Mohon tunggu...
Moch. Marsa Taufiqurrohman
Moch. Marsa Taufiqurrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum (yang nggak nulis tentang hukum)

Seorang anak yang lahir sebagai kado terindah untuk ulangtahun ke-23 Ibundanya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghadapi New Normal dengan Menormalkan Pancasila

12 Juli 2020   22:15 Diperbarui: 12 Juli 2020   22:25 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu hoaks yang bertebaran juga turut memicu pertentangan dua kubu yang sudah lahir dari masa Pemilihan Presiden dan tetap abadi hingga hari ini. Bukan beritikad baik untuk bergotong-royong, wabah Covid-19 justru semakin membuat peta pertengkaran semakin rumit. 

Pertentangan ini pun berhasil memecah mereka menjadi dua kubu, yakni kubu optimis dan kubu yang masih ketakutan. Lucunya ada 'Cebong' yang bergabung dengan tim optimis, demikian pula 'Kadrun' ataupun 'Kampret yang bergabung dengan tim ketakutan.

Belum lagi, makin banyaknya orang lapar akibat carut marut ekonomi akibat wabah berkepanjangan, berpotensi menyebabkan chaos seperti yang terjadi di Amerika beberapa minggu terakhir. Kematian satu orang akibat ulah aparat yang arogan dan rasis menyulut kerusuhan di seantero Amerika yang masih dalam suasana lockdown. 

Terakhir, bila situasi semakin tidak jelas, aspek politik semakin goyah dengan banyaknya penumpang gelap yang memanfaatkan isu wabah Covid-19 untuk kepentingan politik jangka pendek. Dimulai dari sekadar mengkritisi kebijakan pemerintah yang selalu salah hingga berujung pada pembakaran isu pemakzulan pemerintahan yang sah di tengah jalan.

Normalisasi Pancasila

Puncaknya, setelah mengarungi disrupsi Covid-19 yang melelahkan, banyak orang mulai merencanakan kehidupan kenormalan baru (new normal). Akan tetapi bagaimana gambaran kehidupan 'kenormalan' baru yang diimpikan itu tak sepenuhnya terang.

Istilah normal sesungguhnya berasal dari kata norm (norma). Sehingga situasi normal seharusnya dapat menggambarkan kondisi kelaziman keteraturan. Masalahnya, kelaziman keteraturan itu bisa terperangkap ke dalam 'normalitas' yang keliru (a false sense of normality). 

Misalnya, dalam rutinitas hidup bisa jadi masyarakat cenderung membesarkan yang benar atau selama pelayanan bisa dipersulit mengapa harus dipermudah, selama masih bisa membeli mengapa harus memproduksi sendiri. Selama masih bisa membeli produk asing, mengapa harus membeli produk dalam negeri.

Yang lebih dalam lagi, sebelum Covid-19 melanda, banyak orang memandang dirinya, sebagai pusat segala yang bisa menghalalkan segala cara demi memenuhi kepentingan diri yang dapat merusak tatanan kebersamaan.

Disrupsi Covid-19 mendekonstruksi kelaziman normalitas keliru seperti itu. Ternyata, semua diri terhubung dengan sesuatu yang lebih besar, lebih luas, dan lebih tinggi. Dengan kesadaran baru yang tumbuh bersama wabah, impian new normal itu harus dipahami bukan sekadar menemukan keteraturan/rutinitas baru, melainkan juga suatu normalitas baru yang benar (a true sense of normality)

Dalam kehidupan publik-kenegaraan, keteraturan yang besar itu harus didasarkan pada norma yang benar. Dalam kaitan ini, Pancasila lazim disebut dengan grundnorm (norma dasar) yang menjadi sumber dari segala sumber hukum negara. Dengan kata lain, memasuki normalitas baru yang benar, harusnya menghendaki pelaziman Pancasila sebagai penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memperhatikan tantangan-tantangan seperti tersebut di atas, maka mewujudkan Pancasila dalam tindakan bukan sekadar untuk bertahan (defensif), namun mesti bertindak aktif dalam menjawab tantangan. Segala daya, upaya dan kemampuan yang dimiliki mesti disalurkan agar Pancasila dalam tindakan bisa menjadi energi positif yang antara lain untuk memajukan ilmu dan pengetahuan, mengembangkan teknologi dan menghasilkan produk-produk yang sangat kompetitif di pasar internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun