Mohon tunggu...
Moch. Marsa Taufiqurrohman
Moch. Marsa Taufiqurrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum (yang nggak nulis tentang hukum)

Seorang anak yang lahir sebagai kado terindah untuk ulangtahun ke-23 Ibundanya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghadapi New Normal dengan Menormalkan Pancasila

12 Juli 2020   22:15 Diperbarui: 12 Juli 2020   22:25 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membangun kesadaran Pancasila adalah membangun kesadaran sejarah bangsa. Namun bangunan kesadaran itu tidak akan disebut kokoh apabila belum pernah diterjang badai yang besar. 

Pancasila tak akan pernah sakti tanpa diuji kesaktiannya. Pancasila memang pernah melewati momen-momen sulit ujian fisik. Ia digempur pemberontakan demi pemberontakan. 

Namun setelah reformasi, ujian-ujian itu seakan tidak lagi kasat mata. Gerbang reformasi yang terbuka membawa laju tantangan yang semakin deras, semakin beragam, dan semakin tak tampak.

Gempuran ideologi lewat teknologi menghantam dari dalam dan luar. Pancasila berkali-kali dipertanyakan dalam diskusi-diskusi alot semua yang berkepentingan. Bahkan sampai-sampai ada dikotomi antara yang merasa diri paling pantas disebut 'Pancasilais' hingga ada yang menantang dan menyebutnya tak cukup berhasil menjadi nilai yang bisa diterima semua.

Lalu di tengah segala pertentangan itu, tiba-tiba Covid-19 menyerang. Di bawah wabah Covid-19, semua diri tular-menular, semua bangsa papar-memapar, semua kekuatan tembus-menembus. Covid-19 berhasil menggerayangi segala agama dengan segala klaim kebenaran, semua ras tanpa diskriminasi, segala jabatan tanpa hak istimewa, segala adidaya tanpa hak veto. Pertanyaan demi pertanyaan mulai meragukan Pancasila, sejauh mana kontribusinya dalam menghadapi perpecahan akibat pandemi ini.

Namun, tantangan global ini, sepertinya berhasil meredam debat-debat panas tentang Pancasila. Kondisi genting ini serta-merta membuat banyak orang kembali merenungkan nilai-nilai luhur berkebangsaan yang ternyata sejak awal sudah melekat pada Pancasila.

Dalam menghadapi serangan Covid-19, memang idealnya harus dilihat berdasarkan cara pandang Pancasila. Selama ini kita selalu memandang bahwa ancaman terhadap pertahanan dan keamanan negara berasal dari serangan fisik seperti terorisme, perang, kerusuhan, dan sebagainya. Padahal jenis ancaman terhadap negara cukup banyak dan tidak terlihat, seperti ancaman ekonomi, pendidikan, kesehatan, pangan, dan sebagainya. 

Ketergantungan impor barang, pangan, juga merupakan ancaman yang tidak kalah mengerikan bila negara-negara asal impor tiba-tiba menutup semua pelabuhannya.

Penyebaran virus Covid-19 sendiri tergolong sebagai ancaman di bidang kesehatan karena telah menyebabkan penularan yang luas dan kematian yang cukup besar. Efeknya sangat luar biasa hingga berimbas pada kehidupan ekonomi, sosial budaya, dan politik. Dari aspek ekonomi, jelas sudah bahwa pandemi Covid-19 yang diiringi dengan kebijakan PSBB berkepanjangan telah menyebabkan banyak perusahaan bangkrut, apalagi UMKM yang keburu kolaps.

Dari aspek sosial budaya, kebijakan social dan physical distancing yang puncaknya membuat masyarakat menjadi saling curiga satu sama lain. Manusia dianggap sebagai pembawa penyakit bahkan ketika sudah meninggal sekalipun. Jadi wabah ini secara langsung merenggangkan hubungan antar manusia secara fisik karena tidak ada satu pun orang yang ingin tertular, padahal belum terbukti manusia tersebut membawa penyakit.

Lalu hoaks yang bertebaran juga turut memicu pertentangan dua kubu yang sudah lahir dari masa Pemilihan Presiden dan tetap abadi hingga hari ini. Bukan beritikad baik untuk bergotong-royong, wabah Covid-19 justru semakin membuat peta pertengkaran semakin rumit. 

Pertentangan ini pun berhasil memecah mereka menjadi dua kubu, yakni kubu optimis dan kubu yang masih ketakutan. Lucunya ada 'Cebong' yang bergabung dengan tim optimis, demikian pula 'Kadrun' ataupun 'Kampret yang bergabung dengan tim ketakutan.

Belum lagi, makin banyaknya orang lapar akibat carut marut ekonomi akibat wabah berkepanjangan, berpotensi menyebabkan chaos seperti yang terjadi di Amerika beberapa minggu terakhir. Kematian satu orang akibat ulah aparat yang arogan dan rasis menyulut kerusuhan di seantero Amerika yang masih dalam suasana lockdown. 

Terakhir, bila situasi semakin tidak jelas, aspek politik semakin goyah dengan banyaknya penumpang gelap yang memanfaatkan isu wabah Covid-19 untuk kepentingan politik jangka pendek. Dimulai dari sekadar mengkritisi kebijakan pemerintah yang selalu salah hingga berujung pada pembakaran isu pemakzulan pemerintahan yang sah di tengah jalan.

Normalisasi Pancasila

Puncaknya, setelah mengarungi disrupsi Covid-19 yang melelahkan, banyak orang mulai merencanakan kehidupan kenormalan baru (new normal). Akan tetapi bagaimana gambaran kehidupan 'kenormalan' baru yang diimpikan itu tak sepenuhnya terang.

Istilah normal sesungguhnya berasal dari kata norm (norma). Sehingga situasi normal seharusnya dapat menggambarkan kondisi kelaziman keteraturan. Masalahnya, kelaziman keteraturan itu bisa terperangkap ke dalam 'normalitas' yang keliru (a false sense of normality). 

Misalnya, dalam rutinitas hidup bisa jadi masyarakat cenderung membesarkan yang benar atau selama pelayanan bisa dipersulit mengapa harus dipermudah, selama masih bisa membeli mengapa harus memproduksi sendiri. Selama masih bisa membeli produk asing, mengapa harus membeli produk dalam negeri.

Yang lebih dalam lagi, sebelum Covid-19 melanda, banyak orang memandang dirinya, sebagai pusat segala yang bisa menghalalkan segala cara demi memenuhi kepentingan diri yang dapat merusak tatanan kebersamaan.

Disrupsi Covid-19 mendekonstruksi kelaziman normalitas keliru seperti itu. Ternyata, semua diri terhubung dengan sesuatu yang lebih besar, lebih luas, dan lebih tinggi. Dengan kesadaran baru yang tumbuh bersama wabah, impian new normal itu harus dipahami bukan sekadar menemukan keteraturan/rutinitas baru, melainkan juga suatu normalitas baru yang benar (a true sense of normality)

Dalam kehidupan publik-kenegaraan, keteraturan yang besar itu harus didasarkan pada norma yang benar. Dalam kaitan ini, Pancasila lazim disebut dengan grundnorm (norma dasar) yang menjadi sumber dari segala sumber hukum negara. Dengan kata lain, memasuki normalitas baru yang benar, harusnya menghendaki pelaziman Pancasila sebagai penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memperhatikan tantangan-tantangan seperti tersebut di atas, maka mewujudkan Pancasila dalam tindakan bukan sekadar untuk bertahan (defensif), namun mesti bertindak aktif dalam menjawab tantangan. Segala daya, upaya dan kemampuan yang dimiliki mesti disalurkan agar Pancasila dalam tindakan bisa menjadi energi positif yang antara lain untuk memajukan ilmu dan pengetahuan, mengembangkan teknologi dan menghasilkan produk-produk yang sangat kompetitif di pasar internasional.

Pancasila dalam tindakan juga bisa diarahkan kepada upaya untuk membangun kedaulatan pangan untuk menghilangkan ketergantungan. Wabah Covid-19 memberikan pelajaran berharga kepada semua orang, bahwa pasca Covid-19 hanya negara yang memiliki kedaulatan pangan yang bisa bertahan dan tidak tergantung pada produk impor dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Hanya negara yang memiliki kedaulatan pangan yang bisa mewujudkan keadilan sosial.

Dari peristiwa pandemi Covid-19, kita bisa memahami betapa pentingnya Pancasila dalam pengambilan sebuah kebijakan dan keputusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap kebijakan dan keputusan yang diambil haruslah komprehensif, memandang dari berbagai nilai-nilai Pancasila.

Semua aspek harus diperhitungkan dengan tetap mengedepankan skala prioritas. Dalam jangka pendek aspek kesehatan menjadi prioritas, namun dalam jangka panjang aspek ekonomi harus menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, tak pelak jika dalam menghadapi kehidupan normal yang baru ini, implementasi dari sila-sila Pancasila harus kembali 'dinormalkan' dan diteguhkan kembali di dalam sanubari masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun