[caption caption="illustrasi korupsi, pulaubungacom"][/caption]
Â
Kalau Pebrianov bingung mendampingi belajar anaknya yang 'Ngeyel pada Kebenaran' Guru hingga harus mencari strategi jitu menghadapinya, malam ini, saya justru dapat kejutan dari anak saya yang paling kecil, Naya. Tapi intinya sebelas dua belas dengan sang Proffesor yakni ''bingung''. Saya jadi bingung sendiri mendapat pertanyaan yang tak saya duga sebelumnya.
Sebagai orang tua yang punya sense of belonging atau rasa  memiliki terhadap daerah, saya ingin juga mengajarkan kepada anak tentang ‘’rasa memiliki’’ itu agar tidak lupa dengan tanah tumpah darahnya dan tempat ari-ari ditanamkan saat ia dilahirkan dari perut ibunya.
Saat saya melihat, anak bungsu yang masih duduk di klas IV SD sedang asyik menggambar, saya coba bertanya.
‘’Nak, tempat tinggal kamu di Propinsi apa’’
‘’Banten’’, jawab si kecil.
Senang bukan main saya mendengar jawaban si kecil, itu artinya si kecil sudah mengetahui dimana ia tinggal.
Selanjutnya saya ingin mengetahui soal pimpinan daerah.
‘’Sekarang, coba sebutkan siapa Gubernur Banten yang…..’’, belum lagi saya selesai meneruskan pertanyaan, si kecil memotong.
‘’Korupsi…’’,
Waduh, saya terhenyak, kaget mendengar pertanyaan si kecil.
Tidak ada maksud menanyakan soal itu, saya hanya ingin menanamkan kepada si kecil soal cinta tanah air sebagai manifestasi dari rasa nasionalisme walaupun dalam level kedaerahan.
Sebetulnya, saya ingin bertanya kepada si kecil,
‘’Siapa Gubernur Banten yang Pertama’’.
Saya perlu menanyakan ini, karena bisa jadi di sekolah, pelajaran IPS yang materinya meliputi sejarah, Â tak pernah diajarkan soal pimpinan daerah dari tingkat Gubernur hingga Bupati/Walikota, apalagi dengan sitem pembelajaran yang memakai kurikulum tematik saat ini, sulit rasanya pak guru memberikan pelajaran yang sifatnya pengetahuan lokal.
Kalaupun anak saya nanti tidak bisa menjawab, pastinya saya akan memberikan penjelasan kepada anak sebagai bekal pengetahuan tentang sejarah lokal, sebab saya adalah orang yang termasuk ikut terlibat dalam setiap Pemilihan Gubernur, minimal ikut nyoblos, tak pernah golput.
Namun dengan adanya jawaban sekaligus pertanyaan dari si kecil, jujur saya hanya bisa tertegun dan harus jawab apa.
Tiba-tiba saja  si kecil malah bertanya,
‘’Ayah, korupsi itu apa sih’’.
Untuk kedua kalinya saya tertegun, ini anak kok pertanyaannya  bikin saya sulit menjawab.
Menjelaskan korupsi kepada anak yang baru kelas IV SD, tentu tidak segampang menjelaskan soal penyakit diabetes, soal gotong royong karena soal korupsi bukan hanya bersinggungan dengan mentalitas, tapi lebih dekat pada persoalan politik dan hukum.
Yang tidak saya mengerti adalah, kenapa anak sekecil ini pikirannya langsung menangkap soal korupsi saat saya bicara Gubernur. Ini artinya di otaknya sudah ada mind set tentang korupsi itu..
‘’La kamu tahu korupsi itu dari mana’’, tanya saya
‘’Ya kan banyak di TV pak, Gubernur Korupsi,’’, jawab si kecil sambil meneruskan oretan di buku gambar.
Oh itu rupanya, TV ternyata betul betul telah mempengaruhi anak saya. Informasi terbuka melalui siaran berita di TV tentang pelaku pelaku korupsi diserap sedemikian rupa oleh anak saya, bahkan mungkin oleh jutaan anak lainnya tanpa memahami apa sebenarnya ‘’korupsi’’ itu.
Sampai disini saya merenung, andaikan dijelaskan dengan berbagai macam teori dan rumusan tentang korupsi, yakin seyakin yakinnya, anak anak tak kan mampun menyerapnya, tidak akan mudah memahaminya.
Lantas bagaimana cara memberikan pemahaman terhadap soal korupsi ini kepada anak, saya kira yang paling tepat adalah bukan menjelaskan tentang arti korupsi, tetapi bagaimana memberikan pembelajaran tentang karakter yakni melalui tindakan dan perbuatan yang mengarah pada upaya pencegahan agar anak perprilaku tidak koruptif.
Masih dalam kondisi tertegun, anak saya terus mendesak, minta dijelaskan ‘’apa yang disebut korupsi’’.
‘’Begini..’’,
‘’Kalau Naya minta uang ke ayah untuk beli roti’’, kata saya menjelaskan
‘’Lantas ayah kasih uang lima puluh ribu, harga rotinya empat puluh ribu, terus Naya beli, terus naya bilang ke ayah harganya lima puluh ribu, terus masih ada uang sepuluh ribu, terus naya simpan’’, lanjut saya dengan bahasa anak.
‘’kira kira menurut Naya, boleh ngga’’
‘’Ya ngga boleh LAH’’,
‘’Kok ngga boleh ‘’ tanyaku lagi.
‘’kan itu namanya bohong’’.
‘’Bohong gimana’’
‘’Ya bohong, kan harganya empat puluh, dibilang lima puluh’’
‘’terus…..’’ , tanya saya
‘’Ya terus nyumputin uang yang sepuluh ribu’’.
''Kalau bohong itu baik ngga''
''Ya ngga lah, kata bu guru, bohong itu masuk neraka''
‘’Nah, sekarang naya tau, apa itu korupsi’’
‘’Ya ya ya,,,,, jadi korupsi itu berbuat bohong dan nyumputin uang, terus masuk neraka’’, jawab anak saya.
Nah lo, Masuk neraka...
Selesai menjawab, si kecil beres beres beranjak tidur.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H