Diah baru sadar akan satu orang itu. Â Ke mana Rara. Â Dari tadi malam, karena terlalu sibuk Diah telah melupakan Rara. Â Diah bahkan melarang Rara ikut ke rumah sakit. Â Tapi, Rara bersikukuh ingin menemaninya di rumah sakit.
"Eh, ke mana Rara," Â kata Diah agak panik.
"Siapa Rara?" tanya Kak Dini.
"Muridku di Jakarta. Â Dia ikut liburan ke sini. Â Bahkan dari semalam ikut menemaniku di rumah sakit ini."
"Cari saja dulu, Di. Â Kakak tunggu di sini."
Diah mencoba mencari Rara. Â Rumah sakit yang kecil tak perlu waktu banyak untuk mengitarinya. Â Tapi, sosok Rara tak dijumpainya. Â Ke mana dia? Jangan-jangan dia ngambek karena dari semalam dicuekin. Â Ah, tapi bukan ciri Rara untuk ngambek. Â Dia anak yang tegar.
Di taman rumah sakit tak ada. Â Hingga ke jalan depan rumah sakit pun tak ada.
"Lihat anak setinggi ini kelaur dari sini?" tanya Diah kepada penjual rokok di seberang rumah sakit.
Aneh juga. Â Ada rumah sakit, tapi di seberangnya berdiri tegak sebuah warung rokok mungil. Â Seperti dua dunia yang berbeda tapi berdampingan. Â Harusnya rumah sakit mengingatkan siapa pun akan bahaya rokok bagi kesehatan, tapi tepat di depan tukang rokok seperti hadir menantangnya. Â Inilah Indonesia. Â Negeriku yang kucintai. Â Negeri yang penuh paradok. Â Rumah sakit berdampingan dengan penjual rokok. Â Pemuka agama ditangkap KPK. Dan masih banyak lagi. Â Biarlah.
"Tidak tahu, Bu," jawab penjual rokok yang hanya nongol sebagian kepalanya.
Diah mencoba melihat hingga ujung jalan. Â Tapi hanya sebuah jalan kosong. Â Tak ada apa-apa dan siapa-siapa. Â Ke mana tuh anak? Â Biarlah. Diah tunggu di dalam saja. Â Tak akan hilang kalau di kampung.