Makna Kepemimpinan Semiotik & Hermeneutis  SEMAR
Pendahuluan
Kepemimpinan merupakan aspek fundamental dalam berbagai budaya dan masyarakat. Di dalam budaya Jawa, Semar dikenal sebagai tokoh yang bijaksana dan memiliki peran penting dalam menyampaikan nilai-nilai moral serta memberikan bimbingan. Pendekatan semiotik dan hermeneutik menawarkan kerangka analisis yang mendalam untuk memahami makna kepemimpinan Semar. Artikel ini akan membahas apa itu kepemimpinan semiotik dan hermeneutik, mengapa pendekatan ini relevan dalam konteks Semar, serta bagaimana penerapannya dalam analisis kepemimpinan Semar.
What: Pengertian Kepemimpinan Semiotik & Hermeneutis Semar
Kepemimpinan semiotik mengacu pada penggunaan tanda, simbol, dan bahasa dalam menyampaikan makna dan membentuk persepsi kepemimpinan. Semar, sebagai tokoh mitologis, sering kali menggunakan simbol-simbol budaya dan bahasa kiasan untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan strategis kepada para pahlawan dan masyarakat.
Sementara itu, kepemimpinan hermeneutik menekankan interpretasi dan pemahaman mendalam terhadap teks, tindakan, dan konteks sosial dalam mengungkap makna kepemimpinan. Dalam konteks Semar, pendekatan hermeneutik digunakan untuk menafsirkan tindakan dan pernyataan Semar, serta memahami bagaimana ia mempengaruhi dan membimbing para tokoh lainnya dalam cerita-cerita pewayangan.
GAYA KEPEMIMPINAN NUSANTARA (SEMAR/ ISMOYO)
1. Semar: personifikasi/dekripsi Jawa Nusantara tentang Tuhan dalam dokrin Jawa, Hindu, Islam, semua pakai Semar. Kata semar adalah manivestasi "Dan Hyang Semar", Syekh Subakir dan Sabdo Palon. Syekh Subakir untuk sebar Islam di tanah Jawa maka melakukan pamitan dengan semar penjaga NKRI dilakukan Gunung Telomoyo, Merapi, Merbabu. Â Nama Semar pada kata lain adalah "Dang"; gelar untuk dewa atau leluhur, Sanghyang atau Rahyang, Kahyangan, Parahyangan, Kaharingan Dayak (riset saya 10 tahun lalu), Hyang, Dieng (Candi Dieng), berubah menjadi Sembahyang.
2. Maka semar adalah kondisi adalah ilmu langit manusia Nusantara atau menjadi Pemimpin yang Memiliki Keutamaan.
3. Metafora Telur Kulit, Putih Telur, Kuning Telur  atau yang berhak mangganti Sanghiyang Tunggal pada lomba makan Gunung Siem, Batara Guru, Semar, dan Togog.
4. Pada teks lain Nasakah Kuna Jawa Kuna pada tema "Pikulan Tunggal, "Ada sebelum segala sesuatu ada", dikenal dengan nama 'Sanghiyang Wenang/Sanghiyang Tunggal", atau "Batara Tunggal" memiliki "telor dengan aneka warna yang dipuja secara terus dengan terus dipuja/dipuji, kemudian bertanya dalam batin tentang fenomena telor tersebut dan akhinya pecah menjadi tiga bagian: [1] Kulitnya disebut Tejo Matri atau Togog; [2] Putih telor disebut Ismoyo atau Semar, dan [3] Kuning Telor disebut Manik Moyo atau Batara Guru. Ini adalah nama lain dalam "Ontologi Triangulasi Jawa/Nusantara Kuna".
Why: Pentingnya Pendekatan Semiotik & Hermeneutis dalam Menganalisis Kepemimpinan Semar
Pendekatan semiotik dan hermeneutik penting karena memungkinkan kita untuk menggali lapisan makna yang lebih dalam dalam tindakan dan simbol yang digunakan oleh Semar. Dengan memahami simbol-simbol yang digunakan Semar, kita dapat lebih memahami strategi kepemimpinannya dalam menyampaikan nilai-nilai dan membimbing para pahlawan.
Selain itu, pendekatan hermeneutik membantu kita untuk memahami konteks budaya dan sosial di mana Semar beroperasi. Ini memungkinkan kita untuk melihat bagaimana Semar menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh para tokoh dalam cerita pewayangan. Dengan demikian, pendekatan ini memberikan wawasan yang lebih komprehensif tentang efektivitas dan relevansi kepemimpinan Semar dalam konteks budaya Jawa.
Semar: namanya
A. Ismoyo, samar maya;
B. Badranaya; Badra/Babadra artinya membangun fondasi dasar, Naya atau nayaka atau utusan atau utusan nabi atau rasul Jawa Nusantara, orang bawah orang atas. Kemudian menjadi kata menjadi Semar Badranaya; berani melawan Kahayangan/ Semar Gugat kekuasaan, (buang angin di Kahayangan atau Semar & kentut kesayangannya).
C. Semar adalah dualitas antara manusia (manusia bawah, sekaligus nabi/rasul nama atas atau double Hermeneutika; atau dikenal dengan metafora Semar, mempunyai senjata andalan yang mampu menaklukkan lawan-lawannya bahkan tokoh sekelas Batara Guru sekalipun yaitu, kentut. Senjata ini sangat ampuh dan digunakan saat Semar terdesak. Siapapun yang terkena kentut Semar pasti kalah dan akan kembali ke jalan yang benar. Bisanya dipakai saat dalang mengkritik kekuasan, atau pimpinan yang zolim pada rakyat; atau demo seperti tahun 1988 saat Presiden Soeharto lengser ke Prabon. Ismoyo atau Semar  adalah repesentasi ratu adil mampu membawa beban kehidupan, dan apa saja kuat, maka Ismoyo atau Semar adalah pembimbing Ksatria Tanah Jawa Nusantara yang berwatak adil; dimana keturunan watak sifat (bibit)nya menghasilkan pemimpin Indonesia selamanya;
Makna Semiotik & Hermeneutis  SEMAR Â
1. Semar secara Fisik Gambar, bukan laki-laki bukan perempuan, tangan kanan ke atas, kiri kebawah; tua sekaligus anak-anak; tertawa dan menangis/ matanya mengalir air mata, posisi duduk sekaligus berdiri; dalam dialog wayang ketawa sekaligus menangis;
2. Semar Memiliki kulit Hitam. Simbol Bumi, atau Tanah, sebagai Teguhan paling teguh, dan diam. Diapapun menerima semuanya; paling kuat adalah Tanah, dibandingkan Air, api, air, tapi tidak pernah sombong, dan angkuh, walaupun memiliki semuanya; selalu memberi terbaik tanpa pamrih. Selalu berbuat terbaik dan paling baik, sifat wangsa tanah/bumi. Semar adalah simbolik manusia yang mampu menerima realitas, bahkan meta realitas, tanpa kategori (suwung ing pamrih). Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe.
3. Semar dan Simbol Kuncung 8 (delapan), memilik kategori-kategori seperti tidak lapar, tak pernah ngantuk, tidak jatuh cinta, tidak bersedih, tidak merasa cape, tidak menderita sakit, Â tidak kepanasan, dan tidak kedinginan; (tidak dipengaruhi oleh diluar dirinya mirip kaum Stoa). Tidak artinya mampu mengendalikan dengan baik; 8 kuncung ini membuat semar Sakti;
4. Posisi Semar; Dewa Kemangungsaan; dewa sebagai manusia, bukan manusia tapi ngaku jadi dewa. Ini adalah simbol pemimpin NKRI (sifat dewa yang merakyat). Kedua implikasinya adalah Krisna vs  Siwa;  maka orang Jawa/Nusantara, atau  Siwa Buddha, dan Hindu  Siwa disebut Batara Guru. Atau ajaran Siwa-Buddha adalah campuran agama Hindu dan Buddha di Indonesia. Pada zaman Majapahit agama Siwa dan Buddha berpadu menjadi satu, dan ini bisa dilihat dalam beberapa karya sastra antara lain Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjunawijaya; Siwa disebut dewa Bhairawa;
Metafora  SEMAR;
"Mbregegeg, Ugeng-ugeng, Hmel-hmel, Sak Ndulit, Langgeng" Â
Makna Semiotik & Hermeneutis  SEMAR:
1. Semar: menitis Ponokawan, (pono; memiliki visi jernih); teman mikir jernih, murni, dan teman paling baik dalam hal apapun jujur, solusi, pendidik. Â Kata Punakawan bukan pembantu atau budak.
2. Kata Utama Semar; "Mbregegeg, Ugeng-ugeng, Hmel-hmel, Sak Ndulit, Langgeng".
Artinya adalah  Mbregegeg, (jangan diam), Ugeng-ugeng (berusaha untuk lepas), hmel-hmel (mencari apapun kebaikan hidup), Sak Ndulit (hasil nya sedikit), Langgeng (hasilnya baik dan langgeng)/jangan copy faste/korupsi;
Tiga Dokrin Ajaran Semar;
(a) Ojo Dumeh (jangan mentang-mentang: tindakan, isi hati, omongan, atau  apapun jangan mentang-menatang, Adigang, Adi gung, Adi Guna)
(b) Eling (Ingat_Tuhanmu), usia, asal usul, agamamu, orang tuamu, kematianmu, dosamu, kebaikan mu, dll),
(c) Waspodo (kehati-hatian), ketelitian, tingkah laku, sikap, dll
"Eling lan waspada" artinya pemimpin mampu untuk selalu ingat dan waspodo; teliti mampu menguasi ilmu weruh sadurung winarah.
Kata lain yang relevan adalah Aja Dumeh,  Jangan Mentang-mentang dalam artian luas mendalam; Aja Gumunan, Jangan Mudah Kagum pada Apapun; Aja Kagetan Pada semua Ruang  Waktu jangan mudah terkejut; Bisa rumangsa, ojo rumangsa bisa wajib bisa merasa [berempati], bukan merasa bisa [sombong]. Mengapa demikian; karena Hidup manusia ada itu ada 3 perkara; Wirya/Keluhuran; Arto/Kekayan kemakmuran, dan Winasis /Ilmu Pengetahuan; Apabila tidak satupun dapat diraih pada 3 hal itu maka habislah diri manusia itu, maka lebih berharga daun jati kering. Akhirnya mendapatlah derita, jadi pengemis, dan terlunta. Tujuannya adalah  "Atetamba yen wus bucik" artinya Jangan Berobat sesudah terluka; artinya aplikasi paraxis tindakan harus tepat atau "Nggugu Karape Priyangga" Jangan bertindak maunya sendiri, pikir dengan matang; bisa menempatkan diri, dan mematuhi tatanan; maka hanya dengan cara ini akan tercapai "Berbudi Bawa Leksmana" [berbudi baik, selaras kata dan perbuatan]
Tiga Dokrin Tiga Sikap Mental & Jiwa; Ajaran Semar:
1. Tadah (hanya Tuhan): tidak pamrih pada apaun, tapi menyukuri apapun kondisi dalam ruang dan waktu pada Tuhan;
2. Pradah (sesama manusia "memberi") suka dan mencintai hanya  memberi tanpa kembali, atau pada sesama, iklas, pikiran,  harta; dan
3. Ora Wegah (Tidak Pemalas);  tidak memilih apapun, pekerjaan atau tugas, lakukan jangan suka menunda apapun, dan kerjakan hal lain yang menanti;hasil akhirnya adalah Sikap mental Papan Empan Adepan; dengan dimensi "Saiki, Neng Kene, Ngene, Aku Gelem"
1. Ajaran Semar  MKG, /Manunggaling Kawula Gusti / bersatu, Ittihad (Usaha manusia ke Tuhan), Hulul (Tuhan masuk dalam manusia),  Wahdat-al wujud (modus hidup atas nama Tuhan pada apapun realitas atau metarealitas), dan Fana Baqa. Metafora Kepemipinan Ibarat Buruh dengan Majikan; (kepentingan Majikannya).
2. Ajaran Semar  Sangkan Paraning Dumadi; alam abadi (alam wusana), hidup mampir minum; Atau Manggilingan_Sistem  Sikap Mental ["Nrimo ing Pandum = Amor fati"]. Kata Siklus atau Siklis (lihat teori Cokro Manggilian) ini memiliki hakekat tiga hal pemkiran Ruang dan Waktu, [a] manusia itu dari mana, [b] sekarang ada dimana, dan [c] menuju kemana/tujuan telos akhir. Dalam bahasa lain disebut sebagai alam purwo [asal usul), alam madyo [hidup saat ini, dan menuju alam akhir atau disebut alam wasono. Being and Time versi Semar. Â
3.  Ajaran Kasedan Jati, tidak melakukan ora ilok, atau  kuwalat/karma
4. Ajaran Semar  Memayu Hayuning Bawana, (berbuat baik), kekanglah hasrat dan ambisi, dll, melalui memahami realitas melalui  ilmu Titeni (hukum alam, dan hukum ajeg), ilmu pitung/hitungan, dan determinisme alam, misalnya wongso, weton, Bono, Wuku, dll, semua hal lengkap di ilmu Jawa. Telos Hidup: Ngunduh Wohing Pakarti""Memayu Hayuning Bawana",  memberi keindahan dunia, diinternalisasi  dalam hidup manusia.  Hamemayu Hayuning Bantolo [tanah], Hamemayu Hayuning Wono [Hutan],Hamemayu Hayuning Tirto, Hamemayu Hayuning Budayo, Hamemayu Hayuning  Samodro [laut], Hamemayu Hayuning Howo, Hamemayu Hayuning Manungso. Secara episteme dapat dilakukan dengan Cara Rawat Alam [3N]; Ni Teni; mengingat, mengenali, memahami; NiRokake; meniru, memedomani, mengikuti;  dan NaMbahi: memberi nilai kebaikan pada alam.
("Tan Keno Kinaya Ngapa: "Kapitayan")
Semar pada Filologi Kata Tuhan. Tu_Han (kata Tuhan)_konsep Tan Keno Kinaya Ngapa; Kapitayan (Tuhan). Tuhan sebagai Sanghyang Taya, tidak bisa dipikir, didengar, dijelaskan, diraba (tidak bisa dikenal data indrawi). Taya artinya hampa, suwung, awang-uwung), non awal akhir; Manusia mengenal_nya melalui hukum-hukum alam semesta, sebagai kehadiran-Nya.
Genealogi filologi kata Tuhan versi Semar adalah dialektis pada kategori Tu vs Han; (a) Yang baik pada kata "Tu" yang baik, disebut Tuhan, (b) sebaiknya Tu, manisetasi kejelekan atau keburukan disebut Han-tu (kejahatan keburukan). Misalnya kata Tu-gu, Tunggul, watu, Tumbal, Tumbak, Tumpeng. Bandingkan dengan Tao adalah Jalan Alam Semesta Dao memiliki sifat transenden tetapi juga imanen. Sifat-sifat Tuhan atau 1 sifat diebut Sanghyang Taya (monotesme). Sifat-sifatnya dan manifestasi disebut Politeisme banyak macam dan kategori, satu  substansi banyak Kategori
Sanghyang Taya melalui Sanghiyang Tunggal maupun Sanghyang manikmoyo yang memilik kekuatan daya purba maka ada dua jalan menjadi berada didunia atau cara bereksistensi yakni ('Tu-ah Vs Tu-lah" atau Baik vs Buruk). Kekuasaan hidup dan realitas didunia ini dapat dieroleh dipelihara, dan dirawat melelui 'Tu-ah Vs Tu-lah".
Maka dalam bentuk lain kondisi ini menitis menjadi Roh Aksara Jawa" atau Aksara Kawi Aji Saka; yang berjumlah 20 huruf; (1) ha na ca ra ka (tesis); (2) da ta sa wa la (Anti tesis); (3) pa da ja ya nya (sintesis); (4) ma ga ba tha nga (kekosongan_ Ngesti Suwung atau saya sebut "Hong"); empat pengalaman negative dan positif ini kemudian menghasilkan apa yang disebut "tatanan" semacam kecocokan, harmoni, menjadikan dokrin jiwa manusia (papan, ampan, adepan); atau dasar Being and Time Heidegger versi Semar;
Keutaman Semar Ismoyo:
1. TUTUP (lengkap paripurna)
2. TUHU (Tulus dan berharap pada kebaikan)
3. TUNGGA (Mulya untuk dunia)
4. TUGUL (manusia awam/ikut saja), jadilah bawahan yang baik
How: Metode dan Pendekatan dalam Analisis Kepemimpinan Semar
Untuk menganalisis kepemimpinan Semar menggunakan pendekatan semiotik, langkah pertama adalah mengidentifikasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang digunakan oleh Semar dalam berbagai narasi pewayangan. Misalnya, penggunaan humor, perumpamaan, dan tindakan sederhana namun penuh makna adalah ciri khas Semar yang dapat dianalisis secara semiotik untuk memahami pesan yang disampaikan.
Dalam pendekatan hermeneutik, analisis dilakukan dengan menafsirkan tindakan dan pernyataan Semar dalam konteks cerita dan budaya Jawa. Ini melibatkan pemahaman terhadap nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat Jawa, serta bagaimana Semar mencerminkan dan memperkuat nilai-nilai tersebut melalui kepemimpinannya. Teknik seperti interpretasi teks, analisis konteks, dan refleksi kritis digunakan untuk menggali makna yang lebih dalam dari tindakan Semar.
Selain itu, kombinasi kedua pendekatan ini memungkinkan analisis yang lebih holistik. Misalnya, simbol-simbol yang diidentifikasi melalui pendekatan semiotik dapat diinterpretasikan lebih lanjut dalam konteks sosial dan budaya menggunakan pendekatan hermeneutik. Hal ini memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang bagaimana Semar menggunakan simbol dan makna untuk membangun dan menjalankan kepemimpinannya.
Pendekatan semiotik dan hermeneutik menawarkan kerangka analisis yang kaya untuk memahami kepemimpinan Semar dalam budaya Jawa. Melalui identifikasi simbol-simbol dan interpretasi tindakan dalam konteks budaya, kita dapat menggali makna yang lebih dalam dari kepemimpinan Semar. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang tokoh Semar, tetapi juga memberikan wawasan tentang bagaimana nilai-nilai dan simbol budaya dapat membentuk dan mempengaruhi gaya kepemimpinan dalam masyarakat.
Daftar Pustaka:
Modul PPT 8
Anderson, B.R.O'G. (1965). Mythology and the Tolerance of the Javanese. Cornell University -- Membahas mitologi Jawa dan peran Semar dalam nilai budaya.
Geertz, C. (1976). The Religion of Java. University of Chicago Press -- Analisis tentang struktur sosial dan etika budaya Jawa.
Magnis-Suseno, F. (1997). Etika Jawa. Gramedia -- Mengkaji nilai-nilai etis dan kebijaksanaan hidup Jawa melalui tokoh seperti Semar.
Hatley, B. (1988). Semar: The Philosopher-Clown -- Studi peran Semar sebagai tokoh bijak yang menyampaikan pesan moral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H