Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

3 Hati dalam Gelas (16)

30 Maret 2016   08:20 Diperbarui: 30 Maret 2016   08:32 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[

Tak berasa.  Perjalanan sudah mulai memasuki kota kecilku.  Udara pagi menyisakan bau embun.  Delman yang Diah tumpangi tampak agak terantuk batu yang masih juga belum rapi tertutup aspal.  Selalu seperti itu.  Sejak dulu.  Sejak Diah kecil.  Jalan di kota kecil tempat kelahirannya itu tak lama mulus.  Diaspal hanya bisa mulus untuk waktu paling lama lima bulan.  Selebihnya, jalan itu akan ditumbuhi batu-batu dari balik aspal yang sudah terkelupas.

"Terlalu banyak yang mengais rezeki dari jalan seperti ini," batin Diah sambil membayangkan megahnya rumah-rumah para koruptor.  Bahkan ada temannya yang aktif di LSM mengatakan kalau harta para koruptor bisa jadi lebih banyak dari APBN.  Gila kan?

Sepanjang jalan, masih juga ditumbuhi tebu-tebu.  Waktu kecil Diah juga sering main di kebun-kebun tebu itu.  Bersama teman-temanya.  Makan tebu sepuasnya.

Manisnya tebu memang belum semanis kehidupan para petani yang telah merawatnya.  Para petani tebu masih juga hidup dalam kondisi pas-pasan, bahkan kekurangan.  Padahal manis tebunya telah membuat para penikmat teh atau kopi menjadi lebih gress.  Tapi, itulah negeri ini.  Lagi-lagi, rakyatnya terlalu baik untuk ditipu.  Sehingga negeri yang gemah ripah ini hanya dinikmati para begujal yang menghisap keringat-keringat rakyat.

Jadi teringat buku novel Saijah dan Adinda.  Buku yang mampu merekam bejadnya pemimpin negeri ini.  Kita sering mengutuk penjajah Belanda hingga mulut berbusa-busa.  Akan tetapi, di sisi lain, kita lupa mengutuk pemimpin negeri yang prilakunya lebih kejam dari penjajah Belanda itu sendiri.  Padahal, orang seperti Saijah justru diperas oleh bupatinya sendiri yang sudah pasti kulitnya berwarna coklat.  Kalau Belanda hanya menjajah di tingkat kota kabupaten, sedang penjajah yang masuk hingga kampung-kampung justru Belanda yang kulitnya coklat.

Miris!

Diah tersenyum.  Ingat tetangga-tetangganya yang hidup dalam kesederhanaan kota kecil.  Masihkah mereka hidup seperti itu?  Banyak kabar yang mengatakan bahwa infiltrasi kultur modern juga telah merasuk, bahkan merusak hampir di seluruh pelosok negeri ini.  Benarkah?

"Tebunya berbunga, Bun!" teriak Rara yang memang selama hidupnya baru kali menyaksikan hamparan kebun tebu.

"Berarti sebentar lagi panen," kata Diah.

"Ramai?" Rara penasaran.

"Pasti.  Dulu, waktu bunda kecil, setiap panen tebu pasti diikuti oleh upacara-upacara.   Termasuk pementasan wayang kulit semalaman," jelas Diah yang semakin membuat Rara penasaran.

"Kita di sini sampai panen saja, Bun," usul Rara.

"Emang kamu tak sekolah?"

"Meliburkan diri."

"Bunda nanti diomelin orang satu sekolah."

Delman masih terus terguncang.  Kusir dokarnya masih muda sehingga Diah tak mengenalinya.  Di kota kecil kelahirannya, Diah hanya kenal orang yang umurnya seumuran dengan dia.  Orang-orang yang usianya di bawah usianya, tak ada yang dikenalnya lagi.

Kusir dokar di kota kelahiran Diah biasanya turun temurun.  Seperti sebuah kutukan nenek moyang.  Setiap kusir di kota kecil itu pasti bapaknya kusir.  Kakeknya juga kusir.  Tak ada orang yang mendadak menjadi kusir tanpa ada garis keturunannya yang juga menjalani profesi itu.  Unik tapi nyata.  Makanya, orang sering berpikir kalau menjadi kusir adalah kutukan nenek moyang yang tak terelakan.

Pernah ada orang yang mencoba menjadi kusir delman. Padahal bapaknya petani.  Baru dua bulan mencoba berprofesi sebagai kusir, kudanya mendadak meninggal.  Tanpa sebab yang jelas.  Sebelum kuda itu mati, kusir yang tidak memiliki garis keturunan itu sering bermimpi seram-seram.

Entah sekarang.

Paling Diah ingat dari tebu adalah penyelenggaran penganten tebu atau orang-orang menyebutnya cebeng.  Asal-muasal upacara menjelang panen tebu ini kata orang-orang tua karena waktu dulu sering terjadi korban pada saat penggilingan tebu hasil panen.

Upacara itu biasanya dimulai dengan mengarak sepasang pengantin tebu yang diwakili oleh boneka.  Nama pasangan boneka itu Gembong Wuluh dan Siti Barokah.  Iring-iringan dimulai dari kebun tebu dan berakhir di pabrik gula.  Tebu yang dibawa beserta pasangan boneka itu langsung digiling.  Kemudian boneka juga ikut dimasukkan paling akhir.  Setelah itu, barulah panen raya tebu dilakukan.

Dan tak ada lagi korban. 

Agak tahayul sih.  Hanya saja Diah waktu itu masih kecil.  Hanya senang karena ramainya upacara itu.  Karena tidak jarang dilanjutkan dengan pementasan wayang kulit.  Banyak jajanan.

Mata Diah benar-benar menerawang.  Hatinya bolak-balik antara waktu dulu saat kecil hingga kini.  Rara yang duduk disamping tak tahu.  Mata Rara masih takjub dengan luasnya kebun tebu di hadapannya.

(Bersambung)

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun