Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

3 Hati dalam Gelas (24)

7 April 2016   16:49 Diperbarui: 7 April 2016   17:12 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lalu siapa ayah Diah yang sebenarnya?

Yu Karti hanya diberi amanat untuk bercerita hanya sampai di situ.  Untuk yang lebih dari itu, Yu Karti geleng kepala.  Tak tahu.  Hanya ibu yang tahu.

Hingga kini, ibu juga belum mau membuka mulut.  Padahal, ibu juga tahu, sangat tahu kalau Diah sangat menunggu.  Menunggu kabar tentang seseorang yang seharusnya dipanggil bapak.

Hal ini tentunya bukan karena Diah sangat membenci bapaknya.  Bukan.  Diah sedang berusaha.  Walau belum tuntas benar.  Akan selalu menghormati laki-laki yang telah membuatnya luka. 

Hanya saja, Diah memang perlu sejarah.  Sejarah tentang orangtua yang menyebabkannya turun ke dunia fana ini.  Diah tahu, sangat tahu.  Seseorang memang tak mungkin dapat memilih siapa orangtuanya.  Sedang orangtua bisa mempertimbangkan mau punya anak atau tidak.

Yu Karti sudah meninggal.  Tak mungkin Diah bertanya kepadanya. 

Diah ingin sekali kalau di hari-hari ini, Diah dapat mendengar dari mulut ibu sendiri, siapa laki-laki yang sepantasnya dipanggil bapak olehnya.  Semoga harapan Diah akan terwujud.  Biar tidak penasaran seumur hidup.

"Mbak, ibu pingsan!" kata Afra mengagetkan.

"Kenapa?"

"Tidak tahu, Mbak.  Tiba-tiba saja pingsan."

"Sudah pernah seperti ini?"

"Belum."

Diah memijit-mijit kaki ibu sambil mengoleskan obat gosok agar ada kehangatan yang melingkupi tubuh ibu.  Hanya saja, ibu belum juga siuman.  Akhirnya, kami putuskan untuk membawa ibu ke rumah sakit terdekat.

Rumah sakit terasa begitu muram.  Diah agak bergidik juga setiap kali harus melangkahkan kaki di atas ubin rumah sakit.  Bukan hanya terasa muram tapi juga terasa dingin.

Untung dokter rumah sakit kecil itu cukup sigap.  Ibu langsung ditangani.  Dan alhamdulillah, dalam waktu sekejap ibu siuman.  Hanya saja, dokter menyarankan agar ibu dirawat dulu di rumah sakit untuk sementara.  Kalau sudah sehat benar baru diperbolehkan pulang.  Kami setuju.

"Kamu temenin ibu, ya, Di?" kata ibu meminta.

"Iya, Bu."

Mata ibu terlihat berbeda.  Agak sayu.  Seperti baru saja melakukan perjalanan jauh.  Tampak kelelahan.  Atau mungkin terlalu berat membawa beban.

"Ibu ngerepotin ya, Di?"

"Ah, ibu."

Diah memeluk ibu.  Kehangatan itu masih ada.  Seperti dulu.  Saat Diah merasa sendiri.  Selalu mendapat kehangatan saat memeluk atau dipeluk tubuh ibu.  Kehangatan itu masih sama.

"Ibu capai?"

Ibu hanya tersenyum.

"Ibu seperti sedang membawa beban yang berat.  Kalau boleh, bagilah beban itu sama Diah, biar ibu tak lagi terbebani," kata Diah.

"Diah, tolong ambilkan air minum!" pinta ibu.

Ibu minum seperti seseorang yang memang sehabis berjalan jauh.  Atau sehabis menanggung beban yang cukup berat.  Lalu, menghela nafas lega.

"Di, kamu pasti sudah mendengar cerita dari Karti, kan?" tanya ibu.

"Tidak usah ibu ceritakan sekarang.  Ibu masih lemah.  Tunggu waktu sampai ibu benar-benar sehat.  Diah akan sabar menunggu kok, Bu," kata Diah saat melihat wajah ibu yang juga mulai pucat.

"Tapi, sepertinya ibu sudah hampi sampai di ujung jalan itu, Di.  Ibu takut kalau ibu sudah dipanggil terlebih dulu sebelum ibu menceritakan hal ini kepadamu, Nduk."

Masih sore.  Tapi rumah sakit kecil itu terasa sepi.  Memang hanya beberapa orang yang dirawat di rumah sakit itu.  Orang yang sakitnya agak parah memang langsung dirujuk ke rumah sakit kabupaten. Karena rumah sakit kecil ini peralatannya masih peralatan-peralatan sederhana.  Sehingga, di rumah sakit itu hanya untuk rawat inap orang-orang yang sakit ringan tapi harus istirahat. 

Diah menarik nafas.  Agak panjang.  Ada pertarungan yang belum usai.  Ada pergumulan yang hendak saling mematikan.  Antara keinginan untuk secepatnya tahu dengan keinginan ibu secepatnya sembuh.

(Bersambung)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun