Senyum itu masih juga renyah. Â Senyum itu masih seperti dulu. Â Bertahun-tahun Diah merindukan senyum itu. Â Senyum yang selalu menentramkan hati Diah segalau apa pun Diah.
Senyum ibu.
Ibu berdiri di teritis rumah. Â Rupanya sudah dari tadi menunggu Diah. Â Turun dari Andong, Diah langsung menghambur ke tangan renta itu. Â Tangan yang tak ada bandingannya di dunia ini. Â Tangan yang pelukannya terus-menerus menebar ketentraman.
"Ibu..." kata Diah dalam derai air mata yang tak mungkin dibendung lagi.
Diah mendekap wanita yang semakin kelihatan tua dengan banyak keriput kulit. Â Erat. Â Erat sekali. Â Pelukan yang sekian tahun tertahan. Â Ibu hanya diam. Â Air mata yang hendak jatuh tampak sekali ditahannya.Â
"Kamu sehat, Nduk?"
Selalu pertanyaan itu yang menjadi pertanyaan pembuka. Â Ibu tak pernah menanyakan apa pun selain kesehatan. Â Bagi ibu kesehatan anak-anaknya adalah berkah paling berharga.
Diah mengangguk.
Ibu membimbing Diah masuk ke ruang tamu. Â Ruang tamu yang tak jauh berbeda dengan waktu Diah meninggalkannya dulu. Â Ruang tamu yang hanya berisi beberapa kursi yang nyaris reyot. Â Untung saja suami Afra bisa sedikit ilmu pertukangan sehingga kursi-kursi yang sudah mulai lapuk dimakan waktu masih mampu menyanggu tubuh di atasnya.
"Ibu juga?"
Ibu mengangguk. Â Dengan senyum yang selalu terlihat tulus. Â Senyum yang juga selalu menggugurkan amarah Diah. Â Amarah Diah selalu saja kalah dan menyerah. Â Saat amarah itu bertubrukan dengan senyum ibu.
Matahari baru muncul. Â Sinarnya menerobos celah-celah dinding bambu rumah. Â Mengembalikan waktu kecil Diah saat bersama Afra bermain petak umpet. Â Afra selalu dapat menemukannya karena mencermati bayangan celah sinar matahari itu. Â Permainan yang selalu berujung pada kemarahan bapak. Â Diah tak boleh main permainan anak perempuan. Â Diah dibentaknya agar keluar rumah dan bermain bersama anak laki-laki.
"Dari Jakarta jam berapa, Mbak?" tanya Diah sambil menaruh teh hangat.
"Dari rumah habis magrib. Â Macet agak panjang di tol Cikampek. Â Untung ke sininya tak lagi macet. Â Paling agak tersendat pas keluar Pejagan," jelas Diah.
"Eh iya, ini yang namanya Clarasati?" tanya ibu sambil memegang bahu Rara.
"Iya, Mbah," jawab Rara agak kikuk.
"Kelas berapa?" tanya Afra.
"Baru kelas tujuh, Tante."
Anak laki-laki kira-kira umur empat tahun masih juga membuntuti Afra. Â Pasti si Hanif, anak Afra.
"Sudah salim sama bude?" tanya Afra pada Hanif yang mengikuti terus langkahnya itu.
Hanif mendekati Diah. Â Salim. Â Saat hendak dipeluk Diah, Hanif mundur.
"Kenapa? Bude bau ya?" tanya Diah.
Hanif hanya tersenyum malu. Â Rara yang dari tadi memperhatikan Hanif sudah mulai gemas hendak mencubitnya. Â Tapi sayang, anak kecil itu belum mengenalnya, kalau sampai dicubit pasti akan menangis.
"Sama mbak Rara?"
Hanif malu-malu mendekati Rara. Â Rara merunduk dan tersenyum kepada Hanif yang malu-malu. Â Ketika tangan Hanif tak juga dilepas Rara, Hanif kebingungan.
"Emak...!" teriak Hanif meminta bantuan emaknya.
"Bawa ke Jakarta saja Mbak Rara," kata Afra meledek Hanif.
Rara memeluk Hanif. Â Hanif meronta. Â Akhirnya Rara melepaskan sambil tertawa terbahak melihat Hanif yang ketakutan. Â Hanif langsung kabur keluar rumah.
"Mau istirahat dulu, Nduk?"
"Nanti saja, Bu."
Mata itu. Â Tidak setajam dulu. Â Tapi masih terus menyimpan keteduhan. Â Dulu, Diah sering mencari-cari keteduhan di situ. Â Saat resah. Â Saat Diah merasa dunia sperti neraka. Â Saat segala telah menolaknya.
"Suamimu ke mana, Fra?"
"Sudah berangkat ke kebun. Â Katanya ada pisang yang sudah tua. Â Mau ditebang. Â Sekarang banyak maling. Â Kalau ada pisang yang sudah tua terus nggak ditebang-tebang, pasti keduluan sama maling. Â Kemarin saja Yu Vera kecolongan buah pete. Â Nggak tanggung-tanggung, satu pohon dicuri semua," kata Afra.
(Bersambung)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H