Mohon tunggu...
Reza Muhammad
Reza Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sosialita Paranoid

18 Juni 2017   11:02 Diperbarui: 18 Juni 2017   13:18 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selasa. 12:45.

Erlina melebarkan senyumnya. Ia mengangkat dagunya lebih tinggi. Posturnya yang sudah menjulang bak model kini terlihat lebih jenjang lagi. Ia mengayunkan kaki dengan tenang sambil mengambil langkah panjang-panjang menuju lift. Begitu pintu lift tertutup, ia menampari pipinya. Ia tak boleh menangis! Tidak karena diputuskan Ahmad, pacarnya selama setahun terakhir.

Gadis berambut panjang dengan layer ini bersyukur karena perjalanan dari kafetaria gedung Feminin Group menuju kantornya; majalah SOSIALITA, hanya berjarak tiga lantai. Begitu pintu lift terbuka, kacamata hitam sudah menyembunyikan jendela jiwanya. Memeras kemampuan akting habis-habisan, ia menyapa setiap staf yang berpapasan dengan ramah, ditambah basa-basi ala kadarnya. Yakin sudah tak akan bertemu dengan siapapun lagi di koridor kantor, ia berlari kecil dan masuk ke dalam toilet. Erlina membanting pintu dan meledakkan tangisnya di dalam.

Erlina menyesal karena memperkenalkan Ahmad dengan Rossa, model yang juga teman dekatnya sejak kuliah. Kini sahabatnya itu sudah merebut Ahmad. Dan Erlina, sang pimpinan redaksi majalah wanita kosmopolitan harus menerima kenyataan kalau dirinya dengan mudah dicampakkan demi  manekin berjalan yang ia percaya selama ini.

Dengan wajah yang terbanjiri airmata, ia melirik jam tangan Piaget hadiah ulang tahun dari Ahmad. Sudah lima menit sejak ia meratap. Dengan kesal dilepasnya jam tangan itu dan hampir dijebloskan ke dalam kloset. Sayang, harganya mahal, pikirnya. Lebih baik dijual saja. Akhirnya jam itu disorongkan ke bagian terdalam tas coklat berlogo dua huruf, yang lagi-lagi notabene pemberian sang kekasih.

Perempuan di penghujung usia 20 tahunan itu beranjak, menyeret langkahnya menuju cermin di dekat wastafel. Selanjutnya, cosmetic pouch yang sarat amunisi cantik siap membangun kembali kepercayaan dirinya yang limbung. Beberapa menit kemudian dia sudah sibuk memoles diri. Tak seorang pun boleh mengetahui kalau lima menit yang lalu pencetus motto "we're just as strong as men" menangis karena alasan yang pernah ia kategorikan 'sepele'. Perempuan yang ditempeli atribut sosialita cantik, sukses baik dalam karir maupun asmara ini harus siap memimpin rapat redaksi sebentar lagi.

Sepuluh menit kemudian, Erlina sudah berdiri di pintu ruang rapat.

"Siang, Mbak Erlina. Duh, batik dress-nya cetar banget, deh! Parang Kencana, yah?" Sofi, redaktur mode didikannya, menyambut dengan berbasa-basi sambil memastikan proyektor siap digunakan. "Makan siang di resto mana tadi, Mbak?"

"Siang juga, Sofi. Bukan. Bukan Parang Kencana. Ini Lennor. Aku tadi makan di kafetaria saja, kok," sahut  Erlina. Menyunggingkan senyum tipis, ia berusaha berjalan dengan ceria menuju ujung ruangan. Kursi kebesarannya ada di sana.


"Lho? Mas Ahmad memangnya kemana?" tanya gadis berkulit sawo matang itu seraya berlutut di bawah meja untuk menghubungan kabel proyektor ke soket listrik. "Biasanya kan makan siang bareng di luar?"

Dekat dengan anak buah, Erlina membagi kehidupan pribadinya. Tak masalah baginya karena selama ini kisah tersebut cukup memuaskan untuk diceritakan. Sekarang dia tak tahu harus memilih berbohong atau menjadi bahan cemooh (di belakangnya, tentu saja). Mengarang cerita  berarti menjadi pengecut tulen. Berkata jujur berarti mencoreng citranya  sebagai wanita yang kredibel dalam menggagas artikel "Bagaimana Cara Menjaga Hubungan Cinta ala Wanita Kosmopolitan".

Tak ingin memberi kebohongan yang menyulitkannya nanti, Erlina berpikir cepat mencari cara mengalihkan perhatian sang bawahan. Ia pun  sengaja menyandungkan sepatu J'Adior-nya pada kabel proyektor Sofi dan mengaduh dibuat-buat. Redaktur mode yang bertubuh kurus kering itu pun bergegas bangun dari bawah meja dengan wajah panik. Sibuk mengkhawatirkan mentornya, ia jadi lupa akan pertanyaan yang dilontarkan barusan.

Selang beberapa menit kemudian, rapat redaksi majalah SOSIALITA dimulai. Kegiatan mendiskusikan tema, artikel, tendensi mode, memilih model, dan memilih restoran rekomendasi berlangsung santai bagai obrolan ringan. Sebelum merundingkan rubrik sosialita, Erlina sudah lupa akan tragedi pemutusan hubungan kekasih melalui telepon di kafetaria tadi. Suatu cara PHK yang sangat tak pantas untuk dilakukan seorang gentleman. Melalui telepon!

"Oke, untuk sosialita, siapa yang akan kita muat?" tanya Erlina sambil membuka penutup botol mineral, siap menuangkan isinya ke dalam gelas kaca yang meniru disain Baccarat.

Anggota redaksi yang mayoritas kelahiran awal tahun 90-an itu tersenyum semua. Saling pandang dan melempar senyum satu sama lain.

"Kok diam? Senyam-senyum, lagi," ujar Erlina ketus. Dia paling tidak suka jika anak-anak buahnya  bercanda di saat mereka harus serius. Apalagi jika mereka belum mempersiapkan materi untuk dibahas dalam rapat.

Sofi dengan cekatan mengganti tampilan slide proyektor dengan sebuah foto yang diambil dari acara gala dinner Feminin Group. Terpampang Erlina yang sedang memamerkan gigi putih hasil veneer dengan sorot mata yang menyerukan bahwa dia sedang menikmati fase hidupnya sebagai wanita karir yang sukses dan bahagia. Dalam foto yang sama,  Ahmad berdiri di sebelahnya bagaikan aksesori. Pria berperawakan timur tengah itu memeluk tubuh sang sosialita yang terbalut gaun batik berdetil eyelet nan gaya.

Erlina terbelalak. Ia tertawa kering padahal khawatir. Kini ia berharap semua staf kesayangannya memang  sedang bercanda.

"Mbak Erlina dan Mas Ahmad paling pas dengan tema edisi kali ini. Batik," cetus Sofi yang diikuti anggukan persetujuan beberapa anggota redaksi lainnya.

Mentang-mentang Ahmad pengusaha ritel dengan divisi bisnis batik dan Erlina sendiri pencinta batik, maka mereka dipilih?

Bagai Malin Kundang yang dikutuk sang bunda, Erlina membatu cukup lama. Ia berusaha mengatasi kemelut dalam pikirannya hingga seorang pria redaktur yang selalu mengingatkannya pada Harry Potter memecah lamunan itu melalui suaranya yang berat. "Bu Erlina kan pendiri Yayasan Cinta Batik. Aktif juga menggalang pendanaan pelestarian batik, kan? Sedang Pak Ahmad penerus salah satu brand batik yang sudah punya nama. Pacaran pula, kan? Pas banget, deh! Iya, kan?"

"Pemotretannya besok yah, sis. Rabu, jam tujuh pagi di Rose Garden di Hotel Two Seasons. Jangan telat. Sorry jadwal dimajukan dan mendadak karena minggu hingga bulan depan lokasinya tidak bisa dipakai untuk foto. Asisten Ahmad sudah ijk konfirmasi," sahut seorang fotografer yang berotot namun mendayu-dayu dari ujung meja persis di dekat layar proyektor.

Erlina merasa pusing sehingga tak menyimak lagi siapa berbicara apa. Kupingnya langsung mencuat karena dengan lantang Sofi membaca agenda pembahasan terakhir;  staff gathering.

"Jangan lupa, guys. Staff gathering alias arisan bulanan diadakan Kamis siang. Lusa. Mbak Erlina jadi tuan rumah. Katanya bertempat di penthouse mas Ahmad, yang di Slipi, ya?"

Ini membuat Erlina benar-benar sakit kepala sehingga ia segera meneguk air mineral langsung dari botolnya. Perbuatan Erlina disaksikan seluruh staf sebagai suatu aksi yang lebih mengejutkan dibandingkan aksi panggung Miley Cyrus. Baru kali ini mereka melihat panutan etika itu tidak menyesap air minum melalui gelas. Erlina melayangkan pandangan kosong ke layar proyektor sementara air mineral terus menyusuri kerongkongan dengan bebunyian yang menyerupai gelembung udara pada dispenser. Ia menghabiskan air dari botol kecil itu tanpa jeda.

"Semua akan baik-baik, saja," desis Erlina setelah menghempaskan botol ke meja dan  mengarahkan senyuman lebar khasnya kepada semua yang hadir disana. Senyuman artifisial  wanita tangguh yang sedang menghadapi situasi sulit.

Anak-anak buahnya bereaksi dengan bertepuk tangan gembira sambil mengernyitkan dahi. Senang karena senyum Erlina dianggap menyetujui usulan mereka. Bingung karena ujaran pimpinannya terdengar seperti doa.

*****************************

Hari yang sama. Selasa. 16:45.

Erlina gelisah di meja kerjanya. Sudah empat belas kali ia menelepon selular Ahmad. Semuanya disambut mailbox. Sekretarisnya juga sudah tujuh kali menjawab telepon Erlina dan menegasikan keberadaan Ahmad di kantor. Erlina jadi paranoid. Jangan-jangan si sekretaris diminta untuk menolak teleponnya.

"Begini saja, Bu. Ibu tinggalkan pesan, nanti pasti saya sampaikan pada beliau," ucap sekretaris itu dengan santun. Ia selalu mengakhirinya dengan bertanya kenapa Erlina tak menelepon ke selular Ahmad. Ia tak tahu betapa senewen Erlina mengetuk-ngetukkan hak sepatu J'adior-nya menanggapi keluguan itu.

Perempuan yang akan ditampilkan dalam rubrik sosialita tersebut ketakutan statusnya yang dicampakkan akan segera menyebar. Dinding-dinding gedung Feminin Group bisa saja berkuping. Mungkinkah kamera cctv saat ini juga bisa merekam pembicaraannya di telepon saat di kafetaria tadi siang dan menangkap pekikan tertahan; "Kamu putusin aku?"

Wajah Erlina hampir kisut seperti rok tulle yang terhimpit di keranjang cucian kalau saja ia tak mendengar telepon genggamnya berbunyi. Telepon dari Ahmad!

"Aku lupa kalau kita jadi tuan rumah acara kantorku lusa ini!" ujarnya tangkas sebelum mantan kekasihnya sempat menyapa.

Ahmad menyela kalau itu akan sulit dilakukan sejak ia tak merasa harus melakukannya. Selain itu, pada hari yang sama Rossa meminta ditemani melihat-lihat koleksi mebel untuk rumah barunya. Sang model tak yakin bisa memilih mebel dengan model yang sesuai dengan rumah bergaya kolonial. Ia mencoba memasukkan perabotan minimalis ke dalam rumah yang didominasi unsur kayu itu.

Kuping Erlina menjadi panas mendengarkan detil-detil yang tak diperlukan barusan. Dipotongnya curahan hati tersebut lalu dengan berapi-api mencecar Ahmad.

"Dengar! Aku tidak peduli dia mau membeli mebel dengan rayap atau terbuat dari kayu bakar. Kamu sudah janji dari minggu kemarin. Kita berdua akan jadi tuan rumah. Rumahku saat ini masih direnovasi. Uhuk, uhuk," Erlina tersedak karena tak biasa berbohong, lalu menarik nafas dan melanjutkan, "Pokoknya, kita jadi tuan rumah di penthouse kamu kamis siang. Dan kita harus pura-pura masih pacaran di depan semua kolegaku. Setidaknya sampai penerbitan majalahku bulan depan! Intinya, kamu sudah janji kalau acaraku itu diadakan di tempatmu! Ingat komitmen kamu terhadap janji! Kamu laki-laki, kan?" Erlina menekankan kalimat terakhir karena Ahmad paling sensitif bila integritasnya dsinggung.

Setelah hening karena Erlina kehabisan nafas dan hampir putus asa, pemuda itu akhirnya setuju saja.

"Oke, lah. Aku bisa reschedule menemani Rossa hari Jumat saja."

"Great! Thank you," pekik Erlina lega dan langsung menutup telepon.

*********************************************************

Rabu. 06:50.

Dugaan Erlina, Ahmad pasti datang untuk dipotret di Rose Garden pagi itu. Bagaimanapun juga, ia akan datang karena ini promosi untuk bisnisnya. Tak ada kaitan dengan diri Erlina. Tanpa dipaksa, pemuda ambisius ini pasti datang.

Tapi yang sedang tidak ditunggu malah menampakkan batang hidungnya di lokasi pemotretan. Rossa! Dia memang datang sendirian. Tapi pasti sudah janjian dengan Ahmad.

Erlina pun kalang kabut. Bagaimana kalau wanita perebut laki orang ini 'bicara'? Bisa-bisa make-up artist yang sedang mendandani dirinya menggelar konfrensi pers di kantor sepulang pemotretan. Aduh. Mengerikan kalau itu sampai terjadi. Erlina bergegas meninggalkan si make up artist pura-pura hendak ke toilet. Ia mencari akal bagaimana menyingkirkan kekasih baru Ahmad ini sekarang juga dari sana.

Rossa terlihat celingak-celinguk di sekitar lokasi sambil mengetuk-ngetuk iphone-nya. Sejak memperkenalkannya dengan dengan Ahmad, Erlina tak pernah melihatnya secantik pagi ini. Kulitnya semakin mulus, dandanannya semakin oke, termasuk asesorisnya. Erlina mengidentifikasi tas yang ditentengnya itu koleksi DK88  terbaru dari Burberry.

Aha! Itu dia! Tas. Erlina mendapat ide.

Dengan kecepatan menyerupai Flash Gordon, perempuan yang baru diwarnai sebagian bibirnya itu mencari dan mengetuk nama asisten pribadi Rossa di daftar kontak teleponnya. Begitu terhubung, ia mulai memberatkan suaranya dan mengekspolitasi bakat aktingnya. Action! Kini Erlina menjadi staf penjualan butik tas mewah, yang menegaskan kalau butik melakukan sample sale dadakan khusus pelanggan loyal dan hanya diadakan hingga sore ini.  Semudah itu. Erlina yakin ini akan berhasil.

Tak lama, Rossa kemudian terlihat menerima telepon. Asistennya pasti langsung menelepon dan mengabarkan berita super penting ini. Mata Rossa terbelalak dan senyumnya mekar. Dia langsung menghilang saat itu juga.

Erlina menghela napas. Masalah teratasi. Erlina memuji sekaligus mengasihani dirinya sendiri.

Tepat saat Rossa meninggalkan lokasi, Ahmad pun datang.

Masih hari yang sama. Rabu. 09:15.

Pemotretan berjalan lancar. Ahmad pada dasarnya bukan orang yang suka mengobrol. Jadi sejauh ini tak ada yang tahu kalau hubungannya dengan Erlina sudah selesai.

Meski demikian, sepanjang hari itu jantung Erlina berdegup kencang. Ia memasang kuping sekiranya ada yang menyebut-nyebut statusnya dengan Ahmad.

Pernah sang make up artist memekikkan kata putus saat menerima telepon. Ini membuat Erlina hampir mati ketakutan. Ia jadi tidak bisa fokus saat difoto. Mata dan kupingnya terus mengekor si make up artist meski sang fotografer berkali-kali menegur memintanya santai. Untunglah, si make up artist ternyata sedang meributkan aliran listrik di rumahnya yang diputus PLN karena tagihan belum dibayar.

Saat mengemasi barang-barang usai pemotretan, Erlina diam-diam memandangi mantan kekasihnya dari jauh. Ahmad baginya adalah salah satu atribut kesuksesan baginya. Pria dengan garis keturunan jelas dan berkelas, mempunyai perusahaan yang beranak-pinak, dan dalam menjalani hubungan dengan Erlina tak pernah cekcok atau ribut. Setiap masalah mendapatkan solusi melalui diskusi dan kompromi. Semuanya stabil dan dalam kendali. Persis seperti karirnya.

Tak terasa setitik airmata jatuh saat Erlina memposting status pemotretannya yang telah rampung di media sosial dengan men-tag Ahmad seolah-olah mereka masih memiliki ikatan. Ia melakukan swafoto dengan berlatarkan Rose Garden, lokasi pemotretan ini. Taman ini, sesuai namanya, memang penuh dengan mawar yang sedang mekar. Cantik dan wangi. Sekelibat bayangan Ahmad menggandeng Rossa membuat Erlina merasa bagai satu-satunya makhluk yang layu di taman itu.

***************************************

Kamis. 10:30.

Staff gathering alias arisan diadakan setiap bulan di rumah karyawan majalah SOSIALITA yang terpilih bergiliran. Bulan ini giliran Erlina, yang mengadakannya di penthouse Ahmad yang besar.

Erlina menyempurnakan letak kemben batik yang dipadankan dengan rok pensil selutut berbahan denim dan bolero putih. Rambut hitamnya dibiarkan tersisir sederhana, tampak kontras dengan kilauan perhiasan di leher dan salah satu jari tangannya. Sepatu boot semata kaki menyokong tubuhnya yang kini berdiri di depan pintu penthouse Ahmad. Dia tiba setengah jam sebelum waktu yang tertera di undangan.

Erlina sempat meratapi nasibnya dalam perjalanan tadi. Ia menganggap dirinya lemah, tak sanggup menyikapi kenyataan yang pahit. Bukan kenyataan karena diputuskan Ahmad, tetapi karena hilangnya semua kepercayaan diri yang ia punya. Ia ketakutan. Ia tak mau berakhir seperti wanita-wanita yang mengidentifikasikan kegagalan dengan hubungan cinta yang kandas. Seburuk apapun akhir suatu hubungan, menurut Erlina, seharusnya tak mempengaruhi kapasitas diri sebagai wanita yang berintegritas baik dalam karir maupun hubungan. Ia mencintai sepenuh hati. Ia setia. Bila kekasih meninggalkannya karena selingkuh, that's his loss.

Dalam perjalanan tadi pula, ia merasa harus membunuh wanita kerdil paranoid yang merasuk kepribadiannya. Ia bertekad tak akan menjadi wanita seperti itu lagi.  Ia menertawakan usahanya menghindari pandangan yang mengatakan dirinya pecundang hanya karena ia dicampakkan pria yang bagaimanapun juga tak pantas ia pertahankan karena perselingkuhan.

Dadanya terasa sedikit lapang. Langkahnya semakin ringan. Ia sudah siap. "Be a big girl and deal with it," batinnya menguatkan diri. Dia sendiri yang akan memberitahu yang lainnya, kalau dia dan Ahmad sudah tak berhubungan lagi. Erlina memencet bel dan menunggu Ahmad membuka pintu.

Pintu dibuka oleh Rossa. Berdiri dengan senyuman di depan Erlina.

"Hai, girl," tegurnya.

Erlina menelan ludah. Ia tidak siap menerima Rossa berada sedekat itu dengannya. Lagipula, model merangkap mantan sahabatnya itu kan tidak diundang di acara ini?

Rossa membuka pintu lebih lebar dan Erlina mendapati semua staf majalah SOSIALITA berada di dalam ruang tamu, berjalan menghampiri pintu dengan wajah yang sumringah.

"Happy Birthday!" seru semua staf.

Astaga! Erlina lupa kalau ini hari ulang tahunnya.

Ahmad muncul dari dalam kerumunan dengan kue tar seukuran majalah dengan lilin di atasnya. Erlina bergerak mundur tapi Ahmad menarik lengannya untuk mengecup pipinya, layaknya masih berpacaran.

"Happy 30, sayang. Kita semua ngerjain kamu. Aku bohong memutuskan kamu."

Erlina terperangah. Bukannya menangis terharu seperti di film-film, dia malah merasa menjadi guyonan seperti badut. Bercampur pula rasa lega dan sedikit kemarahan.

Teganya pria ini membuatnya depresi dan mengalami tekanan batin dua hari terakhir!

Dengan cepat diraihnya kue dari tangan Ahmad, mencopot lilinnya yang masih membara, lalu meratakan kue itu di wajah pria kalem itu.

Semua karyawan yang menyaksikan langsung tergelak. Mereka begitu terhibur melihat dua sosok simpatik bertingkah konyol. Ini jarang disaksikan di kantor.

Ahmad, dengan wajah berlumuran kue, tertawa dan memeluk Erlina.

"Bagaimana rasanya kutinggalkan, sayang?"

Ingin rasanya Erlina menampar muka Ahmad. Sialan, setelah membuatnya depresi, pria ini memasang wajah lugu seolah tak terjadi apa-apa.

Saat itu pula Rossa ikut memeluk Erlina dari samping, masih tergelak.

"Sorry, jeng... Kita bosan kalau merayakannya pakai kejutan standar. Jadi aku rela saja kau kutuk sebentar. Lagian kayak nggak kenal aku saja. Mana mau sih melepas persahabatan hanya karena cowok."

Tubuh Erlina lunglai, sementara staf sudah mulai beringsut menuju buffet. Sudah tak peduli lagi dengan keadaan bos-nya yang masih berdiri di sekitar pintu masuk bersama Ahmad dan Rossa.

"Dan for your information, ini ide anak-anak buah kamu, lho," ungkap Ahmad sambil membersihkan bekas-bekas kue di wajahnya, mengarahkan wajahnya ke arah buffet dimana Sofi dengan jahil menjulurkan lidah dan memutar bola matanya pada Erlina.

Erlina menatap semua staf majalah itu satu persatu. Adik-adik yang sangat disayanginya.

"Waduh mereka iseng juga, ya," bisiknya tak kuasa menggariskan senyum setelah melalui segala yang telah terjadi. "Aku harus balas mereka."

Erlina berniat mengerjai stafnya. Ia pun menjatuhkan diri pura-pura pingsan. Rossa terpekik kaget. Dan benar saja, semua staf-nya sontak khawatir dan berlari mendekat sambil menjerit-jerit panik.

Erlina sekuat tenaga menahan tawa. Meski saat membuka matanya sedikit untuk mengintip stafnya, ia menyangsikan melihat Ahmad menggenggam jemari Rossa di belakang kerumunan para karyawan yang menghampiri dengan histeris. Sesaat saja. Sebelum kerumunan itu sepenuhnya menghalangi mereka berdua.

 *********************************************************

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun