"Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat,Â
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang
berak di atas kepala mereka"
(Rendra dalam "Sajak Sebatang Lisong")Â
Melalui puisi-puisinya Rendra melancarkan kritik keras terhadap Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Akibat keritiknya, Rendra pun dicekal dalam pembacaan puisi puisinya.Â
Bagi generasi milenial mungkin sudah tidak begitu memahami  fakta ketika kita berada dalam ketiak Rezim Orde Baru. Setiap kritik akan diberangus dengan kejamnya.Â
Tapi si Burung Merak, julukan Rendra, tetap bersuara keras melalui puisi puisinya. Pengekangan dilawan dengan puisi.Â
Di awal tulisan sudah dikutipkan salah satu puisi Rendra. Jika dibaca puisi secara keseluruhan pasti akan lebih bisa memahami kritik Rendra tersebut.Â
Dalam puisi lainnya yang berjudul "Aku Tulis Pamplet Ini" Rendra menuliskan,Â
"Aku tulis pamplet ini
Karena lembaga pendapat umumÂ
ditutupi jaringan Laba-laba
Orang-orang bicara dalam kasak kusuk
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng-iya-an"
Di masa tersebut sudah terkenal istilah "kritik membangun". Sebuah upaya terselubung untuk membungkam kritik karena ukuran mrmbangun diukur oleh kehendak penguasa.Â
Apakah" Kritik sopan" saat ini memiliki fungsi sama sebagai pemberangusan setiap kritik juga? Entahlah.Â
Dalam "Sajak Burung-burung Kondor" Rendra juga menuliskan kritiknya,Â
"Para tani-buruh bekerja
berumah di gubuk-gubuk tanpa jendela
menanam bibit di tanah yang subur,Â
memanen hasil yang melimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara"
Realitas kehidupan zaman Orba menjadi sasaran kritik kritik Rendra melalui puisi puisinya. Bukan hanya pada realitas kehidupan saja kritik Rendra dialamatkan. Pendidikan yang waktu itu cenderung membuat generasi muda tak mengenal lingkungan nya juga masuk dalam puisi Rendra yang berjudul "Sajak Seonggok Jagung".
Ditulisnya,Â
" Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asingÂ
di tempat kenyataan persoalannya "
Itulah si Burung Merak. Penyair pemberani. Yang sering menyatakan berumah di atas angin.Â
Rendra tak pernah surut untuk selalu bersikap kritis. Dalam drama dramanya juga ada kritik sosial yang dilakukan. Hatinya selalu resah jika melihat kehidupan manusia yang kehilangan sisi kemanusiaan nya.Â
Dalam puisi "Pamplet Cinta" Rendra mengeluhkan kondisi penyair yang ditekuk kekuasaan. Sehingga penyair tak bisa lagi menggaungkan suara hatinya.Â
"Apa yang dilakukan oleh penyair
bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan
Udara penuh rasa curiga
Tegur sapa tanpa jaminan"
Yah, di zaman sekarang pun penyair pemberani seperti Rendra masih tetap dibutuhkan. Di setiap zaman tentu ada saja bengkok bengkok sejarah oleh para perakus kekuasaan.Â
Siapa hendak meneruskan Rendra?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H