Kalau kamu pernah lewat di jalan Simpang Tiga, kamu pasti melihat penjual bunga yang cuma ada satu satunya di pinggir kota itu. Sudah lama penjual bunga itu berada. Tapi memang jarang yang tahu atau pernah ke tempat jual bunga karena memang tak sembarangan orang datang ke situ.
"Pagi," pernah aku datang ke tempat penjual bunga itu. Makanya, aku tahu persis kalau penjual bunga di toko bunga itu seorang perempuan yang sudah renta. Goretan kehidupannya sudah mulai rontok dan tinggal menyisakan beberapa.Â
"Ada apa?" tanya nenek penjual bunga.Â
Dari ruang belakang saya melihat bayangan seseorang. Mungkin pembantu nenek penjual bunga ini. Kata orang, nenek penjual bunga memang dibantu oleh keponakannya. Biasanya keponakannya ini yang bertugas mengirim bunga yang sudah dirangkai rapi.Â
"Mau pesan bunga," kataku sambil menahan rona bulu kuduk yang entah kenapa mendadak meneror perasaanku.Â
"Untuk apa, Mas?"
"Ada teman yang sedang berbahagia. Saya ingin memesan bunga ucapan selamat."
Nenek penjual bunga memandangku dengan wajah setengah tertekan. Aku sekilat melihat rona sedih dan takut yang membetot sorot mata nenek itu.Â
Perasaan ku menyatakan enak sendiri. Apakah benar apa yang dikatakan Nunik?
"Jangan. Jangan pesan bunga di situ," kata Nunik serius banget.Â
"Kenapa?"
"Tak mungkin aku menjelaskannya kepadamu. Pokoknya jangan."
"Seharusnya kamu sudah tahu. Karena hampir semua penduduk kota ini juga tahu. Kamu barukah tinggal di kota ini?" kata Nenek penjual bunga yang wajahnya terus meneror ku dengan misteri sesungguhnya.Â
Aku mengangguk.Â
Sebetulnya pengin pergi juga. Tapi kakiku mulai terasa kaku. Aku terpaksa menunggu saja apa yang akan atau mungkin terjadi.Â
"Nenek tak pernah merangkai bunga untuk suka cita."
Lalu Nenek pergi ke belakang tokonya. Meninggalkan rasa ngeri yang tak mungkin aku cerita kan di sini.Â
Mungkinkah Nenek mengambil sebilah pisau, lalu aku akan....Â
"Nenek memang sudah punya serangkai bunga untuk hari ini. Ada yang akan datang memesannya. Tapi, bukan kamu."
Bayang bayang orang kembali terlihat di bagian belakang toko bunga itu. Aku sendiri hanya bisa melihat siluetnya belaka.Â
"Aku boleh pamit, Nek?"
"Tunggu sebentar. Mungkin kamu kenal orang yang sebentar lagi datang."
Benar juga. Ada suara motor berhenti di depan toko. Tak terlihat siapa yang datang. Hanya telapak langkahnya seperti sedang membawa duka.Â
"Pagi."
"Sudah saya siapkan. Tinggal ambil di belakang."
Aku kaget setengah mati. Karena yang datang ternyata Nunik. Dan dia sudah memesan bunga duka.Â
Nunik sepertinya tak melihat aku. Dia langsung menuju belakang toko.Â
Ketika Nunik berjalan membawa rangkaian bunga itu, kenapa di situ tertulis namaku?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H