Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Terkena Darah Tinggi? Gak Usah Panik!

28 Oktober 2019   10:07 Diperbarui: 28 Oktober 2019   10:25 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Darah tinggi terkadang datang diam-diam merasuk dalam diri kita.  Dan kita juga sering tak menyadarinya sama sekali sehingga kita sering kaget karena kita sudah menjadi salah satu penderita penyakit yang kabarnya juga merupakan paling mematikan ini.  Paling mematikan, karena memang cukup banyak orang yang merasa baik-baik saja selama ini, sampai kemudian divonis darah tinggi.

Penyakit darah tinggi sering dianggap sebagai penyakit turunan.  Karena para penderita penyakit darah tinggi memang rata-rata orang yang memiliki riwayat darah tinggi juga pada genersi sebelumnya.  

Sehinga, banyak yang merasa tak mungkin terkena darah tinggi karena kakek nenek buyutnya tak ada yang memiliki riewayat terkena darah tinggi.  Terlena dan kaget mendadak tahu sudah berdiri pada posisi paling mengkhawatirkan.

Salah satu orang yang terlena ada penulis sendiri.  Merasa tak punya keturunan sebagai penderita darah tinggi, terus merasa tak mungkin dirinya terkena penyakit tersebut.  Padahal, dirinya ternyata sudah diintai diam-diam.  Ceritanya begini.

Hari itu, telinga penulis tersumbat oleh kotoran dan selalu berdengung setiap saat.  Sangat, sangat mengganggu sekali.  Sampai akhirnya, penulis memutuskan untuk memeriksa telinga ke dokter THT di rumah sakit Duren Sawit.  Kebetulan dekat sekolah penulis.  Dan, sebelum diperiksa telinga, terlebih dahulu penulis disuru untuk diperiksa tensinya terlebih dahulu.

Dengan santai dan penuh percaya diri, penulis mendatangi meja tempat pengukuran tensi.  Apa yang terjadi?  Ternyata tekanan darah saya sangat tinggi.  Ukuran tekanan darah berhenti pada angka 185/116.  Karena diukur dengan alat digital, penulis agak meragukan.  

"Paling salah data," ucap penulis dalam hati.  Dan masih santyai dan merasa tak mungkin darah tingginya melonjak setinggi itu.  Apalagi tak ada tanda apa pun dan badan juga merasa sehat sekali.

Sesampai di sekolah, kepikiran untuk mencari opini kedua.  Siapa tahu benar juga.  Saat pulang ngajar, penulis mampir ke Kimia Farma, untuk menemukan opini kedua.  Pertama, saya minta diukur oleh petugas apotik.  

Ada alat pengukur digital.  Dan hasil pengukuran malah tambah tinggi 194/115.  Waduh, menjadi panik juga.  Jangan-jangan benar, saya sudah terkena darah tinggi.

Saya minta diukur manual.  Dilakukan oleh petugas kesehatan (asisten dokter) yang ada di situ.  Diukurlah secara manual.  Dan tekanan darah saya masih bertengger di atas 180 an.  

Dunia semakin kacau.  Saya minta bertemu dokter yang ada di Kimia Farma.  Dokternya masih muda dan cantik.dan membuat saya agak adem.  Disuruh tiduran. Manut.  Wong disuruh dokter cantik.  Kemudian diukur.

Dan angka tekanan darah masih juga di 180.  Busyet.  Benar-benar bikin sok.  Saya minta diukur lagi, hasilnya tetap sama.  Wadow.  Kemudian saya diajak bicara tentang kemungkinan seseorang menderita tekanan darah tinggi meski tak punya riwayat turunan terkena penyakit tersebut.  

Saya pun mulai menyadarinya.  Mulai tenang.  Tapi, Bu Dokter menyuruh untuk kembali tiduran, menyelipkan obat di bawah lidah, lalu menunggu lagi.

Ketika diukur lagi, ternyata angka itu masih bertengger di angka 180.  Tapi, saya sudah menerima kenyataan ini.  Diberi obat amlodifin yang 10 gram.  Kok 10 gram?  Ternyata sudah terlalu tinggi.

Terus, Bu Dokter bertanya, "Masih minum kopi?"

"Setiap hari."

"Merokok?"

"Sudah pensiun."

"Kalau tidak merokok, bagus.  Sekarang bapak harus berhenti mengopi juga.  Kopi berpengaruh pada tensi bapak."

"Apalagi?"

"Hindari garam yang terlalu banyak.  Hindari acar.  Hindari saus tomat.  Hindari makanan siap saji."

Karena sudah menjadi penderita, saya manut saja kata dokter.  Hanya saja, saya menambahkan untuk kehidupan saya adalah meminum air rebusan mentimun dan memakan mentimunnya.

Alhamdulillah tensi turun.  Dan pada hari Sabtu kemarin posisi tensi sudah berada pada angka 140/85.  Makanan memang menjadi kunci dalam menghambat peningktan tekanan darah.

Akhirnya, sekarang saya rajin mengukur tekanan darah dengan alat pengukur digital yang saya beli.  Kondisinya tidak stabil, kadang agak tinggi tapi masih sekitar 140.  Mudah-mudahan, dengan prilaku tertib, terutama dalam menjaga asupan,tekanan darah saya bisa kembali normal.  Saya akan pantau terus.

Darah tinggi?  Gak usah panik juga.  Kalau Anda sudah berada di usia lebih dari 50 memang harus rajin periksa kesehatan.  Juga olahraga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun