Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

3 Hati dalam Gelas (8)

18 Maret 2016   16:53 Diperbarui: 18 Maret 2016   17:04 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[

Sore.  Sehabis mandi.  Menyalakan televisi.  Mencari acara yang bagus.  Ah, mana ada acara televisi yang bagus ya?  Televisi sekarang ini terlalu dikejar-kejar rating sehingga melupakan kualitas.  Acara seperti apa pun langsung beranak pinak di hampir semua televisi kalau acara itu mampu unggul dalam rating.  Maklum juga sih.  Televisi kan hidup dari iklan.  Kalau tak ada iklan, televisi akan mati dengan sepenuh hati.

Apalagi sekarang televisi juga sudah dikuasai oleh kelompok tertentu.  Lihat saja kalau ada pemilu atau pemilukada.  Kita bisa tahu televisi mana memihak siapa karena apa. 

Masih mau nonton televisi?

Lho, kalau sore-sore begini.  Sehabis mandi.  Terus mau disuruh apa?  Enaknya kan nyantai sambil menonton televisi.  Apa saja lah, yang ringan-ringan saja.

Diah pun duduk di depan televisi.  Tak begitu lama, Rara juga muncul.  Ikut duduk menonton televisi.

"Ra, ibu dengar, kamu masih suka merokok?" tanya Diah ingin tahu reaksi Rara.

Rara diam.  Mungkin Rara tak menyangka kalau akan ditanya masalah rokok ini.  Selama ini, Rara memang masih suka merokok.  Suka tak tahan mulut Rara kalau tidak merokok.

"Masih, Ra?" ulang Diah.

Rara mengangguk.

"Ibu marah, ya?" tanya Rara ketakutan.

"Ra, ibu ingin kau berubah seratus persen.  Tak boleh ada yang tertinggal.  Kalau masih ada yang tertinggal, kau akan kembali lagi ke tempat itu suatu saat."

"Baik, Bu.  Tapi ...."

"Ra, tak boleh ada tapi ya?  Bisa kan?" tambah Diah.

"Akan Rara coba."

"Harus Rara lakukan bukan dicoba lagi.  Kalau Rara mau mencoba, kesannya hanya setengah hati niat Rara untuk menjadi baik."

"Teman-teman Rara terkadang ngajak.  Rara kan nggak mungkin nolak?"

"Rara harus tolak.  Rara kan udah punya ibu?"

Diah memeluk Rara.  Pelukan sayang yang tulus.  Diah ingin sekali Rara menjalani hidupnya dengan penuh bahagia.  Juga mampu menuju kehidupan yang lebih bahagia.

"Kalau Rara panggil bunda, boleh?" tanya Rara.

Senang sekali hati Diah dipanggil bunda.  Dulu Diah memang pernah memikirkan, kira-kira panggilan apa yang pas untuk dikatakan anaknya saat memannggil Diah.  Dan Diah sudah memutuskan untuk menggunakan kata "bunda".  Tapi si pemanggil tak pernah datang.  Jangankan si pemanggil, orang yang menyebabkan hadirnya si pemanggil saja hingga hari ini belum ada yang hadir.  Bagaimana semua keinginan baik itu akan hadir.  Iya, kan?

"Ibu tak ingin dengar kalau Rara kumpul-kumpul sama teman yang lama itu.  Apalagi pakai acara ikut-ikutan ngerokok atau kegiatan lain yang kurang bagus.  Mau kan?"

Rara mengangguk.

"Ra, tadi teman bunda nelepon ..."

"Teman bunda yang mana?  Teman guru?"

"Bukan.  Teman kuliah bunda dulu.  Sudah 20 tahun tak ketemu.  Kemarin dia telepon.  Kira-kira kenapa ya, Ra?"

"Ah, Bunda.  Mana Rara tahu?"

"Iya, ya."

"Teman atau sahabat gitu, Bun?"

"Sahabat banget, Ra.  Udah kayak kakak adik.  Bunda pengin banget cerita-cerita masa lalu, Bunda.  Masa kecil, Bunda.  Masa remaja, Bunda.  Masa kuliah, Bunda."

"Iya, Bun.  Rara juga mau dengerinnya.  Apalagi kalau bunda cerita masalah cowok.  Seru banget kali, Bun."

Diah agak bingung juga.  Ada sejarah kelam di sana.  Tapi Diah tak mungkin memendam sejarah kelam itu sendirian.  Harus ada orang yang bisa dijadikan tempat berbagi.  Diah merasa Rara bisa menjadi teman curhat.  Berbagi pasti akan meringankan langkah Diah.  Dosa-dosa itu tak lagi mengejar-ngejarnya.  Ketakutan itu tak akan terus terpendam.

Tapi ... apa Rara akan tetap menghormati Diah kalau Rara sudah tahu siapa Diah sebenarnya dulu?

Entahlah.  Mungkin pada awalnya Rara akan menolak.  Tapi, Diah akan meyakinkan Rara bahwa orang memang bisa hitam di suatau waktu dan berubah menjadi putih di waktu yang lainnya.  Manusia tak mungkin tetap tinggal di satu warna saja.  Bahkan di manusia berwarna putih pun akan tampak ada titik hitam dalam lembaran-lembaran kehidupannya.  Manusia bukan malaikat.  Tapi, manusia juga bukan iblis.  Manusia selalu berada di antara malaikat dan iblis.

"Ra, bagaimana pendapatmu kalau ternyata bundamu ini bukan orang yang baik?"

"Rara tetap menyukainya."

"Yakin?"

"He-eh."

"Kalau begitu, bunda boleh dong cerita dunia hitam yang dulu pernah bunda lakukan.  Rara tak boleh mencela.  Rara tak boleh berkomentar.  Dengerin saja dulu.  Kalau bunda udah slesai cerita, Rara boleh melakukan penilaian.  Bahkan kalau Rara ingin membeci bunda pun tak masalah.  Setuju?"

"Kok ..."

(Bersambung)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun