Namun, di tengah keberhasilan mereka, keluarga Pak Rendra menghadapi tantangan. Jumlah anak-anak yang datang ke perpustakaan semakin bertambah, tetapi buku yang tersedia terbatas. Rak-rak yang dibuat Kiran mulai penuh, dan beberapa buku sudah terlihat usang karena sering digunakan.
"Ayah, kita butuh lebih banyak buku," kata Anindya suatu malam. "Aku melihat anak-anak membaca buku yang sama berulang-ulang."
Pak Rendra mengangguk, menyadari masalah itu. "Kita harus mencari cara untuk mendapatkan lebih banyak buku. Mungkin kita bisa meminta bantuan dari pihak luar."
Tantangan lain muncul saat beberapa orang tua di desa mulai ragu mengizinkan anak-anak mereka datang ke perpustakaan. "Mereka harus membantu di sawah, bukan duduk membaca buku," kata salah satu orang tua kepada Pak Rendra.
Pak Rendra memahami kekhawatiran itu. Ia lalu mengunjungi beberapa rumah, menjelaskan pentingnya pendidikan sambil menawarkan bantuan kepada keluarga-keluarga yang membutuhkan tenaga kerja tambahan di sawah. "Kami tidak ingin menghalangi pekerjaan mereka, tapi mari kita beri anak-anak sedikit waktu untuk belajar. Pendidikan adalah investasi bagi masa depan mereka," katanya dengan tulus.
Harapan dan Dukungan Baru
Di tengah tantangan tersebut, dukungan tak terduga datang dari Pak Lurah. Ia mendengar tentang proyek perpustakaan keluarga Pak Rendra dan merasa terinspirasi.
"Pak Pak Rendra, saya ingin membantu. Kita bisa mengadakan penggalangan dana kecil-kecilan di desa ini. Dengan uang itu, kita bisa membeli buku baru atau perlengkapan belajar," kata Pak Lurah.
Usul itu disambut baik oleh keluarga Pak Rendra. Mereka bekerja sama dengan warga desa untuk mengadakan acara sederhana berupa pasar murah dan pertunjukan seni kecil. Anindya memainkan biola, Raditya dan Arka menampilkan tarian tradisional, sementara Tasya membacakan puisi tentang harapan.
Hasil dari acara itu melebihi harapan. Mereka berhasil membeli banyak buku baru dan beberapa alat tulis untuk perpustakaan.
Memupuk Harapan