“Mana aku tahu! Kau yang ingin bercerita.” Dia tertawa. Menjengkelkan sekali.
“ Baiklah, aku akan mulai enam tahun yang lalu. Lima tahun yang lalu artinya kita masih SMP....”
“Jadi kamu temanku SMP? Tunggu kamu Bagas? Adi? Rijal? Temanku SMP laki-laki hanya 10 orang, tapi hampir separuh aku mempunyai kontaknya. Aha! Kamu Bima kan?”
“Reina, jangan potong ceritanya dulu! Memang kita bertemu saat SMP. Namun, aku bukan temanmu saat itu.” Kata laki-laki itu sedikit ambigu untukku. Namun, aku akan diam dan mendengarkan ceritanya saja.
“Aku teruskan ya. Saat itu, aku datang ke sekolah dengan tersenggal-senggal karena aku harus berlari mengejar waktu. Di saat itulah aku melihatmu berlari juga. Dengan kesusahanmu berlari dan larimu yang lambat.” Eh, eh, kenapa pakai di deskripsikan lariku. Ngeselin. Aku tak memotong ceritanya.
“Sesaat duniaku teralihkan. Hingga teriakan Muklis, mengembalikan ku kekesadaranku.” Aku sedikit tertawa saat dia mengucapkan nama satpam sekolah. Pak Muklis.
“Setelah hari itu, aku selalu mencarimu di sekolah. Mencari namamu. Mencari aktivitasmu. Ya, kita tidak sekelas, jika itu yang ingin kau tanyakan.” Aku tak ingin menanyakan apapun tuh.
“Apa kau tak penasaran dengan sesuatu?”
“Tadi, kau bilang aku tak boleh memotong cerita ini. Teruskan saja!” kataku malas.
“Baik. Pendengar yang baik.” Hmm… sekarang aja aku jadi pendengar yang baik.
“Aku selalu memperhatikanmu diam-diam. Aku menjagamu diam-diam. Aku bukan pengecut, Reina! Aku selalu hadir di depanmu. Sayangnya, kamu yang tak pernah melihatku. Aku memang tidak bisa berkenalan denganmu saat itu. Kau adalah milik temanku,” Aku hanya terdiam dan otakku semakin sibuk mengali memori tentang siapakah dia?