Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

3 Hati dalam Gelas (9)

21 Maret 2016   13:06 Diperbarui: 21 Maret 2016   13:37 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[/caption]

Diah menarik nafas panjang.  Mencari jalan agar apa yang diceritakan merupakan jalan kebaikan.  Bukan sebaliknya.  Diah berharap, Rara bisa mengambil hikmah dari perjalanan hidupnya yang cukup berliku.

Rara masih mencoba menyimpan rasa cemas.

Diah juga masih digulung rasa cemas.  Mungkinkah ini akan menjadi sebuah kebaikan?  Diah mulai sangsi.  Sudah waktunyakah untuk bercerita kepada Rara?  Atau harus dirunda dulu agar semuanya lebih siap?  Diah mulai mengundurkan niatnya.

Rara agak pias.

Tok...tok...tok!

Ada yang mengetuk pintu.  Suaranya agak terburu.  Mungkin ada berita yang harus segera disampaikan.  Rara bangkit.  Tapi Diah mencegahnya.

"Biar Bunda saja."

Laki-laki di depan pintu itu jelas bukan orang baik-baik.  Wajahnya yang kusut jelas menyiratkan beban keterbuangan.  Rambutnya dicat aneka warna.  Sepatunya yang beda warna.  Dan bau tak sedap yang bersumber dari tubuh yang mungkin sudah lebih dari seminggu tak bersua dengan air.

"Ada Rara?" tanyanya dengan sura berat yang penuh takanan.

Diah menarik nafas.  Manusia seperti ini tak boleh dihadapi dengan ketakutan, walau Diah agak risi juga.  Diapndangnya laki-laki yang kelihatan masih remaja itu tepat dilorong matanya.

"Kamu siapa?" tanya Diah dengan suara tegas.

"Aku pacarnya.  Mana Rara?" suara laki-laki itu jelas mengintimidasi.

"Ada apa?"

"Aku mau mengajaknya jalan."

"Tidak boleh!"

"Kenapa?"

"Kalau saya bilang tidak boleh, kamu tak usah tahu kenapanya. Tidak boleh, titik!"

Laki-laki itu sepertinya kalah gertak.  Dengan jalan agak sempoyongan seperti orang mabuk, dia meninggalkan rumah Diah.  Sedang Rara mengintip di belakang Diah.

"Siapa dia?" tanya Diah kepada Rara saat dilihatnya laki-laki itu sudah berbelok.

"Teman nongkrong," jawab Rara agak takut.

"Kenapa berkawan dengan manusia seperti itu?  Masih banyak orang baik yang bisa kau ajak menjadi teman, jangan kamu berteman sembarangan. Teman juga bisa menjadi petunjuk kepribadian seseorang.  Orang baik-baik tak akan bergaul dengan orang sperti itu," kata Diah sambil merangkul Rara.

"Iya.  Rara salah.  Tapi Rara kan sudah meninggalkan mereka."

"Oke."

Tok...tok...tok!

Baru juga Diah hendak duduk saat pintu rumah kembali diketuk seseorang.  Dari suara ketukannya, Diah bisa menduga kalau laki-laki yang tadi mengaku sebagai pacar Rara yang datang kembali.

Diah membuka pintu.  Ada laki-laki yang tadi sudah datang.  Ada satu lagi laki-laki yang badannya lebih besar.  Mata mereka seperti mengusung kemarahan.  Tapi Diah mencoba untuk tetap biasa.

"Bu Diah ya?" tanya laki-laki berbadan besar.

"Iya. Kenapa?"

"Saya teman si Dogol nih, Bu.  Katanya ...?"

"Kamu sendiri siapa?"

"Aku mantan murid ibu.  Aku yang dulu dibeliian nasi sama ibu waktu sakit di sekolah.  Aku sekarang tidak sekolah.  Jadi tukang parkir di seberang, Bu.  Maaf ya, Bu kalau mengganggu."

Diah mengelus dada. 

Laki-laki yang mengaku mantan murid Diah tampak memarahi laki-laki yang datang dua kali.  Mungkin mereka tak menyangka kalau yang hendak dituju rumah seorang guru.

Masih ada yang mau memberi hormat kepada mantan gurunya.  Sebuah peristiwa langka.  Di kota seperti Jakarta biasanya seorang murid sudah cuek kepada mantan gurunya.  Tapi, tadi lain.  Walau preman tapi masih sedikit menyisakan rasa sopan.

"Untung ibu kenal dia," kata Rara.

"Kenapa?"

"Dia itu preman paling kejam.  Sudah dua kali dipenjara gara-gara menghajar orang.  Hampir semua preman di sana taku sama dia," jelas Rara.

"Preman juga pernah sekolah kan?"

Rara mengangguk.

"Preman juga pernah punya guru kan?"

Lagi-lagi, Rara mengangguk.

Adrenalin Diah sudah terkuras.  Badan serasa pegal-pegal.  Diah pun tiduran.  Diah menjanjikan untuk bercerita tentang sejarah dirinya di lain waktu saja.

Malam memang sudah merambat tinggi.  Gang depan rumah sudah sepi.  Sekali-sekali ada tukang jualan membunyikan tanda jualannya.

Rara juga mulai mengantuk. Rara menyelimuti tubuh Diah.  Lalu berbaring di sebelahnya.

Malam pun kian sepi.  Dua orang itu mulai menapaki mimpi.

***

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun