"Dia bukan buta, tapi dia telah melihat dengan cara berbeda," kata Dini dengan suara yang begitu yakin. Â Begitu teguh. Â Suara yang bukan hanya rangkaian kata-kata. Â Suara yang tumbuh dari nurani yang bahagia.
Tak disadari, Diah mengucap berkali-kali rasa syukur itu. Â Berkali-kali Diah mengucap bangga. Â Pada kakak yang baru kali ini dijumpainya.
"Kak Juli betul-betul melihat dengan nurani. Â Hatinya terlalu suci. Â Pokoknya, dialah malaikatku," kembali ada linangan air mata yang jatuh pelan-pelan dari pelupuk mata Kak Dini.
Betapa banyak. Â Banyak sekali. Â Orang yang dihina karena kebutaannya justru dapat melihat dengan nuraninya. Â Betapa banyak. Â Banyak sekali. Â Mereka yang membuka mata tapi menutup nuraninya rapat-rapat.
Nabi. Â Seoranga nabi selalu diutus ke dunia ini hanya untuk mengembalikan nurani manusia yang dihialngkan oleh manusia sendiri. Â Atau dilipat dalam buram hatinya.
Agama adalah pembela siapa pun yang tertindas. Â Siapa pun yang kehilangan kemanusiaannya. Â Tidak seperti apa yang sering kita saksikan saat ini. Â Agama dijual demi kebahagiaan duniawi. Â Agama didagangkan dimana-mana. Â Bahkan diobral hanya untuk memuaskan nafsu para penguasa. Â Agama tidak lagi murni sebagaimana ketika dulu diturunkan.
Maka, janganlah heran kalau agama kemudian menjadi tempat paling subur bagi semaian-semaian kebencian. Â Agama yang dulu penuh kasih justru kini menjadi ladang caci maki. Â Kebenaran hanya untuk diri sendiri. Â Siapa yang tidak satu kata dengan tafsirnya maka langsung dihakimi sebagai sesat dan tak layak hidup di negeri ini.
Diah masih ingat.
Dulu Diah juga sering terkucil. Â Hanya karena kakek Diah ada yang katanya aktif di sebuah organisasi terlarang. Â Kakek Diah sudah tak ada, tapi derita yang harus ditanggung masih tetap diwariskan pada anak-anak dan bahkan cucunya.
Waktu Diah hendak mengaji pun banyak yang menyindirnya.  Padahal itu berasal dari  nurani.
"Kamu tahu bagaiamana stigam yang dibebankan kepada para pelacur kan?"