Saat musim kemarau tiba permukaan air akan surut. Jika kemarau panjang seringkali embung tidak tergenang air dan mengering. Kondisi ini dimanfaatkan masyarakat untuk bertani berbagai jenis tanaman yang tidak memerlukan air dalam jumlah banyak. Pemerintah desa setempat menjadikan lahan embung itu sebagai pecatu.
Istilah pecatu dalam bahasa Sasak mengacu pada lahan pertanian yang diberikan kepada pegawai kantor desa atau kelurahan untuk digarap sebagai bentuk kompensasi atau imbalan selama mengabdikan diri sebagai pegawai. Saat penerima pecatu purna tugas, lahan itu dikembalikan kepada pemerintah desa untuk diberikan dan digarap pegawai lainnya. Demikian seterusnya.
Tempat Bersantai
Pemerintah desa juga menyediakan area bersantai pada salah satu sisi tanggul embung. Area itu dilengkapi dengan sebuah saung bambu yang sengaja dibangun sebagai tempat melepas penat para pelintas atau tempat kongkow warga. Di sekitar saung, di bawah rindang pohon mangga disediakan tempat duduk dari ban bekas yang ditanam setengahnya.
Sayang area itu sekarang kurang terawat. Sebagian besar area sudah dikuasai rumput liar. Saung sudah mulai ringkih.
Bilah bambu yang menyusun saung memisahkan diri satu per satu. Sandarannya yang tampak tanggal menegaskan bahwa saung itu sedang mempercepat langkahnya menuju titik paling ringkih, secepat anak-anak yang terjun dari ketinggian pintu air atau secepat air mengalir saat pintu air embung dibuka.
"Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi," kata AA Navis dalam cerpen Robohnya Surau Kami.
Lombok Timur, 04/11/2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H