Diah mengangguk.
"Sudah lama aku juga ingin menjadi orang baik-baik. Â Tapi selalu saja mentok sebagai mantan pelacur. Â Yang selalu mundah untuk menjadi bahan cibiran."
Pagi datang terburu-buru.
Dini juga tahu kalau Juli juga selama ini menjadi orang terbuang. Â Orang buta yang berkeliling menjajakan jasa pijatnya. Â Siapa yang peduli pada orang buta yang hanya bisa menjadi tukang pijat?
Tak ada perempuan yang mau.
Dini juga tak mau kalau hanya melihat itu. Â Tapi Dini melihat ketulusan hidup yang ada pada Juli. Â Ketulusan yang mungkin akan sulit ditemukan di negeri ini.
Berhari-hari Dini merenung. Â Berhari-hari Dini bimbang. Â Sebelum akhirnya dengan sebuah keyakinan yang matang. Â "Inilah laki-laki yang disediakan Tuhan untukku. Â Jangan kau sia-siakan," bisikan hati Dini. Â Dan sejak saat itu Dini memantapkan diri untuk laki-laki buta yang hati nuraninya mampu menatap dengan senyum.
"Dua manusia kalah," kata Dini.
"Menyatukan diri menjadi kekuatan yang dasyat," sambung Diah.
Lagi-lagi Diah ingat agama. Â Agama yang terkadang secara tekstual diartikan sebagai jalan lurus. Â Dan jalan lurus itu tentu bukan jalan belok seperti pelacuran. Â Pelacuran adalah jalan belok yang dihuni oleh orang-orang kotor. Â Jalan yang berada di seberang jalan lurus bernama agama.
Tak ada agama bagi pelacur.