Â
Dari kisah diatas, maka secara ontologis dapat ditarik satu makna bahwa politik identitas pada awal kemunculannya adalah bentuk usaha dalam memperjuangkan hak-hak kaum tertindas. Mengingat bahwa setiap manusia di dunia ini mempunyai hak asasinya masing-masing dan secara hakikat hak tersebut tidak dapat dirampas oleh pihak manapun. Manusia berhak hidup dengan berbagai hak kebebasan yang dia bawa sejak lahir. Disamping itu setiap individu berhak untuk mendapat kesetaraan dalam hidup berdampingan.
Â
- Politisasi Identitas
Â
Secara etimologis, menurut KBBI adalah tindakan atau proses yang membuat keadaan, perbuatan, gagasan, atau hal lain menjadi bersifat politis. Sedangkan secara makna ontologis politisasi adalah suatu paraktek strategi politik dalam meningkatkan citra yang bertujuan memobilisasi massa dengan pendekatan tertentu.[4] Diantara bentuk politisasi, identitas menjadi salah satu bagian penting yang bisa dipolitisasi. Berbeda dengan politik identitas yang mana hal itu ada karena urgensi perampasan hak-hak kaum tertindas di masa lampau yang mesti diperjuangkan sehingga mendapat kesetaraan, politisasi identitas memiliki makna yang lebih eksplisit tentang usaha seorang individu/kelompok dalam mempejuangkan ambisinya demi kependingannya sendiri.Â
Â
Dalam keberlangsungan politik di Indonesia, politisasi identitas seringkali masih menjadi strategi yang menarik untuk ditempuh suatu golongan dalam mencapai kursi kekuasaan. Kedewasaan masyarakat dalam berpolitik terkadang menjadi faktor kuat yang menjadi alasan hal ini masih terjadi. Pentingnya kedewasaan politik di masyarakat adalah penentu iklim politik Indonesia yang lebih maju dan objektif. Maka dari itu, harus ada jalan tengah dari situasi ini dimana masyarakat bisa berperan aktif dalam politik tidak hanya menilai dari suatu identitas tertentu.
Â
Politisasi identitas di Indonesia sendiri seringkali menjadi teknik manipulasi pemahaman yang menjadi doktrin kuat ditengah masyarakat. Hal ini menimbulkan dampak sosial betapa sensitifnya isu agama yang digemborkan para buzzer politik dalam kontestasi pemilu. Fanatisme masyarakat seolah menjadi dogma yang kuat dalam pengambilan keputusan setiap individu dalam peran politiknya.
Â
- Sebagai contoh kita bisa mengingat kembali pada masa pemilihan presiden 2019 yang mana bentuk politisasi yang berlangsung adalah isu agama. Faham-faham agama seolah menjadi makanan renyah para buzzer politik dalam menggoreng informasi paslon yang didukung. Disamping itu pemahaman agama masyarakat digiring menuju fanatisme yang panas pada saat itu. Saling menjelekan antar kelompok yang berlawanan, saling memojokan dan saling menunjukan siapa yang paling unggul dan pantas menduduki kursi kekuasaan. Kubu Prabowo-Sandi dengan dukungannya dari FPI dampak lanjutan dari adanya kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama menjadi sumber fanatis yang memanas ditengah masyarakat. Disamping itu kubu Jokowi-Amin yang dituduh sebagai antek komunis dan anti islam menjadi strategi jitu dalam iklim kompetisi yang berlangsung.[5]
Namun demikian, lantas mengapa politisasi identitas agama menjadi sumber kuat dari panasnya kontestasi politik Indonesia ? Agama telah menjadi bagian yang melekat erat pada masyarakat Indonesia. Dalam meningkatkan daya dukung masyarakat seringkali simbol-simbol agama menjadi nilai jual yang cukup mengikat hati masyarakat dalam menentukan pilihan. Padahal kapabilitas seseorang dalam memimpin tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja dalam hal ini agama. Seringkali stigma masyarakat terpengaruh dengan praktek-praktek politisasi yang ada.