Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secarik Rujukan untuk Bibi Sum

19 November 2022   21:21 Diperbarui: 19 November 2022   21:30 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kepala saya pusing. Ada nyeri di pundak dan pangkal lengan. Sakit sekali. Seperti keseleo," kata Bibi Sum mengeluh.

"Sejak kapan?" saya melayani keluhannya dengan bertanya.

"Sudah dua tiga hari ini."
"Gula darah Bibi terakhir berapa?"
"Kalau hasil pemeriksaan terakhir mendekati normal. Kadang juga naiknya tinggi. Sebenarnya saya mau berobat ke rumah sakit. Di puskesmas sepertinya tidak ada perubahan. Saya minta rujukan dari puskesmas. Tetapi pihak Puskesmas belum bisa memberikan. Alasannya masih bisa ditangani."

"Memang peraturannya seperti itu, Bi," saya menenangkan Bibi.

"Tetapi saya tidak merasakan perubahan. Saya berharap bisa ditangani di rumah sakit."

Bibi Sum tampak mulai ringkih. Faktor usia membuatnya mudah sakit. Beliau kerap mengeluh dengan sakit yang dideritanya. Sudah beberapa tahun terakhir beliau rutin melakukan kontrol ke puskesmas terdekat dengan mengandalkan kartu BPJS.

Tidak saja diabetes. Ada asam urat yang acapkali tidak terkendali. Saat asam urat meningkat beliau merasakan nyeri di berbagai persendian.

"Kalau tidak diberikan rujukan kita ke rumah sakit saja Bi. Tidak usah menggunakan BPJS. Pasien umum saja. Bayarnya juga tidak seberapa."
"Biasanya bayar berapa kalau pasien umum?"
"Paling-paling hanya 100-150 rb. Kalau cuma segitu tidak masalah."
"Kalau hanya sebesar itu Bibi ada uang."
"Bibi tidak usah pikirkan. Yang penting Bibi harus berobat."
"Kamu ada kesempatan mengantar Bibi?"
"Besok sampai seminggu ke depan saya tidak sibuk. Kapan Bibi siap?"
"Kalau begitu besok saja, ya."

Esok harinya saya mengantar Bibi ke sebuah rumah sakit swasta di kota kecamatan. Sebuah rumah sakit kecil yang mungkin fasilitasnya belum dapat dianggap lengkap. Rumah sakit itu memiliki beberapa layanan spesialis. Pelayanannya cukup baik. Hal ini terlihat dari keramahan satpamnya, petugas loket pendaftaran, sampai petugas yang melayani pengambilan obat. Dokternya apalagi. 

Bibi sudah lama berharap bisa mendapatkan kesempatan berobat ke rumah sakit. Setiap kali ke puskesmas beliau memohon agar bisa diberikan rujukan ke rumah sakit terdekat dengan secarik kartu BPJS gratis yang dimilikinya. Akan tetapi, permohonannya selalu ditolak dengan dalih bahwa penyakit itu masih bisa ditangani di Puskesmas.

Pada titik rasa sakit yang tidak dapat ditahan lagi saya membawa beliau ke rumah sakit terdekat dengan status pasien umum. Setelah menyampaikan keluhannya, dokter melakukan tindakan awal dengan melakukan pemeriksaan gula darah. 

"Selama ini berobat di mana Bu?"
"Di puskesmas Pak Dokter."
"Sudah lama?"
"Lama Pak Dokter."
"Selain ke Puskesmas, ke mana lagi?"
"Hanya ke puskesmas Pak Dokter."
"Sekarang kita cek darah dulu ya, Bu."

Dokter meminta asistennya untuk mengantar kami ke ruang lab. Bibi menjalani pemeriksaan darah. Hasil pemeriksaan dibawa kembali ke dokter.

"Ini gula darahnya sangat tinggi Bu. Sudah mencapai 370. Ibu harus rawat inap. Bagaimana Pak? Bapak siapanya?" Dokter meminta persetujuan saya.

"Saya keponakannya. Bagaimana baiknya Dok," saya menyerahkan keputusannya pada Dokter.

"Ibu punya BPJS?" tanya Dokter kepada Bibi.

"Ada Pak Dokter," Bibi merogoh tas dan mengeluarkan kartunya.

"Kenapa baru sekarang ke rumah sakit?"

"Puskesmas tidak memberikan rujukan Pak Dokter. Katanya saya masih bisa ditangani," kata Bibi dengan nada melapor.

"Ya sudah. Mungkin pihak Puskesmas memiliki pertimbangan sendiri," kata Dokter dengan bijaksana.

"Tetapi Pak," saya memotong. "Apa BPJS itu bisa berlaku tanpa rujukan dari puskesmas?"

"Jangan dipikirkan. Ibu harus mendapatkan perawatan. Itu tanggung jawab saya dan rumah sakit. Yang penting pihak keluarga mengijinkan Ibu menjalani rawat inap," kata Dokter meyakinkan saya dan Bibi.

Saya menatap Bibi. Ada kegembiraan di balik masker yang menutup wajahnya. Kegembiraan bahwa Bibi akan mendapatkan perawatan yang lebih baik. Sebuah harapan sederhana bahwa Bibi akan menjalani penanganan medis dengan cara yang lebih serius. 

"Keluarga Bu Sum," seorang petugas pendaftaran di depan pintu ruang pemeriksaan memanggil saat keluar dari ruangan dokter. Saya mendekat.

"Keluarga Bu Sum?"
"Ya. Saya keluarganya."

"Untuk keperluan rawat inap, Bapak harus menandatangani beberapa dokumen. Bagaimana Pak?" tanya petugas itu.

"Iya. Mana yang harus saya tanda tangani?"

Petugas itu menyodorkan dokumen. Saya tidak membacanya karena saya yakin dokumen itu menyangkut persyaratan administratif pihak rumah sakit.

Dua malam bibi mendapatkan perawatan dan diperbolehkan pulang karena kondisinya dianggap sudah membaik. Selanjutnya bibi menjalani rawat jalan secara berkala. Sebelum pulang pihak rumah sakit menyarankan agar Bibi mengajukan surat rujukan ke puskesmas agar BPJS bisa digunakan.

"Mudah-mudahan Puskesmas bisa memberikan rujukan," kata Bibi penuh harap.

"Ini pengantar dari rumah sakit Bi. Pihak Puskesmas pasti memberikan. Bibi tenang saja. Nanti saya yang urus," saya menenangkan Bibi.

Sesuai petunjuk pihak rumah sakit saya mengantar bibi ke puskesmas untuk mengajukan rujukan rawat jalan dengan membawa surat pengantar dari rumah sakit. Saya menemani bibi sampai ruang dokter dimana beliau biasa ditangani di Puskesmas.

Setelah melakukan pendaftaran pengunjung, saya dan bibi menuju ruang pemeriksaan dan diterima petugas dan dokter. Saya menyampaikan permasalahan itu dan mengajukan rujukan kepada mereka dengan menunjukkan rekomendasi dari rumah sakit agar kartu BPJS dapat digunakan.

Dokter dengan nada ragu bertanya tentang kadar gula darah saat diperiksa. 

"Apakah saat pengambilan darah Ibu dalam keadaan puasa atau sudah makan selama 12 jam terakhir?"
"Saya membawa Bibi sejak siang, Pak. Malam harinya baru menjalani pemeriksaan darah," saya menjelaskan.
"Menurut hasil pemerikasaan kami gula darah Ibu masih dalam batas normal," kata dokter itu ambil membuka hasil catatan medis selama berobat di puskesmas.

Saya hanya diam memperhatikan dan mendengarkan penjelasan dokter itu walaupun pada akhirnya pihak Puskesmas bersedia memberikan rujukan.

"Padahal masih dalam batas normal ya? Kenapa rumah sakit memberikan rekomendasi?" Kata sang dokter kepada petugas dari balik tirai setelah pamit keluar dan mendapatkan rujukan.

Saya membatin dalam hati, "Jika pasien pengguna BPJS merasa tidak mengalami perubahan dengan penanganan puskesmas, tidak berhakkah pasien meminta rujukan ke rumah sakit sebagai faskes berikutnya?"

Parameter yang mana yang digunakan sebagai dasar pemberian rujukan? Kondisi pasien yang merasa tidak mengalami kondisi yang lebih baik atau puskesmas yang masih merasa memiliki kemampuan untuk memperbaiki keadaan pasien?

Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam pikiran saya. Pihak Puskesmas "merasa" mampu menangani pasien dan pasien "merasa' tidak mengalami perubahan yang lebih baik.

Saya dan Bibi keluar. Bibi tampak senang dengan secarik rujukan dari puskesmas. Saya berjalan menuju tempat parkir dan mengambil sepeda motor. Saya dan Bibi pulang.

Lombok Timur, 19 November 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun