Matahari baru muncul. Â Sinarnya menerobos celah-celah dinding bambu rumah. Â Mengembalikan waktu kecil Diah saat bersama Afra bermain petak umpet. Â Afra selalu dapat menemukannya karena mencermati bayangan celah sinar matahari itu. Â Permainan yang selalu berujung pada kemarahan bapak. Â Diah tak boleh main permainan anak perempuan. Â Diah dibentaknya agar keluar rumah dan bermain bersama anak laki-laki.
"Dari Jakarta jam berapa, Mbak?" tanya Diah sambil menaruh teh hangat.
"Dari rumah habis magrib. Â Macet agak panjang di tol Cikampek. Â Untung ke sininya tak lagi macet. Â Paling agak tersendat pas keluar Pejagan," jelas Diah.
"Eh iya, ini yang namanya Clarasati?" tanya ibu sambil memegang bahu Rara.
"Iya, Mbah," jawab Rara agak kikuk.
"Kelas berapa?" tanya Afra.
"Baru kelas tujuh, Tante."
Anak laki-laki kira-kira umur empat tahun masih juga membuntuti Afra. Â Pasti si Hanif, anak Afra.
"Sudah salim sama bude?" tanya Afra pada Hanif yang mengikuti terus langkahnya itu.
Hanif mendekati Diah. Â Salim. Â Saat hendak dipeluk Diah, Hanif mundur.
"Kenapa? Bude bau ya?" tanya Diah.