Â
Akhir-akhir ini, entah kenapa dosen di kampusku gemar sekali memberi tugas yang harus dikerjakan secara berkelompok. Dengan dalih 'mengakrabkan' karena menyatukan beberapa individu dalam satu tim yang diharap dapat bekerja sama dengan baik. Â Lalu alasan lain, untuk 'meringankan' (katanya) seperti peribahasa berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.Â
Tapi bagaimanapun juga, aku tidak pernah membenarkan dalih-dalih tersebut. Aku menyesali bahkan aku sedikit membenci semester ini yang diwarnai dengan tugas-tugas kelompok yang setiap kelompoknya beragam, lain-lain lagi orangnya. Terkadang, bagiku yang introvert ini terasa beban karena harus beradaptasi lagi dan lagi.
Padahal, dua semester saja tidak cukup untuk bisa akrab dan terbiasa dengan orang-orang sekelas. Apalagi kerasnya lingkaran pertemanan di dunia perkuliahan, membuatku terkadang merasa tidak punya teman.
Tanpa disadari, lingkaran itu tercipta dengan sendirinya. Menjadikan mereka berkelompok-kelompok dengan orang-orang yang mereka anggap 'cocok.' Sehingga teramat kentara, perpecahan itu terlihat mencolok. Â Aku sadar, hal semacam ini pasti selalu saja terjadi. Dan, tidak dipungkiri di era maraknya tuntutan kesetaraan masih tercipta kesenjangan, mengelompokkan dengan mencocokkan latar belakang termasuk kelas sosial. Membuat dunia begitu terbatas padahal kebebasan berpuluh tahun digaung-gaungkan.
Imbasnya, pada tugas-tugas kelompok. Ketika kelompok dibuat secara acak, kelompok-kelompok pertemanan yang telah dibuat masing-masing seketika terpecah. Secara terpaksa bergabung dengan yang lain untuk bekerja bersama menyelesaikan satu tugas. Dan, tahu kan artinya dari kata terpaksa? Bisa dilihat hasilnya.
                                                                  ***
"Cla! Aku kelompok kamu, ya!" Jesy, wanita berambut pendek dengan setelan kuliah yang selalu trendi tiba-tiba menyapaku, saat itu dosen memberi keleluasaan, kami bebas menentukan siapa saja anggota kelompok kami. Jelas enak, mereka yang sudah punya kelompok pertemanan masing-masing dengan cepat mendeklarasikan anggota kelompoknya.
Aku hanya diam, sampai Jesy mendekatiku. Memang sejak saat itu aku menjadi akrab dengan Jesy dan kawan-kawannya. Kami berenam. Jesy, Nowela, Rahma, Keyla, dan Sarah mengajakku bergabung dalam kelompoknya. Akhirnya, aku punya kelompok pertamanan juga.
Kami, setiap kali ada tugas kelompok yang diberi keleluasaan untuk menentukan sendiri, seperti orang-orang tanpa bersusah payah memilih siapa-siapa. Segera, biasanya Jesy si paling  aktif dan berani mendeklarasikan anggota kelompok kami. Semuanya, selalu punya konflik.