Malam agak gerimis, ketika orang orang itu berkumpul di ujung jalan. Mereka membawa senjata tajam masing-masing. Tak kelihatan wajah mereka, tapi aroma dendam memang sudah begitu membuncah.Â
Siap?Â
Siap! Pertanyaan itu langsung dijawab ramai-ramai. Seperti koor dengan komando dirijen yang sudah ahli.Â
Pelan pelan mereka menuju rumah Mbah Tarjo. Â Rumah itu berada di pinggir kampung. Istilah orang kampungku "mencil" alias sendirian.Â
Mbah Tarjo tak punya anak. Istrinya sudah meninggal lebih dulu. Sekarang Mbah Tarjo hidup sendirian.Â
Sebetulnya ada juga yang bilang kalau Mbah Tarjo sebetulnya pernah punya anak. Tapi anak anaknya mati waktu bayi karena dijadikan tumbal untuk ilmu santet yang ditekuninya.Â
Ya, di kampung kami, Mbah Tarjo terkenal sebagai Dukun santet. Â Kata orang, lagi lagi kata orang karena bukti tak pernah ada, sudah banyak orang datang ke rumah Mbah Tarjo untuk minta disantetkan musuh musuhnya.Â
Orang yang datang, kata orang orang juga, adalah mereka yang dari luar kampung, bahkan luar kota. Orang kampung sendiri tak pernah ada yang kena santet Mbah Tarjo atau juga tak pernah ada yang minta disantetin. Kalau orang kampung sendiri, santet Mbah Tarjo tak akan mempan.Â
Bisa?Â
Susah.Â