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Namun sebagian besar dari mereka berupaya sendiri membangun dan memperbaiki rumah tinggal mereka. Beberapa fasilitas memang telah mendapatkan intervensi dari pihak terkait, seperti, tembok pembatas kompleks rumah adat dengan rumah lain yang berada di luar kompleks.

Rata-rata mereka yang bertahan di rumah adat adalah orang tua. Anak-anak muda dan keturunan mereka lebih banyak keluar dari perkampungan rumah adat dan memilih membangun rumah di tempat lain. Kalaupun ada pasangan kelaurga muda yang tinggal di rumah adat karena mereka belum mampu membuat rumah permanen di tempat lain.

Rumah adat Limbungan saat ini telah dikepung oleh bangunan rumah modern. Di sekeliling rumah adat telah tumbuh pemukiman lain yang dominasi oleh bangunan beton dan bertingkat. Rumah adat Limbungan sekilas seperti sebatang flora yang tak terawat. Jika dibiarkan lambat laun flora itu akan tunduk di bawah kekuatan modernitas yang jumawa.

Fakta tersebut menunjukkan keberadaan rumah adat Limbungan secara perlahan terus menerus terdesak oleh modernitas. Jika anak-anak muda setempat sudah tidak lagi tinggal di rumah adat, lambat laun kearifan lokal itu akan terhapus dan hilang dari sejarah.

Rumah adat Limbungan sejauh ini memang tidak sepopuler desa adat lain, seperti, Desa Sade dan Desa Ende di Lombok Tengah. Namun dalam terjangan badai kemajuan modern, rumah adat Limbungan masing bertahan walaupun terlihat ringkih. 

Saya tidak memiliki kelimuan dalam dunia pariwisata. Akan tetapi bukan tidak mungkin tempat ini akan menjadi pusat wisata yang menarik apabila di kelola dengan baik. Tentu saja harus dimulai dari anak-anak muda setempat. Sayangnya sebagian besar anak-anak muda itu hanya memiliki kemampuan sebagai pekerja migran ke Malaysia. Pulang dari rantauan anak-anak itu meninggalkan cangkang dasarnya dan memilih tinggal di cangkang lain di luar kompleks rumah adat.

Lombok Timur, 14 April 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun