[
Sore. Â Sehabis mandi. Â Menyalakan televisi. Â Mencari acara yang bagus. Â Ah, mana ada acara televisi yang bagus ya? Â Televisi sekarang ini terlalu dikejar-kejar rating sehingga melupakan kualitas. Â Acara seperti apa pun langsung beranak pinak di hampir semua televisi kalau acara itu mampu unggul dalam rating. Â Maklum juga sih. Â Televisi kan hidup dari iklan. Â Kalau tak ada iklan, televisi akan mati dengan sepenuh hati.
Apalagi sekarang televisi juga sudah dikuasai oleh kelompok tertentu. Â Lihat saja kalau ada pemilu atau pemilukada. Â Kita bisa tahu televisi mana memihak siapa karena apa.Â
Masih mau nonton televisi?
Lho, kalau sore-sore begini. Â Sehabis mandi. Â Terus mau disuruh apa? Â Enaknya kan nyantai sambil menonton televisi. Â Apa saja lah, yang ringan-ringan saja.
Diah pun duduk di depan televisi. Â Tak begitu lama, Rara juga muncul. Â Ikut duduk menonton televisi.
"Ra, ibu dengar, kamu masih suka merokok?" tanya Diah ingin tahu reaksi Rara.
Rara diam. Â Mungkin Rara tak menyangka kalau akan ditanya masalah rokok ini. Â Selama ini, Rara memang masih suka merokok. Â Suka tak tahan mulut Rara kalau tidak merokok.
"Masih, Ra?" ulang Diah.
Rara mengangguk.
"Ibu marah, ya?" tanya Rara ketakutan.
"Ra, ibu ingin kau berubah seratus persen. Â Tak boleh ada yang tertinggal. Â Kalau masih ada yang tertinggal, kau akan kembali lagi ke tempat itu suatu saat."
"Baik, Bu. Â Tapi ...."
"Ra, tak boleh ada tapi ya? Â Bisa kan?" tambah Diah.
"Akan Rara coba."
"Harus Rara lakukan bukan dicoba lagi. Â Kalau Rara mau mencoba, kesannya hanya setengah hati niat Rara untuk menjadi baik."
"Teman-teman Rara terkadang ngajak. Â Rara kan nggak mungkin nolak?"
"Rara harus tolak. Â Rara kan udah punya ibu?"
Diah memeluk Rara. Â Pelukan sayang yang tulus. Â Diah ingin sekali Rara menjalani hidupnya dengan penuh bahagia. Â Juga mampu menuju kehidupan yang lebih bahagia.
"Kalau Rara panggil bunda, boleh?" tanya Rara.
Senang sekali hati Diah dipanggil bunda. Â Dulu Diah memang pernah memikirkan, kira-kira panggilan apa yang pas untuk dikatakan anaknya saat memannggil Diah. Â Dan Diah sudah memutuskan untuk menggunakan kata "bunda". Â Tapi si pemanggil tak pernah datang. Â Jangankan si pemanggil, orang yang menyebabkan hadirnya si pemanggil saja hingga hari ini belum ada yang hadir. Â Bagaimana semua keinginan baik itu akan hadir. Â Iya, kan?
"Ibu tak ingin dengar kalau Rara kumpul-kumpul sama teman yang lama itu. Â Apalagi pakai acara ikut-ikutan ngerokok atau kegiatan lain yang kurang bagus. Â Mau kan?"
Rara mengangguk.
"Ra, tadi teman bunda nelepon ..."
"Teman bunda yang mana? Â Teman guru?"
"Bukan. Â Teman kuliah bunda dulu. Â Sudah 20 tahun tak ketemu. Â Kemarin dia telepon. Â Kira-kira kenapa ya, Ra?"
"Ah, Bunda. Â Mana Rara tahu?"
"Iya, ya."
"Teman atau sahabat gitu, Bun?"
"Sahabat banget, Ra. Â Udah kayak kakak adik. Â Bunda pengin banget cerita-cerita masa lalu, Bunda. Â Masa kecil, Bunda. Â Masa remaja, Bunda. Â Masa kuliah, Bunda."
"Iya, Bun. Â Rara juga mau dengerinnya. Â Apalagi kalau bunda cerita masalah cowok. Â Seru banget kali, Bun."
Diah agak bingung juga. Â Ada sejarah kelam di sana. Â Tapi Diah tak mungkin memendam sejarah kelam itu sendirian. Â Harus ada orang yang bisa dijadikan tempat berbagi. Â Diah merasa Rara bisa menjadi teman curhat. Â Berbagi pasti akan meringankan langkah Diah. Â Dosa-dosa itu tak lagi mengejar-ngejarnya. Â Ketakutan itu tak akan terus terpendam.
Tapi ... apa Rara akan tetap menghormati Diah kalau Rara sudah tahu siapa Diah sebenarnya dulu?
Entahlah. Â Mungkin pada awalnya Rara akan menolak. Â Tapi, Diah akan meyakinkan Rara bahwa orang memang bisa hitam di suatau waktu dan berubah menjadi putih di waktu yang lainnya. Â Manusia tak mungkin tetap tinggal di satu warna saja. Â Bahkan di manusia berwarna putih pun akan tampak ada titik hitam dalam lembaran-lembaran kehidupannya. Â Manusia bukan malaikat. Â Tapi, manusia juga bukan iblis. Â Manusia selalu berada di antara malaikat dan iblis.
"Ra, bagaimana pendapatmu kalau ternyata bundamu ini bukan orang yang baik?"
"Rara tetap menyukainya."
"Yakin?"
"He-eh."
"Kalau begitu, bunda boleh dong cerita dunia hitam yang dulu pernah bunda lakukan. Â Rara tak boleh mencela. Â Rara tak boleh berkomentar. Â Dengerin saja dulu. Â Kalau bunda udah slesai cerita, Rara boleh melakukan penilaian. Â Bahkan kalau Rara ingin membeci bunda pun tak masalah. Â Setuju?"
"Kok ..."
(Bersambung)
Â