Ibu sudah duduk saat kami kembali ke kamarnya. Â Senyumnya begitu sumringah menyambut kami. Â Sayang, Mas Juli tak tahu bagaimana ibu menyajikan senyum itu. Â Seandainya Mas Juli tahu. Â Pasti dia juga akan bangga.
"Dari mana kalian?" tanya ibu.
"Sarapan, Bu, " jawab Mbak Dini.
Ada tenaga baru yang hadir di tubuh ibu. Â Sepertinya tenaga itu datang dari Mas Juli. Â Mungkin tadi Mas Juli telah membisikkan sesuatu. Â Yang sangat istimewa bagi ibu.
"Ibu ingin bicara sama Juli dan Diah. Â Dini tolong ajak Rara, ya?" pinta ibu.
"Baik, Bu," jawab Dini sambil menggandeng tangan Rara.
Pada awalnya, kami diam. Â Agak lama. Â Kami hanya menunggu. Â Mungkin ibu agak ragu. Â Atau entahlah. Â Hanya suara nafasnya yang agak pelan yang terdengar oleh kami begitu jelas. Â Wajahnya juga agak tegang. Â Tidak seperti biasanya.
"Pertama, ibu ingin minta maaf," ibu memulai.
Lalu tarikan nafasnya agak panjang. Â Diah hanya memendangi pangkuan ibu. Â Tak sanggup Diah memandang wajah ibu. Â Apalagi matanya. Â Mata yang dulu selalu terlihat bening dan teduh.
"Ibu terllau banyak dosa, Nduk."
Diah mencuri pandang ke arah wajah ibu. Â Matanya begitu mendung.Â