Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sesal Kemudian, Ada Gunanya Juga (Novel Anak Bag.1)

12 Juli 2015   06:56 Diperbarui: 12 Juli 2015   06:56 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu pagi.  Matahari sudah mulai tinggi.  Sinarnya menebar kehangatan.  Menerobos ke segala penjuru bumi.  Seakan-akan menggapai-gapai.  Berkehendak mengusir setiap kantuk yang masih terus menggoda para pemalas untuk tetap meringkuk di balik selimut.

“Mocsyaaa!” panggil Bunda.

Tak ada jawaban.  Kamarnya sepi.

“Mocsya ke mana, Vi?” Bunda bertanya pada Kak Sevi yang sedang asyik membaca buku.

“Setahuku dia masih ada di kamar.  Belum terlihat keluar-keluar.  Memangnya ada apa, Bun?” Sevi balik bertanya.

“Ada deh.  Mau tahu saja, seperti petugas sensus,” jawab Bunda sambil mengetuk pintu kamar Mocsya.  Beberapa kali diketuk, tak juga ada jawaban.  Mungkin penghuninya masih di alam lain.  Alias masih mimpi ketemu bidadari.  Tapi Bunda tak akan menyerah.  Tangannya terus mengetuk pintu, sambil memanggil-manggil Mocsya.

“Jangan diketuk pintunya, Bunda,” kata Sevi.

“Kenapa?” tanya Bunda heran.

“Kalau hanya ketukan di pintu, Oca tidak akan bangun, Bun.  Kemarin saja ada bom meledak empat kali, Oca tidak bangun.  Apalagi hanya ketukan di pintu, mana mungkin Oca bangun, Bunda?!”

“Di mana ada bom meledak?” tanya Bunda dengan perasaan aneh.  Tak ada berita tentang bom, baik di koran maupun di televisi.  Adanya bombastis.  Itu pun nama acara di sebuah stasiun televisi.  Kok sampai ada bom meledak empat kali.  Bunda pun menghentikan ketukan tangannya pada pintu.

“Di Irak,” jawab Kak Sevi sambil tersenyum.

Baru saja Bunda mau mengetuk kembali pintu yang selalu terkunci itu. Tapi tiba-tiba pintu terbuka dan ….

“Halo, halo, halooooooooooo…!!!” muncul kepala Mocsya dengan rambut keriting yang selalu dipakai di kepalanya.  Aneh memang, rambut keriting Mocsya  tak pernah sekalipun ketinggalan.  Muka Mocsya sedikit lucu.  Maklum, mata Mocsya tidak kelihatan karena tertutup rambut kriting.

“Ada apa ribut-ribut?  Banjir bandang dari Situ Gintung sampai sini, ya? Cepat selamatkan diri Bunda, Kakak!” kata Mocsya sambil menyibak rambut kriting yang menutupi mata.

“Iya, Ca.  Tapi banjir bandangnya di pulau Kapuk,” jawab Kak Sevi.  Maksudnya di kasur alias hanya di dalam mimpi saja.

“Ca, pakai baju yang rapi.  Bunda mau mengajak kamu jalan-jalan,” kata Bunda.

“Yang benar, Bunda?!” tanya Mocsya setengah percaya sambil mengucek-ucek matanya.  Tak disangka-sangka.  Tak ada petir tak ada hujan, tahu-tahu ada ajakan.  Tak apa-apa.  Yang penting jangan banjir saja.  Apalagi banjir bandang seperti di Situ Gintung.  Jangan sampai lah.

“Iya, cepat!”

“Tidak usah mandi, Bun?”

“Yaaaa..… mandi dululah.  Sudah mandi saja kadang-kadang masih rada bau, Ca.  Apalagi kalau kamu tidak mandi?  Nanti orang di jalan pada pingsan semua dong, Ca!”

“Aku, Bun?” tanya Sevi ingin ikut juga.

“Untuk sementara kamu temani Mba Sanah.  Rumput di halaman depan.  Di bawah pohon jambu sudah mulai tinggi.  Bantu Mba Sanah memotongnya, ya? Oke?  Nanti Bunda bawakan kue kesukaanmu.”

“Kok bisa begitu, Bun!” protes Sevi.

“Bisa saja.”

“Kenapa, Bun?”

“Karena Bunda tak mau ada perang di perjalanan.”

“Kok perang, Bun.  Maksudnya apa, Bun?” Sevi terus saja melancarkan protes.  Tapi Bunda juga tetap pada pendiriannya.  Tak mungkin berubah.  Dan tak akan berubah.  Tak mungkin menyerah.  Dan tak akan menyerah.

“Pokoknya, kamu di rumah saja.  Bunda cuma sebentar, kok,” kata Bunda menutup rapat-rapat protes Kak Sevi.

Dengan muka cemberut, Kak Sevi pun menyerah kalah.  Tak protes lagi.  Muka dimasukkan ke dalam bukunya.  Telinganya disumbat lagi dengan radionya.

Si kriting pun muncul lagi.  Memakai kaus warna merah menyala.  Memakai celana jeans.  Memakai kacamata hitam segala.  Seperti bintang Bollywood, si ganteng Sang Rukan, eh Sahrukan.  Kalau saja rambut keritingnya tidak dipakai, pasti tak ada yang percaya kalau dia si Mocsya.

“Ayo!” kata Bunda yang sudah siap di mobil.

“Ayah sama Kak Sevi tidak ikut?” tanya Mocsya.

“Sekali-kali kita berdua saja.  Boleh kan?” kata Bunda.

Mocsya hanya tersenyum.  Ada sedikit rasa heran.  Tidak biasanya Bunda seperti ini.  Seperti ada yang disembunyikan.  Tapi biarlah.  Mocsya pun langsung menyingkirkan perasaan itu dari dalam hatinya.  Jauh-jauh.

Mobil melaju.  Melewati jalanan yang selalu macet.  Mobil dan jalan sepertinya selalu berlomba-lomba untuk menjadi yang paling panjang.  Setiap kali bertambah jalan baru, pasti bertambah pula orang yang punya mobil baru. 

Bagaimana kalau suatu saat jumlah mobil sudah banyak sekali.  Mobil itu jalan semua.  Pasti semua mobil menjadi mogok.  Mau jalan ke mana lagi?  Jalanan semua sudah terisi mobil.  Pasti orang akan turun dari mobil-mobilnya untuk jalan bersama.  Lucu, ya?  Punya mobil tapi malah pada jalan kaki.

Mocsya senyum sendiri.

Bunda melirik Mocsya.  Ada apa?  Tanya Bunda dalam hati.

Bunda pun mengajak Mocsya bicara.  Bunda takut kalau Mocsya seyum-senyum sendiri.  Jika keterusan menjadi ….  Tapi tak usah diceritakan di sini, ya?  Soalnya Bunda hanya mengajak bicara sesuatu yang biasa-biasa saja.  Misalnya,  bagaimana pelajaran Oca di sekolah?  Bagaimana guru-guru Oca di sekolah?  Bagaimana teman-teman Oca di sekolah?

Hah!!!!

Bunda bertanya tentang teman-teman Mocsya?  Kenapa, ya?  Jangan-jangan Bunda  ….

Mocsya ingat peristiwa tiga hari yang lalu.  Bagus. Ya, si Bagus.  Teman satu sekolah.  Satu kelas pula. Tapi bukan, bukan teman!  Kalau teman pasti tidak begitu.

Kenapa memang?

Masa Bagus selalu dekat dengan Ismi? Ke mana-mana selalu bersama.  Ke perpustakaan, ke kantin, bahkan kalau pulang pun selalu terlihat berdua.  Padahal seharusnya Bagus tahu kalau Mocsya juga ingin dekat dengan Ismi kan?  Karena Mocsya ingin dekat dengan Ismi, maka siapa pun yang dekat Ismi berarti musuh Mocsya.  Tak boleh ada yang dekat dengan Ismi. 

Wah gawat!!!

Bagus memang pandai.  Pantas kalau banyak teman perempuan yang ingin dekat dengannya.  Lumayan.   Kalau dekat Bagus, pasti nilai ulangan akan bisa lebih tinggi.  Kan dapat contekan.

Mocsya pun marah.  Bersama Andi, Firdaus, dan Teguh, Mocsya mendatangi Bagus saat pulang sekolah.  Tanpa berkata apa-apa, mereka berempat mengeroyoknya.  Bagus merintih kesakitan.  Sempat ada darah yang keluar dari mulut Bagus.  Terus besoknya Bagus tidak masuk sekolah.    

Jangan-jangan Bunda tahu kalau Mocsya telah bertindak tidak benar.  Jangan-jangan Bu Lina, walikelas Mocsya sudah memberi tahu Bunda.  Atau jangan-jangan, Mocsya sudah dikeluarkan dari sekolah?

“Kok bengong lagi?” tanya Bunda.

Mocsya dengan enggan menjawab, “Tidak apa-apa kok, Bunda.”

Tapi tetap saja Mocsya tak dapat menyembunyikan perasaan bersalahnya.  Bagaimana kalau Bunda memang sudah tahu dengan apa yang telah dilakukannya?  Bagaimana kalau Kak Sevi juga tahu?  Kalau kak Sevi tahu, mungkin Mocsya hanya diolok-oloknya.  Tapi bagaimana kalau ayah juga tahu?  Mocsya pasti habis dipukulnya.  Ayah Mocsya memang galak.  Mocsya terkadang merasa tak takut pada macan kalau Ayah sedang marah.  Lebih baik diterkam macan daripada dimarahi Ayah.

Mobil berbelok ke mall.  Bunda mengajak Mocsya makan.  Sayang, makanan yang biasanya terasa enak, tak lagi terasa enak.  Perasaan Mocsya memang sedang tidak karuan.  Ada perasaan bersalah.  Ada rasa sesal.  Mengapa harus emosi? Mengapa harus melukai Bagus?

Sehabis makan, Bunda mengajak Mocsya ke rumah sakit.  Menengok seseorang.  Kata Bunda teman kantor.  Mocsya agak kurang percaya.  Jangan-jangan Bagus yang dirawat.  Bagaimana kalau benar, bagus yang dirawat?

Rumah sakit.  Mendengar kata rumah sakit saja sudah tidak sedap.  Mengapa harus dinamai rumah sakit?  Seharusnya jangan disebut rumah sakit.  Diganti saja menjadi rumah sehat.  Rumah bagi orang yang ingin sehat.  Jadi tidak seram.  Nanti usulkan saja sama guru bahasa Indonesia.  Siapa tahu bisa.

Baru sampai di depan rumah sakit, sengatan bau obat sudah menusuk hidung.  Mocsya agak mual.  Hendak muntah.  Ditahannya kuat-kuat.  Jangan sampai muntah di depan umum.  Malu.  Mocsya ingin menolak untuk ikut masuk ke rumah sakit.  Tapi sudah terlanjur.  Dengan terpaksa, Mocsya pun mengikuti langkah-langkah Bunda.  Semakin lama, debar jantung Mocsya semakin tak beraturan.  Dag, dig, dug, der! Dag dig dug der!! Dag dig dug der!!!

Bunda masuk ke sebuah kamar.  Ada seorang ibu di situ. 

“Oh, Bu Diah.  Silakan Ibu,” sapa ibu tersebut kepada Bunda dengan ramah.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Bunda.

“Alhamdulillah sudah mulai pulih.”

Ternyata seorang bapak yang sedang sakit.  Sepertinya memang teman Bunda.  Hati Mocsya pun menjadi normal kembali.  Lega.  Bunda memang tak pernah bohong.  Bunda selalu mengajarkan kejujuran. 

Tak begitu lama.  Hanya sebentar saja.  Hanya bicara basa basi.  Bunda pun pamit pulang.  Mocsya tidak mengerutkan keningnya lagi.  Sekarang sudah bisa tersenyum.  Bahkan sambil menyanyi dalam hati.  Mau tahu Mocsya menyanyi apa?  Mocsya menyanyi lagu “Cicak-cicak Di Dinding”.  Bukan lagu biasa, tapi dalam versi dangdut. 

Terlalu senang.  Senyum Mocsya juga terlalu lebar.  Sampai-sampai seorang anak kecil yang berpapasan dengannya minggir ketakutan.  Mungkin disangkanya Mocsya adalah salah satu penghuni bagian sakit jiwa di rumah sakit itu. 

Ha ha haaaaaaaaaa!

Sampai di pintu rumah sakit dan hendak berbelok ke tempat parkir.  Mocsya melihat ada rombongan anak-anak.  Dan lebih aneh lagi, sepertinya Mocsya mengenali mereka. Apalagi anak yang memakai kaus pink.  Ismi, ya, Ismi dan teman-temannya.  Kok ada di sini?  Tanya Mocsya dalam hati. 

Bunda juga melihat mereka.  Bunda memanggil Ismi.  Bunda memang sudah kenal dengan Ismi.  Ibu Ismi teman Bunda.

“Ismi!” panggil Bunda.

Ismi menengok.  Ismi tersenyum kepada Bunda.

“Habis dari mana, tante?” tanya Ismi.

“Habis menjenguk teman tante.  Kamu sendiri mau ke mana?  Kok ramai-ramai?” Bunda balik bertanya.

“Habis menengok teman, Tante.  Lho, memangnya Mocsya belum cerita?” kata Ismi sambil memandang Mocsya dengan menahan rasa marah.  Mocsya hanya tertunduk.  Tak bisa berkata apa-apa.  Malu.  Juga menyesal.  Tapi mau dikata apa.  Ibarat nasi sudah menjadi bubur.  Terlanjur.  Mocsya hanya pasrah.  Pasrah pada apa pun yang akan terjadi.

“Mocsya tidak cerita apa-apa.  Memangnya ada apa?” tanya Bunda dengan perasaan yang ditahan.  Mungkin Bunda juga malu.  Malu pada kelakuan Mocsya.

“Mocsya telah mengeroyok Bagus, Tante.  Dan sekarang Bagus dirawat di rumah sakit ini,” jawab Ismi.

“Apa?!” Bunda tak kuasa menahan rasa terkejutnya.  Dengan penuh tanda tanya, Bunda memandangi Mocsya dari ujung rambut sampai ujung kaki.  Kalau Mocsya malas mengerjakan PR sepertinya sudah biasa Bunda dengar.  Kalau Mocsya menjadi biang ribut di kelas, juga sudah berapa kali Bunda dengar.  Tapi kok sekarang malah mengeroyok temannya sampai temannya dirawat di rumah sakit?  Luar biasa!

“Permisi, Tante.  Ismi pulang dulu,” kata Ismi pamit.

“Sebentar.  Bagus dirawat di ruang  berapa?” tanya Bunda.

“Anggrek 23.”

“Terima kasih, Ismi.”

Mocsya seakan disambar petir di siang bolong.  Tak ada gerimis, tak ada hujan, tahu-tahu badai datang.  Sekarang Mocsya harus mempertangungjawabkan perbuatannya. 

“Mocsya kita jenguk Bagus dulu, ya?” kata Bunda.

Mocsya mengangguk pelan.  Mengikuti Bunda ke ruang Anggrek 23 tempat Bagus dirawat.  Di ruang itu terlihat sepotong tubuh kerempeng tergolek lemah.  Ada selang infus di tangan.  Bagus tertidur.  Tapi sebentar-sebentar merintih kesakitan. 

Bagus hanya ditunggui kakeknya. 

“Mudah-mudahan tak apa,” Mocsya berdoa dalam hati.  Mocsya tak tega juga melihat kondisi Bagus.  Tak disangka, perbuatannya bisa berakibat seperti itu.

“Kakeknya Bagus?” tanya Bunda.

“Iya. Ibu siapa?”

“Saya ibunya Mocsya.  Teman Bagus.”

Mocsya agak takut kalau kakek Bagus akan marah mendengar nama Mocsya disebut.  Kakek Bagus pasti sudah tahu kalau yang membuat cucunya seperti itu adalah anak yang sekarang ada di depan matanya.

“Oooooh,  Mocsya,” hanya itu kata yang keluar dari mulut kakek.  Tak ada nada marah.

“Mocsya, sini!” panggil Bunda.  Mata dipejamkan.  Tersandung.  Hampir menubruk meja.  Tak sakit.  M

Mocsya masuk dengan agak gemetar.  Muka tertunduk.ocsya tak tega melihat kondisi Bagus.  Dia tak salah apa-apa.  Apa salah kalau Bagus berjalan dengan Ismi?  Tidak kan?  Kenapa Mocsya harus mengeroyoknya?  Harusnya Mocsya bangga punya teman yang pandai.  Tapi sayang.  Sekali lagi, sayang.  Semua sudah terlanjur.  Paling-paling Mocsya hanya bisa minta maaf.

“Maafkan Mocsya, Kek,” kata Mocsya lirih.  Suaranya hampir tak terdengar.  Tapi suara itu betul-betul dari hati Mocsya.  Hati Mocsya yang paling dalam.

Kakek hanya mengangguk.  Mengelus kepala Mocsya.  Dengan sayang.  Mocsya dapat merasakannya. 

“Lihat akibat dari perbuatanmu,” suara Bunda terdengar lembut.  Tapi Mocsya juga merasa ada nada marah yang ditahan pada kata-kata Bunda.

“Tidak apa-apa kok Bu.  Sebentar lagi sudah boleh pulang.”

“Kamu salah, Ca!” kata Bunda.  Semakin membuat Mocsya malu.  Malu pada Kakeknya Bagus.

“Maafkan aku, Gus,” kata Mocsya.  Juga dengan suara lirih.

“Kakek sendirian?” tanya Bunda.

“Kakek memang hanya berdua dengan Bagus.”

“Orang tua bagus ke mana?”

“Tidak ke mana-mana,” kata kakek sambil memberi isyarat untuk berbincang di luar ruangan saja.

“Sebetulnya Bagus itu sudah tidak punya siapa-siapa.  Tidak punya ibu.  Juga tak punya bapak,” kata Kakek.

“Oh, orangtua Bagus sudah tiada, Kek?  Maaf.  Nama kakek?” tanya Bunda penasaran.

“Panggil saja Kakek Junaedi.”

Kakek Junaedi berhenti sejenak.  Menghela nafasnya.  Matanya berkaca-kaca.  “Kalau dikatakan orangtua Bagus sudah tidak ada juga tidak benar.”

Bunda hanya diam.   Bingung.  Mocsya juga bingung.

“Sebetulnya, Bagus itu juga bukan cucu saya,” jelas Kakek lagi.

Bunda hanya diam.   Bingung.  Mocsya juga bingung.

“Dia itu anak jalanan yang saya angkat menjadi cucu saya.  Karena dia anak yang rajin.  Saya pikir, tak ada salahnya kalau kakek membantu dia,” lanjut kakek.

Hah!  Bagus anak jalanan.  Tak punya siapa-siapa.  Kakek itu juga bukan kakeknya?  Mocsya semakin merasa bersalah. 

“Mocsya, kamu sudah pernah ke rumah kakek belum?” tanya kakek mengagetkan Mocsya.

“Ehm, belum, Kek,” jawab Mocsya agak gugup.

“Sekali-kali mainlah ke rumah Bagus!”

“Ya, kapan-kapan, Kek.”

“Kek, bagaimana kalau saya bantu untuk biaya rumah sakitnya?” tanya Bunda.

“Saya sangat berterima kasih, Bu.” 

Bunda pergi ke kasir.  Membayar semua tagihan.  Bunda juga memberi uang untuk menebus obat.  Kemudian Bunda mengajak Mocsya pulang.  Selama perjalanan pulang, Mocsya hanya diam.  Diam seribu seratus bahasa.  Eh, tidak.  Hanya seribu bahasa saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun