Mohon tunggu...
Annestiana Handini
Annestiana Handini Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pendidik

Menulislah! Dengan menulis kamu akan membuka dunia baru!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Telepon Tengah Malam

8 November 2021   10:39 Diperbarui: 8 November 2021   10:42 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku merenggangkan otot-otot leherku yang terasa kaku. Bagaimana tidak kaku! Semalaman aku menunduk untuk bisa memasukkan semua kata-kata asing itu ke dalam otakku. Otot leherku benar-benar kaku. Ingin rasanya meletakkan leher ini ke bantal. Sekarang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, jika aku tidur kemungkinan besar akan terlambat ke sekolah. Aku hanya memandang miris jam dinding. Andai saja tidak ada ujian pasti aku akan senang hati mendamparkan tubuhku pada kasur, bantal, guling, dan selimut yang kucinta.

Bayangan tidur menari-menari dalam pikiranku dibuyarkan dering telepon. Aku mengerutkan kening. Siapa yang menelpon dini hari seperti ini? Nomer yang tidak dikenal pula. Aku mengeser tombol hijau tersebut.

“Halo?” sapaku meragu.

“Halo.” Terdengar suara laki-laki. Siapa? Suaranya rendah sekali.

“Siapa?” orang itu tertawa. Mengapa? Apa ada yang salah dengan pertanyaanku? Aku menanyakan namanya tapi orang itu tertawa. Aneh!

“Ayolah Reina, kamu melupakan aku?” laki-laki itu mengenal aku.  Apakah temanku? Teman apa kuliah? Tidak aku memiliki semua kontak teman kuliahku. Apa teman SMA? Atau SMP? Mana mungkin SD?

“Maaf anda siapa? Saya tidak ingin bermain-main dengan orang tak dikenal.” Jawabku tegas. Namun, aku tidak yakin terdengar tegas. Aku mungkin terdengar takut.

“Ayolah Reina, ini sudah pagi, jam 2.15 pagi.” Orang itu berkata dengan suara yang tenang membuatku merinding. Apa dia pembunuh bayaran yang ada di drama-drama korea? Mungkinkah dia stalker? Saat itu juga aku memencet tombol merah untuk mematikan telepon tersebut.

Aku punya pengagum rahasia. Haruskah aku senang? Haruskah aku lapor polisi? Tunggu aku tidak ingin terlalu berurusan dengan polisi.

Telepon genggamku kembali berdering. Dari nomor itu lagi. Aku tak ingin mengangkatnya. Berdering lagi. Dia menelpon lagi. Lagi. Lagi. Aku mematikan telepon genggamku.

Jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi lebih baik aku mandi, solat subuh, sarapan, dan berangkat. Ujian kali ini diadakan pagi sekali jam setengah tujuh. Dosen yang membuat mahasiswanya rajin. Selamat anda berhasil.

Aku membuka telepon genggamku kembali setelah ujian. Ada 50 telepon masuk tak terjawab. Apa yang orang ini pikirkan. Ini terlalu menakutkan.

“Hai Rein!” sapa Olivia, dia teman kuliahku. Kami cukup dekat. “Kamu jadi ke kantin setelah ini?” tanyanya.

“Iya, ayo! Udah laper banget.” Kataku dengan wajah kelaparan. Bodoh amat dengan telepon itu. Aku lapar.

Aku dan Olivia duduk di tempat biasa kami duduk dan mengobrol seputar ujian tadi. Olivia selalu asyik sebagai teman mengobrol. Itu yang aku suka dan dia adalah pendengar yang baik.

###

Aku kembali ke kosku dengan sehat dan selamat. Aku segera berbesih diri sudah hampir maghrib. Oh ya, tiba-tiba aku teringat teleponku, aku tidak mengeceknya lagi setelah bersama Olivia tadi. Aku harap tidak ada telepon masuk.

Syukurlah. Tidak ada. Besok tidak ada ujian. Yahoo, bisa tidur nyenyak malam ini.

###

Aku sudah terlelap ketika teleponku berdering. Aku meraba-raba nakas di sebelah kasurku.

“Halo.” aku menjawab dengan suara khas orang bangun tidur. Jam berapa ini? Jam 2 malam.

“Halo, Reina. Kita bertemu lagi malam ini” Oh, dia lagi. Cukup. Aku akan mematikannya.

“Tunggu Reina! Aku menelponmu karena ada yang ingin aku ceritakan. Aku ingin kamu mengingatku dengan ingatanmu sendiri. Aku tak akan memberikan namaku.” Siapa orang ini?

“Bisakah anda menelpon di waktu yang normal? Mengapa saya harus mendengarkan cerita anda tengah malam?” teriakku. Tak bisakah kita berbicara di waktu normal.

“Karena tengah malam adalah waktu yang tenang, untukku bercerita.” Dasar aneh!

“Kenapa tidak memberitahukan namamu saja?” aku sungguh mengantuk dan tak berminat mendengar cerita orang asing seperti ini.

“Itu tidak bermakna Reina. Aku ingin kamu mendengar ceritaku dan menebak namaku.” Aku dapat merasakan paksaan dari kalimatnya. Kenapa dia ingin sekali aku mengingat namanya?

“Kamu temanku?”

“Iya... bisa dibilang begitu.” Nadanya terdengar ragu. Mencurigakan namun membuat rasa penasaran.

“Apa maksudmu?”

“Dengarkan ceritaku maka semua pertanyaanmu akan terjawab.” Baik kalau itu bisa menguraikan penasaranku. Rasa penasaranku telah terbentuk. Jika tak terpecahkan, aku juga tak bisa tidur.

“Oke, cepat ceritalah!” Aku bangkit dari posisi tidurku.

“Harus aku mulai dari mana cerita ini?” laki-laki gila! Dia yang punya cerita tapi dia bertanya dari mana memulainya.

“Mana aku tahu! Kau yang ingin bercerita.” Dia tertawa. Menjengkelkan sekali.

“ Baiklah, aku akan mulai enam tahun yang lalu. Lima tahun yang lalu artinya kita masih SMP....”

“Jadi kamu temanku SMP? Tunggu kamu Bagas? Adi? Rijal? Temanku SMP laki-laki hanya 10 orang, tapi hampir separuh aku mempunyai kontaknya. Aha! Kamu Bima kan?”

“Reina, jangan potong ceritanya dulu! Memang kita bertemu saat SMP. Namun, aku bukan temanmu saat itu.” Kata laki-laki itu sedikit ambigu untukku. Namun, aku akan diam dan mendengarkan ceritanya saja.

“Aku teruskan ya. Saat itu, aku datang ke sekolah dengan tersenggal-senggal karena aku harus berlari mengejar waktu. Di saat itulah aku melihatmu berlari juga. Dengan kesusahanmu berlari dan larimu yang lambat.” Eh, eh, kenapa pakai di deskripsikan lariku. Ngeselin. Aku tak memotong ceritanya.

“Sesaat duniaku teralihkan. Hingga teriakan Muklis, mengembalikan ku kekesadaranku.” Aku sedikit tertawa saat dia mengucapkan nama satpam sekolah. Pak Muklis.  

“Setelah hari itu, aku selalu mencarimu di sekolah. Mencari namamu. Mencari aktivitasmu. Ya, kita tidak sekelas, jika itu yang ingin kau tanyakan.” Aku tak ingin menanyakan apapun tuh.

“Apa kau tak penasaran dengan sesuatu?”

“Tadi, kau bilang aku tak boleh memotong cerita ini. Teruskan saja!” kataku malas.

“Baik. Pendengar yang baik.” Hmm… sekarang aja aku jadi pendengar yang baik.

“Aku selalu memperhatikanmu diam-diam. Aku menjagamu diam-diam. Aku bukan pengecut, Reina! Aku selalu hadir di depanmu. Sayangnya, kamu yang tak pernah melihatku. Aku memang tidak bisa berkenalan denganmu saat itu. Kau adalah milik temanku,” Aku hanya terdiam dan otakku semakin sibuk mengali memori tentang siapakah dia?

Aku benar-benar berpikir keras siapa orang ini. Kenapa ceritanya sangat misterius untukku. Siapa temannya yang bersamaku, Akbar? Orang ini temannya Akbar, kah?

“Ya, aku teman main Akbar. Akbar sungguh menyanyangimu Reina dan aku tak bisa tiba-tiba menunjukkan rasaku juga padamu. Hingga hari kelulusan tiba. Aku tak bisa mengutarakan rasa dihatiku. Walau begitu, aku tak kehilangan sesuatu informasi pun tentangmu.” Aku tak ingat apapun tentangnya, sungguh. Namun, mengapa hatiku ikut sakit mendengar ceritanya.

“Hari demi hari ingin aku memperkenalkan diriku padamu. Namun, aku lebih menyukai mengamatimu dari jauh. Aku hanya berharap waktu bisa berpihak padaku dan membuat perkenalan kita terjadi secara alami.” Hah? Perkenalan yang alami bagaimana? Yang seperti ini? Ini orang emang aneh deh.

“Reina, aku selalu menjagamu dari jauh. Aku tak pernah ingin kau terluka oleh siapapun. Bahkan saat kau putus dari Akbar yang membuatmu menangis semalaman. Aku tak bisa membiarkannya begitu saja. Maaf, Reina aku memukul Akbar.”

“Buat apa kau meminta maaf padaku? Yang kau lukai Akbar. Jangan berharap kata terima kasih dariku. Aku tak pernah memintamu.” Aku tak bersimpati padanya. Terlalu egois.

“Apakah kau masih mencintai Akbar, Reina?” tanya dia dengan nada serendah mungkin.

“Tidak.” Jawabku singkat. Tak perlu aku memberitahukan perasaanku yang sesungguhnya.

“Baiklah. Mungkin cerita setelah ini akan membuatmu ingat padaku. Mungkin juga mengembalikkan peristiwa yang tak ingin kau ingat,”

“Kalau begitu aku tak ingin mendengarnya. Selamat-“

“Tunggu! Aku harus menceritakannya padamu. Kumohon dengarkan ini!”

“Baiklah, buang bagian yang membuatku tak nyaman!”

“Sebelumnya aku minta maaf padamu, Rein. Aku sungguh minta maaf juga memintamu mendengar cerita ini. Aku dulu bukanlah siswa yang baik dan teladan,” ya, sudah jelas karena Akbar pun begitu.

“Aku suka sekali ikut tawuran dan kabur dari kelas. Saat itu, aku melihatmu bersembunyi di balik pohon beringin. Aku tahu kau sedang semunyi dari aksi tawuran hari itu,”

Saat mendengar kata tawuran, perutku sudah mual. Aku tahu dia. Aku tahu cerita itu. Aku tak ingin mendengarnya lagi. Aku mematikan teleponku tanpa mendengar keseluruhan cerita. Air mataku meluruh. Perutku bergejolak. Aku menelungkupkan kepalaku ke bantal. Malam itu, aku sungguh menyesal mengangkat telepon itu.

###

Seminggu kemudian, di tempat pemakaman umum.

Gundukan tanah dengan nama Gian Abimanyu Putra. Aku hanya menatapnya tanpa ada rasa apa pun. Pandanganku mungkin kosong. Air mata pun takkan ku izinkan meleleh.

“Rein,” Akbar menyentuh lenganku. Dia mengajakku pulang. Aku menatapnya dan membuatnya bertanya lewat tatapan.

“Dia meneleponku. Aku tak tahu kalau saat itu dia dalam keadaan sekarat. Jujur, aku tak bersimpati padanya sedikitpun. Bagiku dia tetaplah tukang memaksa dan egois.” Aku mengutarakan semuanya. Air mataku meleleh tanpa izinku. Akbar menarikku dalam pelukannya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun