[
Mendung menggelayut di hati Diah. Â Ada perasaan bersalah. Â Ada juga perasaan tak boleh menyerah. Â Ada harapan yang hendak runtuh. Â Ada asa yang harus tetap dijaga.
Diah tak lagi mau menunggu. Â Diah langsung menuju ke ruang kepala sekolah. Â Kepala sekolah sedang sibuk. Â Tak peduli. Â Persoalannya harus bisa diselesaikan.
"Assalamualaikum."
"Silakan duduk. Â Tunggu sebentar, ya?" kata kepala sekolah. Â Diah tahu kalau kepala sekolah sengaja mengulur waktu. Â Diah tahu kalau kepala sekolah memberi jeda.
Lima menit. Â Amarah masih agak tinggi.
Sepuluh menit. Â Ada gejolak yang sedikit reda. Â Nafas Diah agak teratur kembali.Â
"Silakan minum dulu, Bu," kata kepala sekolah sebelum duduk di hadapan Diah.
"Begini, Pak," Diah segera selesai.
"Rara katanya tinggal bersama, Ibu?" sela kepala sekolah.
"Iya. Â Maksud saya menemui, Bapak ..."
"Saya sudah tahu. Â Ibu tak perlu terburu. Â Segala sesuatu yang dilakukan terburu hanya akan mengundang bara. Â Hadapilah hidup ini dengan tenang. Â Kalau melihat sesuatu dengan tenang. Â Hati juga akan benderang," sela kepala sekolah lagi.
Diah berusaha menarik nafas. Â Menarik nafsu yang memburu. Â Himpitan antara sedih, salah, dan marah. Â Tapi memang betul apa yang dikatakan oleh kepala sekolah. Â Sikap kepala sekolah yang terkadang membosankan, sepertinya sangat bermanfaat disaat situasinya seperti ini. Â Tenang ... tenang ... tenang, bisik Diah pada dirinya sendiri.
"Bapak sudah tahu semua?"
"Iya. Â Dan saya tak akan gegabah dalam mengambil keputusan. Â Apakah masa lalu seseorang harus selalu diberi hukuman? Â Bagaimana menurut, Ibu?" tanya kepala sekolah.
"Sebetulnya, saya juga sependapat dengan bapak. Â Tapi, saya kurang nyaman kalau harus mengajar dalam kondisi seperti ini," jelas Diah.
"Ibu mau izin dulu? Â Silakan. Â Tenangkan dulu suasana hati ibu."
"Tidak, Pak."
"Tapi ibu harus tenang menghadapi cobaan seperti ini. Â Seperti ibu hidup bertetangga, kan? Â Ibu tak bisa memeilih tetangga. Â Ibu juga tak bisa memilih teman dalam bekerja. Â Kita seperti sudah terberi. Â Kalau kebetulan tetangga atau teman kerja kita baik semua, bersyukurlah kita. Â Tapi, kalau ada tetangga atau teman kita yang usil, tak perlu kan kita merutuk hidup, apalagi merutuk Tuhan? Â Tuhan punya rencana terbaik bagi kita," nasihat kepala sekolah.
Benar. Â Hidup memang tak perlu banyak dipikirkan. Â Justru harus lebih banyak disyukuri. Â Hidup yang terlalu banyak dipikirkan akan menjadikan hidup tak enak, tak nyaman. Â Hidup yang banyak disyukuri yang akan semakin membuat hidup menjadi bervariasi. Â Berwarna. Â Dan kita semakin bahagia.
"Siap, Pak."
Hati Diah semakin benderang. Â Biarlah anjing menggonggong, hidup tetap tersenyum.
Sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat pasti akan jatuh juga. Â Sepandai-pandai Diah menjaga agar hatinya tenang, tetap saja tak konsentrasi mengajar hari ini. Â Beberapa anak protes karena pelajaran Bu Diah hari ini beda. Â Namun Diah hanya tersenyum sambil mengucap kepala anak pemrotes agar sedikit mau memahami hatinya.
Hingga usai pelajaran. Â Dan Diah pulang lebih cepat.
Diah tak ingin terlarut dalam sedih. Â Dan satu-satunya yang bisa meluruhkan hati Diah hanyalah novel. Â Kemarin Diah membeli novel terjemahan Albert Camus. Â Novel karya filsuf eksistensialis itu sangat memesona. Â Tentang orang yang kesepian dalam ramainya kota. Â Orang yang terkadang terkesan menantang Tuhan. Â Tapi enak dibaca.
"Assalamualaikum," suara Rara.
"Walaikum salam," jawab Diah sambil melirik dari balik buku.
"Belum selesai, Bun?"
"Nyaris. Â Kok baru nyampai?"
"Tadi ngerjain Pr matematik dulu."
"Ra, kamu sudah tahu, belum?"
"Tentang apa, Bun?"
"Tentang masa lalu bunda?"
"Sudah. Â Teman-teman juga banyak yang sudah tahu. Â Tapi, untuk apa mempedulikan masa lalu seseorang? Â Yang pentingkan bagaimana orang itu saat ini?" kata Rara.
Diah merasa lega.
"Jadi kamu tak ..."
"Rara tetap sayang Bunda seribu persen," kata Rara sambil mencium Diah.
"Yakin?"
Rara mengangguk.
"Tidak takut?"
"Rara malah lebih takut sama mulut comel Bu Rini. Â Teman-teman Rara tahu kalau yang menyebarkan gosip tentang bunda adalah bu Rini. Â Dan teman-teman memang lebih tak suka dengan Bu Rini," jelas Rara.
"Masa sih?"
"Kalau bunda tak percaya, bunda boleh bedah dada Rara. Â Pasti banyak darahnya," kata Rara sambil tersenyum.
"Terima kasih, ya, Ra."
"Untuk apa?"
"Untuk kepercayaan yang telah Rara berikan kepada Bunda."
"Bukankah itu sebuah kewajiban seorang anak?"
"Iya ..ya."
Berdua tertawa. Â Bahagia.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H