Malam agak gerimis, ketika orang orang itu berkumpul di ujung jalan. Mereka membawa senjata tajam masing-masing. Tak kelihatan wajah mereka, tapi aroma dendam memang sudah begitu membuncah.Â
Siap?Â
Siap! Pertanyaan itu langsung dijawab ramai-ramai. Seperti koor dengan komando dirijen yang sudah ahli.Â
Pelan pelan mereka menuju rumah Mbah Tarjo. Â Rumah itu berada di pinggir kampung. Istilah orang kampungku "mencil" alias sendirian.Â
Mbah Tarjo tak punya anak. Istrinya sudah meninggal lebih dulu. Sekarang Mbah Tarjo hidup sendirian.Â
Sebetulnya ada juga yang bilang kalau Mbah Tarjo sebetulnya pernah punya anak. Tapi anak anaknya mati waktu bayi karena dijadikan tumbal untuk ilmu santet yang ditekuninya.Â
Ya, di kampung kami, Mbah Tarjo terkenal sebagai Dukun santet. Â Kata orang, lagi lagi kata orang karena bukti tak pernah ada, sudah banyak orang datang ke rumah Mbah Tarjo untuk minta disantetkan musuh musuhnya.Â
Orang yang datang, kata orang orang juga, adalah mereka yang dari luar kampung, bahkan luar kota. Orang kampung sendiri tak pernah ada yang kena santet Mbah Tarjo atau juga tak pernah ada yang minta disantetin. Kalau orang kampung sendiri, santet Mbah Tarjo tak akan mempan.Â
Bisa?Â
Susah.Â
Kemudian mereka berdua mendobrak sedikit pintu yang ternyata cuma dikaitkan saja. Di dalam rumah gelap. Seakan sengaja Mbah Tarjo tak menyalakan lampu.Â
Aku ada di sini.Â
Suara Mbah Tarjo mengagetkan dua orang yang sudah masuk duluan. Dalam gelap, yang terlihat hanya sebuah bayangan seseorang sedang duduk di sebuah kursi.Â
Dua orang itu tak berani bergerak. Setelah teman temannya masuk, baru mereka bergerak ke arah bayangan itu.Â
Mereka menyerang bersama sama. Sesuai perjanjian. Sehingga nanti tak ada yang merasa bersalah.Â
Mbah Tarjo yang sepertinya sudah siap dengan segalanya, langsung ambruk dari kursi. Beberapa senjata tajam memang langsung menghujam tubuh yang semakin ringkih itu.Â
Paginya kampung geger.Â
Seorang keluarga jauh hendak lapor polisi, tapi segera dicegah oleh seseorang. Dia diajak berembuk oleh tokoh tokoh kampung.Â
Akhirnya, diputuskan untuk langsung menguburkan jasad Mbah Tarjo. Karena saudara Mbah Tarjo yang hendak lapor polisi diancam tak akan dibantu memakamkan jasad Mbah Tarjo jika tetap lapor.Â
Sebelum malam itu, Mbah Tarjo memanggilku ke rumahnya. Â
"Kamu orang yang layak menuruni ilmu santetku, Kamdi, " kata Mbah Tarjo.Â
Aku hanya diam.Â
"Ilmu ini tak boleh musnah. "
Kemudian aku disuruh mandi seluruh tubuh. Semua anggota tubuh harus terkena air. Jika ada yang tak terkens, tubuh itu akan menjadi kelemahan berbahaya.Â
Setelah mandi, aku di suruh duduk di hadapan Mbah Tarjo yang sedang menyiapkan upacara itu. Dan entah kenapa, aku sendiri tak ingat apa apa. Kecuali di luar matahari sudah cukup terang.Â
"Kamu sudah bisa menggunakan ilmu itu. Kapan pun kamu mau, " kata Mbah Tarjo.Â
Iya. Sekarang aku sudah menjadi penerus Mbah Tarjo. Ada satu tugas yang diminta kepadaku sebagai imbalan ilmunya.Â
Rawat kuburan ku ya, Le.Â
Kuburan itu ada di tempat yang mencil juga. Tak ada yang berani mendekati kuburan Mbah Tarjo kecuali aku. Sebulan sekali, aku membersihkan nya.Â
Belum pernah aku memakai ilmu itu. Ada yang butuh? Datang saja ke rumahku. Jangan lupa bawa ayam cemani ya? Dagingnya enak tuh. Aku dulu sering dikasih Mbah Tarjo.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H