Pertama, kekerasan seksual verbal atau tanpa kontak fisik. Kekerasan seksual semacam ini dapat terjadi dimana saja dan kapan saja.
Dalam materi pelatihan mandiri Platform Merdeka Mengajar dijelaskan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu 1) kekerasan seksual secara verbal atau tanpa kontak fisik, 2) kekerasan seksual fisik, dan 3) kekerasan seksual dengan berbasis elektronik.
"Hai Gemoy!" merupakan celetukan sederhana. Gemoy dalam celetukan tersebut berarti "gemas" atau "menggemaskan". Jika kata itu digunakan untuk menyapa balita yang lucu dan memang menggemaskan jelas tidak dapat disebut sebagai kekerasan seksual. Demikian juga ketika dihubungkan dengan gaya Prabowo dengan goyang gemoy dalam aksi panggung politiknya. Ini tentu bukanlah istilah yang mengacu kepada kekerasan seksul tetapi berhubungan dengan gaya sang Capres sebagai sebuah identitas dan taktik di atas panggung politik.
Berbeda ketika seorang pria menggunakan celetukan dengan menyertakan kata "gemoy" itu untuk menggoda seorang gadis dengan tubuh montok dan menarik. Di lingkungan pendidikan celetukan sambil lalu itu, apabila dilakukan oleh seorang guru atau murid kepada salah satu warga sekolah, dapat digolongkan sebagai kekerasan seksual. (selengkapnya tonton di sini)
Secara umum kekerasan seksual verbal dan non fisik dapat berupa ujaran yang berupaya mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik kondisi tubuh dan atau identitas gender korban. Kekerasan seksual verbal melibatkan penggunaan kata-kata atau bahasa yang merendahkan, merendahkan, atau menyinggung secara seksual terhadap seseorang tanpa izin atau persetujuan mereka.
Kekerasan seksual non fisik juga dapat berupa memperlihatkan alat kelamin kepada korban, menyampaikan ucapan yang memuat rayuan lelucon dan atau siulan yang bernuansa seksual pada korban, mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan atau pada ruang yang bersifat pribadi.
Kedua, Kekerasan seksual lainnya adalah kekerasan seksual yang melibatkan kontak fisik antara pelaku terhadap korban. Ini merupakan kategori kekerasan seksual fisik. Dalam dunia pendidikan kekerasan seksual fisik dapat berupa pemberian hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual.
Kekerasan seksual fisik lainnya dapat berupa tindakan menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk mencium, dan atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.
Tindakan yang lebih ekstrem dapat juga berupa tindakan membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban, memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual, melakukan percobaan perkosaan, termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin. Bagian dari kategori ini juga memperdayai korban untuk melakukan aborsi, memaksa, atau memperdaya korban untuk hamil
Ketiga, Bentuk kekerasan seksual yang kerap ditemukan adalah penggunaan media elektronik untuk melakukan aksi. Tindakan ini populer disebut dengan kekerasan seksual berbasis media elektronik atau kekerasan seksual daring.
Kekerasan seksual berbasis media elektronik dimaknai sebagai tindakan kekerasan seksual dengan menggunakan media digital seperti platform media sosial, game online, aplikasi kencang, atau platform digital lainnya. Pelaku kekerasan dapat menggunakan media teks atau narasi, gambar, atau video.