HABIBI tersentak mencium aroma kayu putih. Picing matanya menangkap kilau cahaya lampu dari kamar UKS. Kancing baju seragamnya terbuka penuh dan menunjukkan bintik-bintik hitam seperti bekas luka korengan. Kedua tangan dan kakinya juga penuh dengan lilitan perban.Â
Di sebelahnya, Bu Naning, seorang guru matematika yang selama ini Habibi benci, hari ini telah berjasa karena merawatnya. Senyumnya menjadi penanda seorang guru yang baik dan mulia. Habibi juga melihat Ramon dan Sanu berdiri di sebelah Bu Naning dengan pandangan tertunduk.Â
"Bagaimana kondisimu sekarang, Nak?" Bu Naning bertanya. Suaranya penuh kehangatan. Menempelkan telapak tangannya ke rambut Habibi yang masih basah dengan keringat.Â
Sebetulnya, Habibi sangat malu dengan semua kebaikan Bu Naning. Selama ini dia telah banyak merepotkan. Habibi menyesal. Namun, melihat Ramon dan Sanu itu, dia masih menaruh curiga. Dosa apalagi yang akan mereka perbuat untuk membuatnya lebih tersiksa.Â
"Baik, Bu." Habibi menjawab dengan suara lirih.Â
"Syukurlah. Ibu turut senang jika kondisimu sekarang sudah membaik."Â
Prasangka Habibi ternyata salah. Keberadaan Ramon dan Sanu di UKS itu tidak lain adalah untuk meminta maaf dan menyesali semua perbuatan buruknya selama di sekolah. Bahkan, mereka juga berjanji akan membantu Habibi untuk melawan rasa takutnya saat melihat buah rambutan.Â
"Buah apa yang kamu suka?" Ramon bertanya. Ramon dan Sanu duduk mengapit di sisi matras. Membiarkan Habibi tetap berbaring di tengahnya.Â
Bu Naning sengaja memberi ruang untuk mereka memperbaiki kesalahannya masing-masing.Â
"Aku suka dengan buah kurma," Habibi menjawab.Â
"Apa yang kamu ketahui tentang buah itu?" tanya Sanu.Â