“Sebelumnya aku minta maaf padamu, Rein. Aku sungguh minta maaf juga memintamu mendengar cerita ini. Aku dulu bukanlah siswa yang baik dan teladan,” ya, sudah jelas karena Akbar pun begitu.
“Aku suka sekali ikut tawuran dan kabur dari kelas. Saat itu, aku melihatmu bersembunyi di balik pohon beringin. Aku tahu kau sedang semunyi dari aksi tawuran hari itu,”
Saat mendengar kata tawuran, perutku sudah mual. Aku tahu dia. Aku tahu cerita itu. Aku tak ingin mendengarnya lagi. Aku mematikan teleponku tanpa mendengar keseluruhan cerita. Air mataku meluruh. Perutku bergejolak. Aku menelungkupkan kepalaku ke bantal. Malam itu, aku sungguh menyesal mengangkat telepon itu.
###
Seminggu kemudian, di tempat pemakaman umum.
Gundukan tanah dengan nama Gian Abimanyu Putra. Aku hanya menatapnya tanpa ada rasa apa pun. Pandanganku mungkin kosong. Air mata pun takkan ku izinkan meleleh.
“Rein,” Akbar menyentuh lenganku. Dia mengajakku pulang. Aku menatapnya dan membuatnya bertanya lewat tatapan.
“Dia meneleponku. Aku tak tahu kalau saat itu dia dalam keadaan sekarat. Jujur, aku tak bersimpati padanya sedikitpun. Bagiku dia tetaplah tukang memaksa dan egois.” Aku mengutarakan semuanya. Air mataku meleleh tanpa izinku. Akbar menarikku dalam pelukannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI