Ajakan itu selalu terlontar dari bibirmu, acapkali kita bertemu. Aku sempat menolak. Tapi aku kalah, karena tak pernah dapat menjelaskan alasanku kenapa aku tidak suka berfoto.
"Lihat, kamu cantik tahu." Katamu, sesaat setelah kita mengambil foto bersama, di ponselmu. Itu wefie pertamaku dengan pria. Aku tersenyum, malu melihat wajahku sendiri.
"Gak, jelek. Hapus ya." Aku meminta. Tapi kamu tersenyum lalu menyembunyikan ponselmu. Dan sejak saat itu wajahku tersimpan banyak di ponselmu. Entah potret yang memang sengaja kita lakukan atau ketika kamu diam-diam memotretku, menyebalkan.
Belum lagi esoknya, aku selalu saja dipusingkan oleh teman-teman kerja. Pertanyaan-pertanyaan atau sekadar olokan 'cie'. Ya, kamu selalu saja mempostingnya tiap kali kita selesai foto, malamnya saat kau sendiri di kamarmu, kamu akan memposting foto-foto itu di semua sosial mediamu, tak lupa kamu bubuhkan takarir yang romantis habis itu, kaupikir semakin menambah manis foto kita, justru aku semakin merinding.
Itu pun, satu pertentangan yang kulakukan. Aku tergolong pasif bersosial media. Lalu saat dengamu, kamu sering menandaiku di setiap postinganmu. Akhirnya aku turut membagikannya di ceritaku, sekadar menghargaimu tapi jelas telah berlawanan dengan pribadiku.Karena bagiku, hubunganku denganmu cukup kita saja yang simpan, tak perlu dibagikan sana-sini. Tapi, bagimu tidak begitu. Aku hargai itu.
***
Aku adalah kutu buku seperti kamu kenal. Dan tak pernah berubah. Sedang kau berada di seberang itu. Berlawanan denganku. Tak suka buku. Akhirnya kau mengalah, menentang dirimu sendiri dan sesekali kamu ikut aku.
"Kamu, gak suka bukunya aja atau semuanya?" tanyaku, membalikan pertanyaanmu dulu.
"Semuanya, apa aja?" tanyamu. Padahal kamu tahu. Tapi kamu mengerti maksudku; mereka ulang adegan itu.
"Banyak." Jawabku. "Ya, apa aja?" Tanyamu selalu saja ingin mendengarku menjelaskan lebih banyak.
"Tokonya? Tempat bacanya?..."
"Perpustakaan, maksudnya? Kamu memotong ucapanku.