Ibu sudah duduk saat kami kembali ke kamarnya. Â Senyumnya begitu sumringah menyambut kami. Â Sayang, Mas Juli tak tahu bagaimana ibu menyajikan senyum itu. Â Seandainya Mas Juli tahu. Â Pasti dia juga akan bangga.
"Dari mana kalian?" tanya ibu.
"Sarapan, Bu, " jawab Mbak Dini.
Ada tenaga baru yang hadir di tubuh ibu. Â Sepertinya tenaga itu datang dari Mas Juli. Â Mungkin tadi Mas Juli telah membisikkan sesuatu. Â Yang sangat istimewa bagi ibu.
"Ibu ingin bicara sama Juli dan Diah. Â Dini tolong ajak Rara, ya?" pinta ibu.
"Baik, Bu," jawab Dini sambil menggandeng tangan Rara.
Pada awalnya, kami diam. Â Agak lama. Â Kami hanya menunggu. Â Mungkin ibu agak ragu. Â Atau entahlah. Â Hanya suara nafasnya yang agak pelan yang terdengar oleh kami begitu jelas. Â Wajahnya juga agak tegang. Â Tidak seperti biasanya.
"Pertama, ibu ingin minta maaf," ibu memulai.
Lalu tarikan nafasnya agak panjang. Â Diah hanya memendangi pangkuan ibu. Â Tak sanggup Diah memandang wajah ibu. Â Apalagi matanya. Â Mata yang dulu selalu terlihat bening dan teduh.
"Ibu terllau banyak dosa, Nduk."
Diah mencuri pandang ke arah wajah ibu. Â Matanya begitu mendung.Â
"Dulu ibu terkenal cantik. Â Dan ibu selalu membanggakan itu."
Ada senyum kecut yang tertahan. Â Ada rasa bangga yang tinggal kenangan. Â Lalu pelan-pelan senyum itu mulai luruh. Â Lalu bibir ibu seakan terkatup. Â Dalam getar tertahan. Â Dalam emosi yang nyata hendak diredam.
"Setan telah menjerumuskan ibu."
Diah ingin membantahnya. Â Tapi hanya mungkin di dalam hati. Â Tak mau ibu tersakiti. Â Tapi, memang terlalu banyak manusia yang mepersetankan setan. Â Manusia yang menurut Diah berhati rapuh. Â Tak berani memikulksan rasa bertanggung jawab kepada pundaknya sendirinya. Â Lalu setan disalahkan sebagai penyebab kebodohannya.
Setan.
Apa itu. Â Setan itu kan tak ada. Â Setan itu hanya sebuah potensi yang memang sudah hadir dalam diri kita. Â Potensi itu jelas akan sangat bergantung pada diri kita sendiri. Â Akankah kita membesarkannya atau membunuh hingga ke akar-akarnya. Â Kalau kita terjerumus ke tindakan yang tak baik bukan karena setan tapi karena kita telah memberi ruang pada potenasi setan dalam diri kita untuk berkembang bahkan menguasai kesadaran kita sendiri.
Setan adalah kita sendiri.
"Kalian berdua adalah anak haram. Â Untung ada Legimin. Â Laki-laki yang kata orang bodoh karena mau menanggung aibku. Â Ibu tahu. Â Sangat tahu. Â Kalian pasti juga kepayahan menanggung aib ibu. Â Kalian berdua harus menanggung kelakuan Legimin yang semena-mena."
Ibu tak mungkin lagi membendung air mata yang sudah mendesak-desaknya dari tadi.
"Juli, kau harus terbang entah ke mana. Â Dan ibu tak kuasa untuk membela. Â Dan mungkin kamu akan bertanya, kenapa hal serupa berulang pada Diah. Â Entah. Â Ibu tak bisa menjawab kalau kalian bertanya seperti itu. Â Ibu hanya bisa menyesali apa yang pernah ibu lakukan. Â Kalau kalian mau memarahi ibu, mungkin sekaranglah saatnya. Â Sebelum ibu menemui Yang Maha Kuasa."
Mas Juli bangkit. Â Direngkuhnya ibu. Â Tak ada kata-kata. Â Tapi ibu pasti paham akan kemulian hati Mas Juli. Â Dia mampu menjungkirbalikkan hati Mbak Dini, pasti Mas Juli juga akan sangat mudah menundukkan gejolak hati ibu.
"Ibu tak usah bicara seperti itu lagi," kata Mas Juli.
"Diah ke sini, Nduk."
Diah pun mendekat ke ibu. Â Lalu merengkuhnya. Â Lalu menangis di pangkuannya. Â Diah hanya ingin seorang ibu. Â Dan tak peduli masa lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H