Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

3 Hati dalam Gelas (32)

19 April 2016   13:36 Diperbarui: 19 April 2016   13:43 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dulu ibu terkenal cantik.  Dan ibu selalu membanggakan itu."

Ada senyum kecut yang tertahan.  Ada rasa bangga yang tinggal kenangan.  Lalu pelan-pelan senyum itu mulai luruh.  Lalu bibir ibu seakan terkatup.  Dalam getar tertahan.  Dalam emosi yang nyata hendak diredam.

"Setan telah menjerumuskan ibu."

Diah ingin membantahnya.  Tapi hanya mungkin di dalam hati.  Tak mau ibu tersakiti.  Tapi, memang terlalu banyak manusia yang mepersetankan setan.  Manusia yang menurut Diah berhati rapuh.  Tak berani memikulksan rasa bertanggung jawab kepada pundaknya sendirinya.  Lalu setan disalahkan sebagai penyebab kebodohannya.

Setan.

Apa itu.  Setan itu kan tak ada.  Setan itu hanya sebuah potensi yang memang sudah hadir dalam diri kita.  Potensi itu jelas akan sangat bergantung pada diri kita sendiri.  Akankah kita membesarkannya atau membunuh hingga ke akar-akarnya.  Kalau kita terjerumus ke tindakan yang tak baik bukan karena setan tapi karena kita telah memberi ruang pada potenasi setan dalam diri kita untuk berkembang bahkan menguasai kesadaran kita sendiri.

Setan adalah kita sendiri.

"Kalian berdua adalah anak haram.  Untung ada Legimin.  Laki-laki yang kata orang bodoh karena mau menanggung aibku.  Ibu tahu.  Sangat tahu.  Kalian pasti juga kepayahan menanggung aib ibu.  Kalian berdua harus menanggung kelakuan Legimin yang semena-mena."

Ibu tak mungkin lagi membendung air mata yang sudah mendesak-desaknya dari tadi.

"Juli, kau harus terbang entah ke mana.  Dan ibu tak kuasa untuk membela.  Dan mungkin kamu akan bertanya, kenapa hal serupa berulang pada Diah.  Entah.  Ibu tak bisa menjawab kalau kalian bertanya seperti itu.  Ibu hanya bisa menyesali apa yang pernah ibu lakukan.  Kalau kalian mau memarahi ibu, mungkin sekaranglah saatnya.  Sebelum ibu menemui Yang Maha Kuasa."

Mas Juli bangkit.  Direngkuhnya ibu.  Tak ada kata-kata.  Tapi ibu pasti paham akan kemulian hati Mas Juli.  Dia mampu menjungkirbalikkan hati Mbak Dini, pasti Mas Juli juga akan sangat mudah menundukkan gejolak hati ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun