Hampir setiap hari mereka berdua tidur di lorong tersebut, ya tak lain karena mereka sudah terbiasa di situ, walaupun kamar juga masih longgar tempatnya. Mungkin karena mereka terbiasa tidur di lorong waktu musim kemarau dan di pondok tersebut cukup panas. Jika mereka tidur di kamar pasti akan mandi keringat Sedangkan di lorong tersebut ada kipas yang bisa menyejukkan badan mereka tatkala kemarau membakar dengan panasnya Dari situlah mungkin mereka berdua terbiasa tidur di situ.
Hari berganti pagi, "Fiq, tangi Fiq, wes jam Sembilan,"[1] gaya si Thoriq yang lucu mencoba menggunakan bahasa jawa untuk membangunkan si Syafiq yang masih tertidur pulas. Walapun ia sedikit ngambek sama Syafiq, ia tetap perhatian sama shohibnya. Thoriq memang anak luar jawa yang sangat ingin sekali bisa bahasa jawa. Oleh karena itu jika ia di kasih tau temannya yang asli Jawa dengan Bahasa Jawa, ia langsung mempraktekannya.
Â
Seperti hari-hari biasanya, karena setelah sholat jamaah subuh dan membaca Yasin Fadhilah, pasti sebagian santri tidur lagi.
Â
"Oooaaahhh, jam berapa riq ini?" Syafiq yang mulai sadar, ketika di bangunin si Thoriq dari mimpi indahnya. Syafiq cukup pulas tidurnya, setelah bercengkrama semalaman bersama si Thoriq, Bagus, dan Dimas.
Â
"Sudah jam delapan ini, ayo bangun," sahut si Thoriq.
Â
"Yang bener lu Riq, waduh gk mandi lagi ni gua" balas Syafiq dengan mengeluh.
Â