Mohon tunggu...
Mochammad Syafril
Mochammad Syafril Mohon Tunggu... Lainnya - Writer

The more you know, the more you learn

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Perkembangan Etika Lingkungan Hidup Dalam Kehidupan Manusia

10 Maret 2022   05:45 Diperbarui: 11 Maret 2022   08:59 2670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lingkungan hidup adalah sumber kehidupan bagi setiap makhluk hidup yang mendiaminya. Bersama keanekaragaman sumber daya alamnya, manusia dan seluruh entitas makhluk hidup lainnya berusaha memenuhi kebutuhan mereka masing-masing. Seluruh kegiatan manusia yang bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya alam akan membawa akibat bagi keadaan suatu lingkungan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di lingkungan hidup dapat membawa seperti kerusakan dan pencemaran lingkungan, hal tesrsebut tentu akan membawa dampak krisis lingkungann hidup bagi masyarakat. Krisis lingkungan seperti perusakan dan pencemaran dewasa ini hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan etika dan perilaku manusia terhadap alam.

Krisis lingkungan dalam skala global, nasional hingga lokal yang terjadi selama ini sebenarnya bersumber dari kesalahan etika lingkungan hidup manusia dalam memandang sebuah ekosistem secara holistik. Etika lingkungan hidup menurut Sonny Keraf dipahami sebagai disiplin ilmu yang berbicara mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam tersebut.

Kekeliruan dalam memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta, mengakibatkan pola perilaku yang membuat kerusakan dan pencemaran lingkungan. Oleh Karena itu, pembenahannya harus menyangkut pembenahan cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi, baik dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan alam dalam keseluruhan ekosistem.

Munculnya dampak negatif dari pemanfaatan dan/atau pengelolaan lingkungan hidup ialah kelirunya cara beretika dalam memandang ekosistem secara holistik. Dalam paradigma yang pertama, antroposentrisme menganggap bahwa manusia merupakan makhluk hidup yang superior daripada makhluk hidup lain.

Paham ini menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang eksistensinya mempunyai nilai yang lebih daripada makhluk lain. Jika berbicara dalam skala yang lebih besar, alam semesta hanyalah semata-mata sebagai pemuas kebutuhan manusia. 

Manusia merupakan penguasa alam semesta yang boleh melakukan apa saja, termasuk kegiatan-kegiatan yang tergolong megeskploitasi alam. Hal tersebut dikarenakan alam sendiri tidak mempunyai nilai dihadapan manusia dan segala kepentingannya. 

Artinya manusia tidak mempunyai tanggung jawab atas lingkungan hidup yang telah rusak dan/atau tercemar. Tanggungjawab manusia dalam alam semesta hanya sebagatas pada sesamanya, sedangkan hubungan manusia dan alam semesta hanya sebatas pemenuh kebutuhan. 

Selain itu, perlu dipahami bahwa jika terdapat kegiatan manusia yang pada hakikatnya berhubungan dengan lingkungan hidup maka akan dianggap baik jika tindakan yang berhubungan dengan lingkungan tersebut menguntungkan bagi manusia.

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa paham ini sangat berpusat pada manusia saja dan akibatnya lingkungan hidup sebagai pemenuh kebutuhan manusia tidak mendapat perhatian, sehingga menjadi sumber dari krisis lingkungan hidup.

Aristoteles berpendapat bahwa keberadaan tumbuhan disiapkan untuk kepentingan hewan, dan keberadaan binatang disiapkan untuk kepentingan manusia. Dari argument tersebut dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang kedudukannya lebih rendah maka dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan ciptaan yang lebih tinggi. 

Manusia merupakan makhluk paling tinggi diantara semua makhluk hidup lainnya, maka dari itu manusia boleh melakukan apa saja terhadap cipataan-ciptaan lainnya yang kedudukannya lebih rendah. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai hakikat kehidupan dan penciptaan.

Immanuel Kant juga berpendapat bahwa manusia merupakan mahkluk yang rasional dan memiliki akal budi dalam tindakannya, sehingga manusia berhak untuk menggunakan entitas lain yang non-rasional guna mewujudkan kepentingannya. Atas dasar pemikiran tersebut maka manusia sebagai makhluk yang paling terhormat tidak dibebani tanggung jawab moral terhadap makhluk hidup lain non-rasional seperti tumbuhan dan binatang.

Dari pendapat serta penjelasan diatas terdapat banyak kesalahan dalam beretika dalam menyikapi lingkungan hidup. Manusia hanya berpikir secara sempit tanpa memikirkan berbagai konsekuensi yang timbul akibat degradasi moral terhadap konsep ekologi. 

Lingkungan hidup yang dipandang sebagai alat pemenuh kebutuhan dan kepentingan manusia tidak mendapat perhatian secara nilai dan akal budi, oleh karena itu etika lingkungan hidup antroposentrisme banyak mendapat perdebatan karena dianggap sebagai salah satu sumber dari kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup.

Biosentrisme menganggap bahwa bukan hanya manusia saja yang ekssistensinya mempunyai nilai, namun terdapat lingkungan hidup yang juga sama seperti manusia. Lingkungan hidup merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dari manusia, hal tersebut dapat dibuktikan dengan keberadaan manusia yang menempai ruang lngkungan hidup sebagai tempat tinggal hingga memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Setiap penciptaan pasti mempunyai maksud dan nilai tertentu, sehingga semua makhluk hidup berhak untuk dihargai dan mendapat perhatian secara moral. Lingkungan hidup juga perlu dihargai terlepas dari berharga atau tidaknya lingkungan hidup bagi manusia.

Biosentrisme menekankan pada adanya moralitas pada sebuah kehidupan, baik manusia maupun makhluk hidup lainnya mempunyai nilai moral yang setara, sehingga makhluk hidup selain manusia juga harus dimanfaatkan dan dikelola sebaik-baiknya. Singkatnya, karena makhluk hidup lain seperti lingkungan hidup dan binatang juga turut serta dalam kehidupan manusia, maka manusia harus memperlakukan makhluk hidup lain dengan baik.

Semua kehidupan yang menempati ruang alam semesta sejatinya telah menciptakan komunitas yang terikat satu dengan yang lain. Sehingga setiap tindakan manusia yang bersinggungan dengan entitas lain harus dipikirkan secara baik agar tidak merugikan mereka.

Paul Taylor sebagai salah satu tokoh biosentrisme memberikan pendapat bahwa paradigma etika ini berlandaskan atas kesamaan komunitas yang menempati bumi sebagai tempat tinggal. Manusia juga dianggap sebagai entitas yang bergantung terhadap makhluk lain. Selain itu, makhluk hidup selain manusia juga pasti mempunyai tujuan dan kepentingan mereka masing-masing.

Melalui etika lingkungan hidup ini manusia dibuat seakan-akan menjadi entitas yang setara dengan makhluk hidup lain, sehingga manusia itu sendiri tidak lebih tinggi daripada makhluk hidup lain. Oleh karena itu manusia juga mempunyai tanggung jawab terhadap eksistensi lingkungan hidup.

Pandangan ekosentrisme tidak jauh berbeda dengan biosentrisme. Pandangan ini melihat bahwa makhluk hidup seperti manusia, binatang dan organisme lainnya yang mendiami sebuah ruang maka satu dengan lainnya akan saling terikat.

Arne Naess sebagai tokok dari pandangan ini tela memperkenalkan pandangan atau konsep Deep Ecology yang menentang pandangan antroposentrisme, melalui Deep Ecology manusia tidak dianggap sebagai suatu entitas yang terpusat dari alam semesta. Kepentingan seluruh ekosistem menjadi sesuatu yang setara diantara semua makhluk.

Gaya hidup adalah sesuatu yang ditekankan oleh Arne Naess dalam rangka menjaga kearifan lingkungan hidup. Perubahan gaya hidup dirasa sangat rasional mengingat krisis ekologi yang terjadi sekarang salah satunya berakar dari perilaku manusia dalam memanfaatkan dan mengelola lingkungan hidup.

Permasalahan lingkungan harus dipandang secara holistik dan komprehensif agar solusi yang didapatkan akan menjangkau seluruh ekosistem terdampak. Perubahan komitmen dan kebijakan politik yang pro lingkungan sangatlah diperlukan. 

Hal ini juga perlu didorong dengan perubahan radikal yang berakar pada cara beretika yang diikuti oleh perubahan mental dan perilaku, yang tercermin dalam gaya hidup baik sebagai individu maupun kelompok. Berupa penyadaran kembali akan kesadaran ekologis yang mengakui kesatuan, keterkaitan dan saling ketergantungan antara manusia, tumbuhan dan hewan serta seluruh alam semesta.

Melalui pendekatan tersebut juga lahirlah cabang ilmu viktimologi yang dilandasi dengan lingkungan hidup, yaitu Viktimologi Hijau. Viktimologi hijau pertama kali diperkenalkan oleh Christopher Williams. Christopher Williams memasukkan lingkungan hidup sebagai salah satu kajian dalam viktimologi sebagai konsekuensi dari perusakan lingkungan yang memakan banyak korban. 

Pada perkembangannya mempelajari tentang proses sosial dan respon institusional yang berkaitan dengan korban kejahatan lingkungan dengan tidak hanya terbatas pada manusia yang dapat diklasifikasikan sebagai korban namun juga termasuk non-manusia antara lain, hewan, pohon, dan sungai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun