"Pasti. Â Dulu, waktu bunda kecil, setiap panen tebu pasti diikuti oleh upacara-upacara. Â Termasuk pementasan wayang kulit semalaman," jelas Diah yang semakin membuat Rara penasaran.
"Kita di sini sampai panen saja, Bun," usul Rara.
"Emang kamu tak sekolah?"
"Meliburkan diri."
"Bunda nanti diomelin orang satu sekolah."
Delman masih terus terguncang. Â Kusir dokarnya masih muda sehingga Diah tak mengenalinya. Â Di kota kecil kelahirannya, Diah hanya kenal orang yang umurnya seumuran dengan dia. Â Orang-orang yang usianya di bawah usianya, tak ada yang dikenalnya lagi.
Kusir dokar di kota kelahiran Diah biasanya turun temurun. Â Seperti sebuah kutukan nenek moyang. Â Setiap kusir di kota kecil itu pasti bapaknya kusir. Â Kakeknya juga kusir. Â Tak ada orang yang mendadak menjadi kusir tanpa ada garis keturunannya yang juga menjalani profesi itu. Â Unik tapi nyata. Â Makanya, orang sering berpikir kalau menjadi kusir adalah kutukan nenek moyang yang tak terelakan.
Pernah ada orang yang mencoba menjadi kusir delman. Padahal bapaknya petani. Â Baru dua bulan mencoba berprofesi sebagai kusir, kudanya mendadak meninggal. Â Tanpa sebab yang jelas. Â Sebelum kuda itu mati, kusir yang tidak memiliki garis keturunan itu sering bermimpi seram-seram.
Entah sekarang.
Paling Diah ingat dari tebu adalah penyelenggaran penganten tebu atau orang-orang menyebutnya cebeng. Â Asal-muasal upacara menjelang panen tebu ini kata orang-orang tua karena waktu dulu sering terjadi korban pada saat penggilingan tebu hasil panen.
Upacara itu biasanya dimulai dengan mengarak sepasang pengantin tebu yang diwakili oleh boneka. Â Nama pasangan boneka itu Gembong Wuluh dan Siti Barokah. Â Iring-iringan dimulai dari kebun tebu dan berakhir di pabrik gula. Â Tebu yang dibawa beserta pasangan boneka itu langsung digiling. Â Kemudian boneka juga ikut dimasukkan paling akhir. Â Setelah itu, barulah panen raya tebu dilakukan.