"Karena saya masih banyak acara, saya pamit duluan ya, silahkan nanti diteruskan obrolannya dengan Togog, Mbilung dan kawan kawan", sambung Petruk.
"Dan ini tolong diterima sebagai  tanda empati saya terhadap kalian", tambah Petruk seraya menyerahkan sesuatu berupa dauk, tentu saja ada isinya.
Para tokoh --pura pura -- kaget.
"Maaf baginda, ini apa?, kata salah seorang tokoh  sambil melirik isi dalam dauk yang oleh empunya sengaja  tidak ditutup rapih.   Semua  terperanjat, isinya tak lain  tumpukan Gabang.
"Maksudnya gimana ini paduka, paduka bermaksud nyogok kami supaya tidak melakukan aksi dan kritik terhadap kebijakan paduka, maaf kalau itu maksudnya, kami tidak terima", kata salah satu tokoh.
"Oh, bukan begitu", buru buru Togog menjelaskan.
"Ini Gabang bukan sogokan, tapi tanda empati  baginda terhadap kalian, sudah jauh jauh datang memenuhi undangan, jadi diterima saja, nanti obrolannya dengan saya dan Mbilung", kata Togog.
Para tokoh sejatinya hanya berpura pura, menjaga imeg  agar tidak dikira mata duitan bin materialis, padahal inilah yang dimaksud ungkapan "kejarlah daku, kau kutangkap".
"Ya sudah, lanjutkan obrolannya, saya pamit duluan, kalau ada apa apa nanti, bilang sama Togog atau Mbilung ya", Petruk mengahiri obrolan sambil pamit  dan menyalami satu persatu para tokoh.
Sejak peristiwa pertemuan di Kampung yang tidak besar itu, Ki Dalang mengisahkan bahwa  kini para tokoh itu sudah tak lagi terdengar suaranya, kalaupun ada aksi atau demonstrasi di Kerajaan Amartapura dari komunitas komunitas rakyat Amartapura, para tokoh itu tak lagi kelihatan batang hidungnya.
Kemana....?.