Lalu siapa ayah Diah yang sebenarnya?
Yu Karti hanya diberi amanat untuk bercerita hanya sampai di situ. Â Untuk yang lebih dari itu, Yu Karti geleng kepala. Â Tak tahu. Â Hanya ibu yang tahu.
Hingga kini, ibu juga belum mau membuka mulut. Â Padahal, ibu juga tahu, sangat tahu kalau Diah sangat menunggu. Â Menunggu kabar tentang seseorang yang seharusnya dipanggil bapak.
Hal ini tentunya bukan karena Diah sangat membenci bapaknya. Â Bukan. Â Diah sedang berusaha. Â Walau belum tuntas benar. Â Akan selalu menghormati laki-laki yang telah membuatnya luka.Â
Hanya saja, Diah memang perlu sejarah. Â Sejarah tentang orangtua yang menyebabkannya turun ke dunia fana ini. Â Diah tahu, sangat tahu. Â Seseorang memang tak mungkin dapat memilih siapa orangtuanya. Â Sedang orangtua bisa mempertimbangkan mau punya anak atau tidak.
Yu Karti sudah meninggal. Â Tak mungkin Diah bertanya kepadanya.Â
Diah ingin sekali kalau di hari-hari ini, Diah dapat mendengar dari mulut ibu sendiri, siapa laki-laki yang sepantasnya dipanggil bapak olehnya. Â Semoga harapan Diah akan terwujud. Â Biar tidak penasaran seumur hidup.
"Mbak, ibu pingsan!" kata Afra mengagetkan.
"Kenapa?"
"Tidak tahu, Mbak. Â Tiba-tiba saja pingsan."
"Sudah pernah seperti ini?"
"Belum."
Diah memijit-mijit kaki ibu sambil mengoleskan obat gosok agar ada kehangatan yang melingkupi tubuh ibu. Â Hanya saja, ibu belum juga siuman. Â Akhirnya, kami putuskan untuk membawa ibu ke rumah sakit terdekat.
Rumah sakit terasa begitu muram. Â Diah agak bergidik juga setiap kali harus melangkahkan kaki di atas ubin rumah sakit. Â Bukan hanya terasa muram tapi juga terasa dingin.
Untung dokter rumah sakit kecil itu cukup sigap. Â Ibu langsung ditangani. Â Dan alhamdulillah, dalam waktu sekejap ibu siuman. Â Hanya saja, dokter menyarankan agar ibu dirawat dulu di rumah sakit untuk sementara. Â Kalau sudah sehat benar baru diperbolehkan pulang. Â Kami setuju.
"Kamu temenin ibu, ya, Di?" kata ibu meminta.
"Iya, Bu."
Mata ibu terlihat berbeda. Â Agak sayu. Â Seperti baru saja melakukan perjalanan jauh. Â Tampak kelelahan. Â Atau mungkin terlalu berat membawa beban.
"Ibu ngerepotin ya, Di?"
"Ah, ibu."
Diah memeluk ibu. Â Kehangatan itu masih ada. Â Seperti dulu. Â Saat Diah merasa sendiri. Â Selalu mendapat kehangatan saat memeluk atau dipeluk tubuh ibu. Â Kehangatan itu masih sama.
"Ibu capai?"
Ibu hanya tersenyum.
"Ibu seperti sedang membawa beban yang berat. Â Kalau boleh, bagilah beban itu sama Diah, biar ibu tak lagi terbebani," kata Diah.
"Diah, tolong ambilkan air minum!" pinta ibu.
Ibu minum seperti seseorang yang memang sehabis berjalan jauh. Â Atau sehabis menanggung beban yang cukup berat. Â Lalu, menghela nafas lega.
"Di, kamu pasti sudah mendengar cerita dari Karti, kan?" tanya ibu.
"Tidak usah ibu ceritakan sekarang. Â Ibu masih lemah. Â Tunggu waktu sampai ibu benar-benar sehat. Â Diah akan sabar menunggu kok, Bu," kata Diah saat melihat wajah ibu yang juga mulai pucat.
"Tapi, sepertinya ibu sudah hampi sampai di ujung jalan itu, Di. Â Ibu takut kalau ibu sudah dipanggil terlebih dulu sebelum ibu menceritakan hal ini kepadamu, Nduk."
Masih sore. Â Tapi rumah sakit kecil itu terasa sepi. Â Memang hanya beberapa orang yang dirawat di rumah sakit itu. Â Orang yang sakitnya agak parah memang langsung dirujuk ke rumah sakit kabupaten. Karena rumah sakit kecil ini peralatannya masih peralatan-peralatan sederhana. Â Sehingga, di rumah sakit itu hanya untuk rawat inap orang-orang yang sakit ringan tapi harus istirahat.Â
Diah menarik nafas. Â Agak panjang. Â Ada pertarungan yang belum usai. Â Ada pergumulan yang hendak saling mematikan. Â Antara keinginan untuk secepatnya tahu dengan keinginan ibu secepatnya sembuh.
(Bersambung)
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H