Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

3 Hati dalam Gelas (30)

18 April 2016   15:07 Diperbarui: 18 April 2016   15:21 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Wah sedang ngomongin aku, ya?" kata Kak Juli menghampiri kami sedang duduk.

Kak Dini sigap berdiri.  Menghampiri Kak Juli.  Menuntunnya duduk di antara kami.

Tak ada rasa canggung lagi.  Ada tali-tali yang tak terlihat yang melilit tubuh-tubuh kami.  Dan kami menemukan sebuah kehangatan.  Sesuatu yang baru kali ini dirasai Diah.

"Jangan Ge-Er, Kak," kata Kak Dini.

"Kamu sudah ceritakan semua, Din?" tanya Kak Juli.

Diah mengangguk.  Diah tak sadar kalau Kakaknya tak akan melihat anggukannya.

"Sudah, Kak," jawab Dini yang langsung menyadarkan Diah bahwa anggukan kepalanya memang tak akan terlihat oleh cara melihat yang berbeda Kak Juli.

"Di.  Itulah kakak iparmu.  Bukan orang suci.  Tapi lebih tepatnya orang yang baik hati," kata Kak Juli.  Kata-kata yang langsung membuat Kak Dini reflek mencubit lengan Kak Juli.

Kak Juli meringis.

Diah merasa ada kehangatan sebuah keluarga di sana.  Apalagi kalau keponakan Diah juga diajak.  Alangkah indahnya dunia ini.  Mungkin keponakannya sebesar Rara.

Eit. 

Diah baru sadar akan satu orang itu.  Ke mana Rara.  Dari tadi malam, karena terlalu sibuk Diah telah melupakan Rara.  Diah bahkan melarang Rara ikut ke rumah sakit.  Tapi, Rara bersikukuh ingin menemaninya di rumah sakit.

"Eh, ke mana Rara,"  kata Diah agak panik.

"Siapa Rara?" tanya Kak Dini.

"Muridku di Jakarta.  Dia ikut liburan ke sini.  Bahkan dari semalam ikut menemaniku di rumah sakit ini."

"Cari saja dulu, Di.  Kakak tunggu di sini."

Diah mencoba mencari Rara.  Rumah sakit yang kecil tak perlu waktu banyak untuk mengitarinya.  Tapi, sosok Rara tak dijumpainya.  Ke mana dia? Jangan-jangan dia ngambek karena dari semalam dicuekin.  Ah, tapi bukan ciri Rara untuk ngambek.  Dia anak yang tegar.

Di taman rumah sakit tak ada.  Hingga ke jalan depan rumah sakit pun tak ada.

"Lihat anak setinggi ini kelaur dari sini?" tanya Diah kepada penjual rokok di seberang rumah sakit.

Aneh juga.  Ada rumah sakit, tapi di seberangnya berdiri tegak sebuah warung rokok mungil.  Seperti dua dunia yang berbeda tapi berdampingan.  Harusnya rumah sakit mengingatkan siapa pun akan bahaya rokok bagi kesehatan, tapi tepat di depan tukang rokok seperti hadir menantangnya.  Inilah Indonesia.  Negeriku yang kucintai.  Negeri yang penuh paradok.  Rumah sakit berdampingan dengan penjual rokok.  Pemuka agama ditangkap KPK. Dan masih banyak lagi.  Biarlah.

"Tidak tahu, Bu," jawab penjual rokok yang hanya nongol sebagian kepalanya.

Diah mencoba melihat hingga ujung jalan.  Tapi hanya sebuah jalan kosong.  Tak ada apa-apa dan siapa-siapa.  Ke mana tuh anak?  Biarlah. Diah tunggu di dalam saja.  Tak akan hilang kalau di kampung.

"Bun!" sebuah panggilan.  Dari suara yang sudah dikenalnya.

Rara sudah ada di belakangnya.  Sambil tersenyum Rara menubruk Diah.

"Dari mana?" tanya Diah.

"Mau tahu aja apa mau tahu banget?" ledek Rara.

"Mau tahu doang."

"Ke kebun tebu."

"Ngapain?"

"Bun, tadi Rara lihat kakek-kakek yang pernah Rara lihat di depan rumah," kata Rara agak serius.

"Maksud Rara?" tanya Diah penasaran.

"Dulu Rara kan pernah cerita ada kakek-kakek yang suka lihatin rumah bunda di Jakarta, kan?"

"Iya."

"Dan kakek-kakek itu tadi ketemu Rara di kebun tebu."

"Kamu ngobrol?"

"Enggak.  Dia sepertinya tahu Rara.  Dia kabur."

"Bener?"

"Iya.  Suer!" kata Rara sambil menunjukkan tanda V dengan jarinya.

Giliran Diah yang kaget.  Siapa gerangan kakek-kakek yang ditemui Rara di Jakarta dan juga di kampungnya?  Apa maksud kakek-kakek itu melihat-lihat rumah Diah di Jakarta?   

Ada pertanyaan yang terus berputar-putar di kepala Diah.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun