Mohon tunggu...
Agus Baehaqi
Agus Baehaqi Mohon Tunggu... Politisi - Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Politik dan Seni Budaya

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dampak Sosial dari Politisasi Identitas di Tengah Masyarakat Majemuk (Indonesia)

22 Desember 2024   21:41 Diperbarui: 22 Desember 2024   21:13 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Politisasi identitas merupakan bentuk lain daripada politik identitas. Berbanding dengan induknya, politisasi identitas lebih mengerucut kepada usaha suatu kelompok dalam mencapai tujuan pribadi/kelompoknya sendiri. Di Indonesia sendiri hal ini sangat berkaitan erat dalam setiap kompetisi politik di beberapa dekade terakhir. Disamping itu identitas seringkali di-politisasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam kekuasaan.[1] Seringkali identitas nasionalisme dilibas dengan lakunya identitas-identitas lain seperti ras, suku dan agama. Hal ini jelas bertentangan dengan kemajemukan masyarakat Indonesia yang seharusnya beriklim ke-bhineka-an. 

 

Politik identitas pada awal kemunculannya adalah suatu gerakan pragmatis sebagai usaha dalam memperjuangkan hak-hak kaum tertindas pada era 1950-an. Namun berbicara situasi Indonesia hari ini, politisasi identitas seolah menjadi strategi yang masih jitu untuk mendoktrin stigma masyarakat sebagai langkah pragmatis dalam mengejar kursi kekuasaan. Situasi demikian menjadi hal menarik untuk dipelajari tentang bagaimana perkembangan mobilisasi politik di Indonesia salah satunya dengan bentuk politisasi identitas yang ada.

 

Mengenai dampak dari politisasi identitas itu sendiri jelas mengikis hak-hak kesetaraan dari kaum minoritas. Yang mana seharusnya situasi demikian harus diintegrasikan selangkah lebih dewasa guna memajukan kualitas iklim politik di Indonesia. Lalu, apa yang bisa menjadi jalan tengah dari masalah ini ? Karena jika mengacu kepada ideologi yang kita anut, seringkali kita diharuskan untuk tetap bersatu ditengah keberagaman. Maka dari itu, penting bagi kita untuk membuka pikiran mengenai kedewasaan masing-masing individu dalam berpolitik.

Dampak sosial  yang terlihat akibat politiasi identitas adalah keberkubuan dari masing-masing pihak yang menimbulkan perpecahan. Egosentris dan ambisi dari pemilik identitas akan beradu dalam menempuh kontestasi kekuasaan. Hal ini jelas akan menimbulkan konflik internal dalam negeri dan bukanlah hal positif untuk tetap dibiarkan tanpa kita sikapi dengan kedewasaan.  

Politik identitas telah sejak lama mewarnai berbagai kisah politik dunia. Namun, sejarah mencatat awal mula dari kemunculan fenomena demikian mencuat pada abad ke-20 di Amerika serikat. Isu yang berkembang pada saat itu diantaranya, mengenai hak-hak sipil, gerakan pembebasan kaum minoritas dan feminisme. Martin Luther King Jr. adalah salah satu tokoh yang memperjuangkan hak-hak sipil secara pasif pada tahun 1950-an. Multikulturalisme masyarakat dalam menyikapi politik identitas juga mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Kedewasaan dalam pradigma politik masyarakat membawa dampak signifikan bagi identitasnya masing-masing dalam memperjuangkan hak dan kesetaraan tanpa mengenyampingkan hal lain yang berpotensi menimbulkan perpecahan.[1]

 

Martin Luther King Jr. adalah simbol dari keberlangsungan pergerakan politik identitas di masa lalu sebagai tokoh yang memperjuangkan hak-hak sipil warga Amerika keturunan Afrika (ras kulit hitam). Dirinya mengalami kesenjangan sosial sejak usia belia dikarenakan politik identitas ras yang berlaku secara masif di negaranya sendiri. Padahal, secara hakikat asasi sendiri setiap individu berhak mendapatkan hak-hak hidup dimanapun berada tanpa ada kesenjangan dari hal apapun selagi tidak mengganggu dan merampas hak-hak individu yang lain. Namun, dampak dari politik identitas yang berlaku di negaranya tersebut dinilai tidak sama sekali memberikan rasa keadilan yang menyeluruh. Sebagai contoh kecilnya, orang kulit hitam harus rela menyerahkan tempat duduknya untuk orang kulit putih dalam bus umum. Siapapun yang menolak hal tersebut akan dikenakan denda senilai $10 (sepuluh dolar AS).[2]

 

Setelah sekian panjangnya perjuangan orang kulit hitam dalam memperjuangkan hak sipilnya, pada akhirnya menemukan titik terang dimana pemerintah federal Amerika memberlakukan undang-undang hak sipil 1964. Undang-undang tersebut menjadi awal dari kemajuan dari menurunnya presentase kesenjangan rasisme yang terjadi. Walaupun secara kultural hal ini tidak mudah untuk diterapkan dan berkembang cukup lambat. Bahkan sampai saat inipun terkadang fenomena rasisme masih sering terjadi secara kultur. Namun, situasi demikian sudah lebih baik dibanding pada masa King Jr. dulu.[3]

 

Dari kisah diatas, maka secara ontologis dapat ditarik satu makna bahwa politik identitas pada awal kemunculannya adalah bentuk usaha dalam memperjuangkan hak-hak kaum tertindas. Mengingat bahwa setiap manusia di dunia ini mempunyai hak asasinya masing-masing dan secara hakikat hak tersebut tidak dapat dirampas oleh pihak manapun. Manusia berhak hidup dengan berbagai hak kebebasan yang dia bawa sejak lahir. Disamping itu setiap individu berhak untuk mendapat kesetaraan dalam hidup berdampingan.

 

  • Politisasi Identitas

 

Secara etimologis, menurut KBBI adalah tindakan atau proses yang membuat keadaan, perbuatan, gagasan, atau hal lain menjadi bersifat politis. Sedangkan secara makna ontologis politisasi adalah suatu paraktek strategi politik dalam meningkatkan citra yang bertujuan memobilisasi massa dengan pendekatan tertentu.[4] Diantara bentuk politisasi, identitas menjadi salah satu bagian penting yang bisa dipolitisasi. Berbeda dengan politik identitas yang mana hal itu ada karena urgensi perampasan hak-hak kaum tertindas di masa lampau yang mesti diperjuangkan sehingga mendapat kesetaraan, politisasi identitas memiliki makna yang lebih eksplisit tentang usaha seorang individu/kelompok dalam mempejuangkan ambisinya demi kependingannya sendiri. 

 

Dalam keberlangsungan politik di Indonesia, politisasi identitas seringkali masih menjadi strategi yang menarik untuk ditempuh suatu golongan dalam mencapai kursi kekuasaan. Kedewasaan masyarakat dalam berpolitik terkadang menjadi faktor kuat yang menjadi alasan hal ini masih terjadi. Pentingnya kedewasaan politik di masyarakat adalah penentu iklim politik Indonesia yang lebih maju dan objektif. Maka dari itu, harus ada jalan tengah dari situasi ini dimana masyarakat bisa berperan aktif dalam politik tidak hanya menilai dari suatu identitas tertentu.

 

Politisasi identitas di Indonesia sendiri seringkali menjadi teknik manipulasi pemahaman yang menjadi doktrin kuat ditengah masyarakat. Hal ini menimbulkan dampak sosial betapa sensitifnya isu agama yang digemborkan para buzzer politik dalam kontestasi pemilu. Fanatisme masyarakat seolah menjadi dogma yang kuat dalam pengambilan keputusan setiap individu dalam peran politiknya.

 

  • Sebagai contoh kita bisa mengingat kembali pada masa pemilihan presiden 2019 yang mana bentuk politisasi yang berlangsung adalah isu agama. Faham-faham agama seolah menjadi makanan renyah para buzzer politik dalam menggoreng informasi paslon yang didukung. Disamping itu pemahaman agama masyarakat digiring menuju fanatisme yang panas pada saat itu. Saling menjelekan antar kelompok yang berlawanan, saling memojokan dan saling menunjukan siapa yang paling unggul dan pantas menduduki kursi kekuasaan. Kubu Prabowo-Sandi dengan dukungannya dari FPI dampak lanjutan dari adanya kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama menjadi sumber fanatis yang memanas ditengah masyarakat. Disamping itu kubu Jokowi-Amin yang dituduh sebagai antek komunis dan anti islam menjadi strategi jitu dalam iklim kompetisi yang berlangsung.[5]

Namun demikian, lantas mengapa politisasi identitas agama menjadi sumber kuat dari panasnya kontestasi politik Indonesia ? Agama telah menjadi bagian yang melekat erat pada masyarakat Indonesia. Dalam meningkatkan daya dukung masyarakat seringkali simbol-simbol agama menjadi nilai jual yang cukup mengikat hati masyarakat dalam menentukan pilihan. Padahal kapabilitas seseorang dalam memimpin tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja dalam hal ini agama. Seringkali stigma masyarakat terpengaruh dengan praktek-praktek politisasi yang ada.

 

Bukan itu saja, bentuk politisasi lain dalam bentuk agama dan suku pun masih sering terjadi seperti celotehan pak Luhut Binsar Pandjaitan dikutip dari laman berita idntimes dalam suatu wawancara yang ditanya tentang minatnya untuk maju dalam kontestasi pilpres 2024 yang menyatakan "Jadi, saya ini double minoritas. Saya sudah kristen, lalu orang batak. Ngapain saya menyakiti hati saya. Istri saya juga nanya untuk apa lagi (memikirkan nyapres). Saya jawab memang gak mau (ikut capres)," kata menteri yang juga seorang mantan jenderal Kopassus tersebut.

 

Deri beberapa contoh kasus diatas kita mengetahui bahwa bentuk politisasi di Indonesia masih marak terjadi. Sepatutnya kita maju satu tingkat menuju politik yang lebih dewasa dan terbuka. Tidak hanya melihat identitas tertentu saja. Tetapi, penting juga bagi kita memperhatikan kapabilitas seseorang dalam menentukan pilihan. Sudah cukup kita dipolitisasi dengan berbagai isu identitas yang memecah belah bangsa.

  • Dampak Sosial dari Politisasi Identitas

 

         Politisasi identitas mengacu pada penggunaan identitas kelompok seperti ras, etnisitas, gender, agama, atau kelas sosial sebagai alat untuk mencapai tujuan politik. Fenomena ini dapat terlihat di berbagai belahan dunia dan memiliki dampak yang signifikan terhadap masyarakat. Dalam upaya untuk mobilisasi dukungan politik, pemimpin sering menggunakan narasi yang merendahkan atau menstigmatisasi kelompok lawan. Hal ini tidak hanya merugikan individu dalam kelompok tersebut, tetapi juga menghambat dialog antar kelompok dan menciptakan iklim intoleransi. Stereotip yang diperkuat bisa berujung pada diskriminasi dan marginalisasi yang lebih sistematis.[6]

 

         Diantara dampak negatif yang akan timbul jika politisasi identitas terus terjadi adalah :

 

1. Perpecahan ditengah masyarakat

 

Salah satu dampak paling mencolok dari politisasi identitas adalah pemecahan sosial. Ketika identitas tertentu digunakan untuk membedakan dan mendiferensiasi kelompok, hal ini dapat mengarah pada meningkatnya ketegangan antar kelompok. Misalnya, dalam konteks etnis, politisasi identitas dapat memperburuk konflik yang ada dan menghasilkan polarisasi yang lebih dalam. Masyarakat menjadi terfragmentasi, dengan individu lebih cenderung berinteraksi hanya dengan anggota kelompok mereka sendiri.[7]

 

2. Pengikisan hak-hak kaum minoritas

 

Politika identitas dapat menciptakan ketegangan antara kelompok mayoritas dan minoritas, sering kali mengarah pada pengabaian hak-hak kaum minoritas demi kepentingan politik kelompok mayoritas. Kaum minoritas yang hak-haknya terpinggirkan cenderung mengalami marginalisasi dalam berbagai aspek, termasuk politik, ekonomi, dan budaya, sehingga kehilangan suara dalam pengambilan keputusan. Ketika identitas kelompok menjadi fokus utama, suara individu dalam kelompok minoritas sering kali terabaikan. Kebijakan yang diusulkan mungkin tidak mempertimbangkan kebutuhan dan hak-hak mereka, mengarah pada marginalisasi.[8]

 

3. Dampak terhadap Partisipasi Politik

 

Politisasi identitas juga memengaruhi cara individu berpartisipasi dalam politik. Ketika identitas kelompok menjadi pusat perhatian, individu sering kali merasa terpaksa untuk mendukung calon atau partai yang dianggap mewakili kelompok mereka, meskipun mereka mungkin tidak setuju dengan semua kebijakan yang diusulkan. Ini dapat mengurangi pluralisme dalam politik, karena suara-suara yang berbeda sering kali diabaikan demi kepentingan kelompok yang lebih besar.

 

Dampak politisasi identitas terhadap partisipasi politik di Indonesia sangat kompleks. Sementara ia dapat meningkatkan mobilisasi dan kesadaran, ia juga berpotensi menyebabkan eksklusi, ketegangan sosial, dan pembelahan masyarakat. Untuk menciptakan lingkungan politik yang lebih inklusif, penting bagi semua pihak untuk mendukung dialog antar kelompok dan memastikan bahwa suara semua kelompok, terutama minoritas, diakui dan dihargai.[9]

 

Kesimpulan

 

        Secara singkat politisasi identitas menimbulkan berbagai dampak negatif dalam keberlangsungan sosial masyarakat di Indonesia. Ditengah keberagaman, golongan-golongan tertentu saling adu keunggulan kelompok. Sudah sepatutnya kita maju selangkah menuju pemikiran yang lebih dewasa dalam berpolitik. Dibutuhkan pandangan objektif dalam peran masyarakat guna terciptanya good governance di masa kkini dan seterusnya. Sehingga masyarakat Indonesia bisa kemballi pada asas pemikiran bernegaranya yakni "Bhineka Tunggal Ika". Dapat hidup berdampingan dalam keberagaman dan obejktif dalam berpolitik tanpa harus saling menjatuhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun