Mohon tunggu...
Moehammad Abdoe
Moehammad Abdoe Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan

Pelopor komunitas Pemuda Desa Merdeka (PDM, 2015) dengan gerakan yang mengangkat tema sosial dan seni musik jalanan. Karyanya berupa puisi dan cerpen beredar di sejumlah surat kabar dan majalah. Buku antologi puisi tunggal terbarunya yang telah terbit berjudul Debar Waktu (Elex Media Komputindo/Kompas Gramedia, 2021). Saat ini, ia masih tinggal di sebuah desa kecil di bawah lereng bukit kapur (Kalipare-Malang) sebagai penulis lepas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fobia

9 September 2020   15:42 Diperbarui: 9 September 2020   15:48 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ANAK itu bernama Habibi. Semua kawan di sekolah mengenalnya sebagai anak dengan fobia paling aneh. Sekujur badannya mengalir keringat dingin. Gatal-gatal dan sangat merasa ketakutan.

Duduk jongkok memeluk lutut di sudut kelas ketika jam istirahat. Di antara bangku-bangku panjang dan kerumunan anak. Kuku di tangannya saling mencakar ke seluruh bagian tubuh yang gatal, seperti sedang merobek-robek kulitnya. 

Amis darah serta daki kotor di kukunya tentu juga meracik sebuah aroma bangar. Menjijikkan. Memproduksi nanah dari bekas lukanya yang belum sempat kering sebelumnya. Tampak semakin buruk karena mendapat perlakuan yang kasar. 

Kali ini, Habibi sangat membenci hidupnya. Bahkan, jauh lebih benci dari kawan-kawannya sendiri yang selalu memandangnya rendah dan kerap memaki-maki. 

"Anak bodoh! Membaca saja tak lancar. Pantas jika tak naik kelas." Mereka tertawa.

Habibi diam. Takut. 

Tidak! Itu semacam tuduhan telanjang bagi mereka. Habibi tidak punya kawan. Dia hanyalah anak aneh di sekolah ini. Terutama di mata Sanu dan Ramon. Dua anak itu sengaja memasukkan buah rambutan ke dalam tasnya. 

Suasana di kelas menjadi keruh dan semakin panik. Melihat nyalang matanya, Habibi lebih tampak seperti orang sedang kerasukan setan. Kejang-kejang. Dari mulutnya keluar semacam busa. Sangat mengerikan. 

Langit-langit ruangan itu bukan lagi papan kosong. Semacam halusinasi, netra bawah sadar Habibi dapat melihat pusaran air yang membawa rohnya kembali ke masa lalu. 

"Mengapa Ibu tak kunjung pulang, Mak," Habibi kecil bertanya. Dia memanggil kakak perempuan dari ayahnya memang dengan sebutan "Emak". 

Larasati mengasuh Habibi karena memang dulu orang tua kandungnya harus mengadu nasib ke luar negeri. Saat itu, Habibi ditinggal masih berusia 35 hari, atau kalau orang Jawa bilang; selapan. 

"Ibumu lagi mencari duit toh, Le. Katanya kamu nanti mau melanjutkan sekolah SMP." 

"Habibi sekarang masih kelas IV, Mak. Kalau Ayah bisa pulang, kenapa Ibu tidak?" Habibi bertanya lagi. Tangannya membawa selembar foto kusam ibunya. Habibi ingin melihat wajah ibu kandungnya tidak hanya di kertas foto. "Apakah Ibu cantik, Mak?" 

"Ibumu cantik, Le. Sangat cantik. Rambutnya merah seperti kulit buah rambutan. Kamu dapat menjumpainya nanti setelah bisa membaca dan berhitung dengan benar. Apakah kamu sanggup, Le?" 

Hening. Habibi menatap Larasati dan .... 

"Kenapa begitu, Mak?" Habibi bertanya ulang. 

"Ibumu ndak mau pulang sebelum anaknya tumbuh menjadi orang hebat. Alasan itu supaya kamu rajin belajar toh, Le." 

Habibi diam berusaha mencerna dengan baik kata-kata Larasati. Anak itu memang punya kesulitan saat disuruh menggabungkan satu huruf dengan huruf lainnya. Apalagi soal berhitung. Habibi tidak suka matematika. Namun, demi ketemu ibunya Habibi akan menyukai apa pun yang tidak dia sukai. Habibi akan belajar lebih giat dari sebelumnya. 

Dengan alat hitung sempoa, Habibi belajar bagaimana cara menambah, mengurangi, dan melipatgandakan angka. Dia juga belajar membaca dari koran bekas yang biasa hari digunakan Larasati untuk membungkus nasi gudeg jualannya. 

Sampai di mana Habibi pernah mencuri dengar percakapan Larasati dengan ayahnya di teras. Semua mimpinya seakan percuma. Habibi marah. Dia tidak mau belajar berhitung dan membaca lagi. Habibi malas bangun pagi. Bahkan, sekarang dia juga benci seseorang yang pernah dikatakan cantik dan berambut seperti kulit buah rambutan itu. 

Acap kali mencium aroma rambutan, Habibi sekarang jadi merasa mual dan pusing. Ketakutan berlebihan membuatnya sering kejang-kejang. Kulitnya akan gatal-gatal jika tersentuh buah tersebut. Selain soal membaca dan berhitung, musim rambutan juga menjadi masalah baru dalam hidupnya. 

Jika dia masih punya kesempatan untuk hidup, pohon rambutan di depan kelasnya itu pasti akan menjadi bencana paling buruk dan mengerikan selama musim berbuah. 

***

HABIBI tersentak mencium aroma kayu putih. Picing matanya menangkap kilau cahaya lampu dari kamar UKS. Kancing baju seragamnya terbuka penuh dan menunjukkan bintik-bintik hitam seperti bekas luka korengan. Kedua tangan dan kakinya juga penuh dengan lilitan perban. 

Di sebelahnya, Bu Naning, seorang guru matematika yang selama ini Habibi benci, hari ini telah berjasa karena merawatnya. Senyumnya menjadi penanda seorang guru yang baik dan mulia. Habibi juga melihat Ramon dan Sanu berdiri di sebelah Bu Naning dengan pandangan tertunduk. 

"Bagaimana kondisimu sekarang, Nak?" Bu Naning bertanya. Suaranya penuh kehangatan. Menempelkan telapak tangannya ke rambut Habibi yang masih basah dengan keringat. 

Sebetulnya, Habibi sangat malu dengan semua kebaikan Bu Naning. Selama ini dia telah banyak merepotkan. Habibi menyesal. Namun, melihat Ramon dan Sanu itu, dia masih menaruh curiga. Dosa apalagi yang akan mereka perbuat untuk membuatnya lebih tersiksa. 

"Baik, Bu." Habibi menjawab dengan suara lirih. 

"Syukurlah. Ibu turut senang jika kondisimu sekarang sudah membaik." 

Prasangka Habibi ternyata salah. Keberadaan Ramon dan Sanu di UKS itu tidak lain adalah untuk meminta maaf dan menyesali semua perbuatan buruknya selama di sekolah. Bahkan, mereka juga berjanji akan membantu Habibi untuk melawan rasa takutnya saat melihat buah rambutan. 

"Buah apa yang kamu suka?" Ramon bertanya. Ramon dan Sanu duduk mengapit di sisi matras. Membiarkan Habibi tetap berbaring di tengahnya. 

Bu Naning sengaja memberi ruang untuk mereka memperbaiki kesalahannya masing-masing. 

"Aku suka dengan buah kurma," Habibi menjawab. 

"Apa yang kamu ketahui tentang buah itu?" tanya Sanu. 

"Manis." 

Sanu, yang setiap sore suka mendengarkan guru ngajinya bercerita tentang banyak hal, sekarang dia mulai mendongeng tentang riwayat buah kesukaan Habibi.

"Aku juga suka buah kurma," katanya. "Tapi karena harganya mahal, Pak Latif pernah bilang, jika orang Arab punya buah kurma untuk berbuka puasa, orang Indonesia punya buah rambutan. Pahalanya juga sama." 

Mendengar cerita dari Sanu, membuat Habibi tiba-tiba mengeraskan kedua rahangnya. Ramon dan Sanu selamanya memang tidak akan pernah menyukai Habibi selayaknya kawan. Dugaannya benar. Ceritanya itu seakan mengingatkan Habibi kepada lelaki berewok yang telah berani membawa ibunya kabur dari rumah. Dan mulai detik ini, dia berjanji tidak akan pernah menyentuh buah kurma itu lagi sampai kapan pun. (*)

Malang, 27 Juli 2020.

Moehammad Abdoe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun