Kalian tahu sendiri lah gaji guru di tahun 1995. Ketika zaman Orde Baru. Â Ketika guru dijuluki Umar Bakri oleh Iwan Fals dalam satu lirik lagunya. Â Guru cuma bisa naik sepeda kumbang, Â paling banter vespa butut.Â
Aku sudah menikah dan punya satu bayi mungil. Tak mungkin aku numpang terus di rumah orangtua. Kan aku sendiri sudah jadi orangtua dengan kehadiran si mungil.Â
"Setuju, " jawab istriku waktu aku usulkan untuk mencoba mandiri dengan mengotrak rumah.Â
Masalah lanjutannya, Â mau ngontrak di mana jika gaji guru cuma cukup buat makan dan beli susu bayi?
Setelah putar puter nyari kontrakan dan juga tanya sana sini, akhir ketemu juga.Â
"Mau di dekat rumah saya? Gak dekat dekat banget tapi masih satu RW, " kata temanku.Â
"Berapa?"
"Gak tahu kalau harga. Kalau mau, kamu datang ke rumahku saja, nanti aku anterin. "
Aku ajak istriku untuk melihat kondisi rumah kontrakan yang disampaikan teman. Tak jauh juga dari tempat tinggal orangtua di Rawamangun. Kontrakan itu ada di Kayumanis.Â
"Satu setengah juta saja," kata yang punya kontrakan.Â
"Setengah tahun?"
"Setahunnya. "
Agak bingung juga sih. Di daerah Rawamangun, Â sewa kontrakan sudah 3 jutaan, Â kenapa di Kayumanis murah?
Karena harganya cuma setengah dari harga normal, aku langsung setuju. Minggu depan aku janjikan untuk mulai menempati.Â
"Ada apa, Mas? Mimpi lagi?" tanya istriku saat melihat aku sedang duduk.Â
"Iya," kataku sambil melangkah keluar kamar.
"Mau ke mana?"
"Solat. "
Malam ketiga aku menempati kontrakan itu. Setiap malam aku selalu bermimpi seram. Â Dan 2 malam kemarin tak bisa tidur sampai pagi.
Malam ini aku bertekad untuk solat tahajud jika masih bermimpi buruk juga. Â Alhamdulillah, Â setelah solat masih bisa nambah tiduran lagi.Â
"Hebat, Pak," kata tetangga kontrakan. Saat aku sudah sebulan menempati kontrakan itu dan mulai mengenal para tetangga.Â
"Kenapa emangnya?"
"Sebelum bapak, Â orang yang ngontrakdi situ cuma tahan seminggu. Â Dalam sebulan bisa berganti sampai empat orang."
"Masa?"
"Katanya sih nggak tahan karena selalu mimpi buruk."
Menginjak bulan ketiga, Â setiap malam aku masih terus bermimpi buruk. Â Tapi setiap mimpi buruk itu datang dan aku terbangun, Â aku lanjutkan dengan solat tahajud. Â Mimpi buruk akhirnya menjadi alarm untuk bangun solat tahajud.Â
"Numpang masuk ya, Pak?" Kata pemilikkontrakan.Â
"Silakan, Â Pak."
Aku lihat dia ke pojokan dapur. Entah apa yang diambilnya. Kemudian dia pergi.Â
Sejak saat itu, aku tak pernah bermimpi buruk lagi.Â
"Pantesan harganya murah."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H