Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Embung Kandong, Cekungan Kecil Jantung Para Petani

4 November 2022   08:35 Diperbarui: 10 November 2022   17:06 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Enam kali seminggu paling tidak saya hanya bepergian melintas di jalan yang sama dari rumah ke sekolah. (dokpri)

Saat musim kemarau tiba permukaan air akan surut. Jika kemarau panjang seringkali embung tidak tergenang air dan mengering. Kondisi ini dimanfaatkan masyarakat untuk bertani berbagai jenis tanaman yang tidak memerlukan air dalam jumlah banyak. Pemerintah desa setempat menjadikan lahan embung itu sebagai pecatu. 

Istilah pecatu dalam bahasa Sasak mengacu pada lahan pertanian yang diberikan kepada pegawai kantor desa atau kelurahan untuk digarap sebagai bentuk kompensasi atau imbalan selama mengabdikan diri sebagai pegawai. Saat penerima pecatu purna tugas, lahan itu dikembalikan kepada pemerintah desa untuk diberikan dan digarap pegawai lainnya. Demikian seterusnya.

Genangan Embung yang ditanami (Pecatu)
Genangan Embung yang ditanami (Pecatu)

Tempat Bersantai

Pemerintah desa juga menyediakan area bersantai pada salah satu sisi tanggul embung. Area itu dilengkapi dengan sebuah saung bambu yang sengaja dibangun sebagai tempat melepas penat para pelintas atau tempat kongkow warga. Di sekitar saung, di bawah rindang pohon mangga disediakan tempat duduk dari ban bekas yang ditanam setengahnya. 

Saung/Area bersantai (dokpri)
Saung/Area bersantai (dokpri)

Sayang area itu sekarang kurang terawat. Sebagian besar area sudah dikuasai rumput liar. Saung sudah mulai ringkih.

Bilah bambu yang menyusun saung memisahkan diri satu per satu. Sandarannya yang tampak tanggal menegaskan bahwa saung itu sedang mempercepat langkahnya menuju titik paling ringkih, secepat anak-anak yang terjun dari ketinggian pintu air atau secepat air mengalir saat pintu air embung dibuka.

"Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi," kata AA Navis dalam cerpen Robohnya Surau Kami.

Lombok Timur, 04/11/2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun