Biasanya pelaku menjalnkan aksinya dengan mengirimkan pesan bernuansa seksual kepada korban melalui lelucon, gambar, foto, audio dan video. Pelaku kekerasan juga mengambil merekam dan atau mengedarkan foto, rekaman audio atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
Berdasarkan uaraian tentang kekerasan seksual berbasis elektronik di atas, saat ini penggunaan media daring sebagai alat untuk melakukan tindakan kekerasan seksual begitu banyak ditemukan. Lihat saja bagaimana plaform media sosial begitu masif menyediakan informasi-informasi berupa foto dan video yang berbau pornografi yang memungkinkan seseorang untuk berfikir melakukan tindakan-tindakan yang mengarah kepada kekerasan seksual secara fisik.
Pola Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan
Kekerasan seksual di satuan pendidikan dapat dilakukan oleh guru kepada murid, guru kepada guru, kepala sekolah kepada guru, non guru kepada murid atau guru, atau bahkan bisa dilakukan murid terhadap guru.
Salah satu pola kekerasan seksual di satuan pendidikan adalah pelaku memerankan diri sebagai orang tua (ayah atau ibu) bagi korban. Pelaku akan menanamkan keyakinan kepada korban bahwa pelaku selalu bersedia membantu korban dalam hal apa saja. Apalagi jika korban memiliki latar belakang yang kurang mendapatkan perhatian dari orang tua. Kondisi ini dapat menjadi pintu masuk pelaku untuk melancarkan aksinya.
Pola lainnya yaitu adanya rasa superior pelaku terhadap korban. Hal ini dapat dilakukan seorang murid laki-laki kepada guru perempuan di sebuah sekolah. Awal tahun 2022 lalu, sebagaimana diberitakan TribunNews, seorang murid laki-laki melecehkan guru perempuan di depan kelas. Murid tesebut melancarkan aksinya dengan menggambar perempuan dengan pakaian dalam.
Apa yang dilakukan murid tersebut merupakan bentuk kekerasan seksual yang dipicu oleh adanya sikap superior siswa. Apa yang dilakukan oleh murid tersebut disebabkan oleh adanya sikap superiornya sebagai laki laki kepada perempuan.
Perempuan dalam kasus di atas tidak saja seorang guru tetapi juga tentu lebih dewasa dibandingkan murid tersebut. Namun, dengan sikap superiornya sang murid menganggap bahwa laki-laki harus terlihat lebih kuat dan lebih berkuasa dibandingkan perempuan. Sikap seperti ini membuat murid berani melakukan tindakan kekerasan.
Pencegahan Tindakan Kekerasan Seksual
Pencegahan kekerasan seksual di sekolah melibatkan upaya bersama dari semua pihak, termasuk sekolah, guru, siswa, orang tua, dan komunitas. Ini sudah jelas. Sekolah tidak dapat melakukan pencegahan sendiri.
Salah satu cara yang dapat ditempuh sekolah adalah dengan menyelipkan pendidikan seksual dalam pembelajaran. Siswa sejak dini harus mendapatkan pemahaman tentang hubungan sosial yang sehat, batasan pribadi, dan persetujuan.
Diskusi tentang hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas pada kelompok masyarakat tertentu kerap dianggap tabu. Bertrand Russel dalam sebuah buku berjudul "Serpih-Serpih Pemikiran Bertrands" (2003) dengan lantang menyerukan pentingnya diskusi ilmiah tentang seksualitas.
Bahkan dalam ajaran agama Islam yang saya anut, seksualitas menjadi salah satu bagian yang mendapatkan perhatian serius. Misalnya, Islam sangat tidak menganjurkan, bahkan melarang, umatnya memandang perempuan yang berpakaian terbuka. Hal ini jelas untuk mencegah seseorang melakukan tindakan-tindakan yang mengarah kepada kekerasan seksual.