[/caption]
Diah menarik nafas panjang. Â Mencari jalan agar apa yang diceritakan merupakan jalan kebaikan. Â Bukan sebaliknya. Â Diah berharap, Rara bisa mengambil hikmah dari perjalanan hidupnya yang cukup berliku.
Rara masih mencoba menyimpan rasa cemas.
Diah juga masih digulung rasa cemas. Â Mungkinkah ini akan menjadi sebuah kebaikan? Â Diah mulai sangsi. Â Sudah waktunyakah untuk bercerita kepada Rara? Â Atau harus dirunda dulu agar semuanya lebih siap? Â Diah mulai mengundurkan niatnya.
Rara agak pias.
Tok...tok...tok!
Ada yang mengetuk pintu. Â Suaranya agak terburu. Â Mungkin ada berita yang harus segera disampaikan. Â Rara bangkit. Â Tapi Diah mencegahnya.
"Biar Bunda saja."
Laki-laki di depan pintu itu jelas bukan orang baik-baik. Â Wajahnya yang kusut jelas menyiratkan beban keterbuangan. Â Rambutnya dicat aneka warna. Â Sepatunya yang beda warna. Â Dan bau tak sedap yang bersumber dari tubuh yang mungkin sudah lebih dari seminggu tak bersua dengan air.
"Ada Rara?" tanyanya dengan sura berat yang penuh takanan.
Diah menarik nafas. Â Manusia seperti ini tak boleh dihadapi dengan ketakutan, walau Diah agak risi juga. Â Diapndangnya laki-laki yang kelihatan masih remaja itu tepat dilorong matanya.
"Kamu siapa?" tanya Diah dengan suara tegas.
"Aku pacarnya. Â Mana Rara?" suara laki-laki itu jelas mengintimidasi.
"Ada apa?"
"Aku mau mengajaknya jalan."
"Tidak boleh!"
"Kenapa?"
"Kalau saya bilang tidak boleh, kamu tak usah tahu kenapanya. Tidak boleh, titik!"
Laki-laki itu sepertinya kalah gertak. Â Dengan jalan agak sempoyongan seperti orang mabuk, dia meninggalkan rumah Diah. Â Sedang Rara mengintip di belakang Diah.
"Siapa dia?" tanya Diah kepada Rara saat dilihatnya laki-laki itu sudah berbelok.
"Teman nongkrong," jawab Rara agak takut.
"Kenapa berkawan dengan manusia seperti itu? Â Masih banyak orang baik yang bisa kau ajak menjadi teman, jangan kamu berteman sembarangan. Teman juga bisa menjadi petunjuk kepribadian seseorang. Â Orang baik-baik tak akan bergaul dengan orang sperti itu," kata Diah sambil merangkul Rara.
"Iya. Â Rara salah. Â Tapi Rara kan sudah meninggalkan mereka."
"Oke."
Tok...tok...tok!
Baru juga Diah hendak duduk saat pintu rumah kembali diketuk seseorang. Â Dari suara ketukannya, Diah bisa menduga kalau laki-laki yang tadi mengaku sebagai pacar Rara yang datang kembali.
Diah membuka pintu. Â Ada laki-laki yang tadi sudah datang. Â Ada satu lagi laki-laki yang badannya lebih besar. Â Mata mereka seperti mengusung kemarahan. Â Tapi Diah mencoba untuk tetap biasa.
"Bu Diah ya?" tanya laki-laki berbadan besar.
"Iya. Kenapa?"
"Saya teman si Dogol nih, Bu. Â Katanya ...?"
"Kamu sendiri siapa?"
"Aku mantan murid ibu. Â Aku yang dulu dibeliian nasi sama ibu waktu sakit di sekolah. Â Aku sekarang tidak sekolah. Â Jadi tukang parkir di seberang, Bu. Â Maaf ya, Bu kalau mengganggu."
Diah mengelus dada.Â
Laki-laki yang mengaku mantan murid Diah tampak memarahi laki-laki yang datang dua kali. Â Mungkin mereka tak menyangka kalau yang hendak dituju rumah seorang guru.
Masih ada yang mau memberi hormat kepada mantan gurunya. Â Sebuah peristiwa langka. Â Di kota seperti Jakarta biasanya seorang murid sudah cuek kepada mantan gurunya. Â Tapi, tadi lain. Â Walau preman tapi masih sedikit menyisakan rasa sopan.
"Untung ibu kenal dia," kata Rara.
"Kenapa?"
"Dia itu preman paling kejam. Â Sudah dua kali dipenjara gara-gara menghajar orang. Â Hampir semua preman di sana taku sama dia," jelas Rara.
"Preman juga pernah sekolah kan?"
Rara mengangguk.
"Preman juga pernah punya guru kan?"
Lagi-lagi, Rara mengangguk.
Adrenalin Diah sudah terkuras. Â Badan serasa pegal-pegal. Â Diah pun tiduran. Â Diah menjanjikan untuk bercerita tentang sejarah dirinya di lain waktu saja.
Malam memang sudah merambat tinggi. Â Gang depan rumah sudah sepi. Â Sekali-sekali ada tukang jualan membunyikan tanda jualannya.
Rara juga mulai mengantuk. Rara menyelimuti tubuh Diah. Â Lalu berbaring di sebelahnya.
Malam pun kian sepi. Â Dua orang itu mulai menapaki mimpi.
***
(Bersambung)