Mohon tunggu...
M Iqbal M
M Iqbal M Mohon Tunggu... Seniman - Art Consciousness, Writter, and Design Illustrator.

Kontak saya di Instagram: @mochmad.iqbal.m

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ontologi Pesimistik, Kebijaksanaan, dan Sejauh Mana Masyarakat Sipil Mengetahui Ada Tidaknya Covid-19.

10 Januari 2021   23:52 Diperbarui: 26 Februari 2021   18:13 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banin Diar Sukmono, dalam karyanya berjudul Kemandirian Dunia dalam Pemikiran Heidegger (2017), dengan cermat dan jernih menjelaskan bahwa bagi Martin Heidegger; ‘ada’ ialah kehadiran yang memiliki karakter “ada memberi,” “ada menghadirkan”. Maksudnya ada itu tidak mengada–sebagaimana entitas–melainkan memberikan kehadiran entitas. Dengan kata lain, ada dan entitas sifatnya struktural dan bukan kausal. Serta senantiasa belum mencapai suatu yang final (finalitas).

Namun, kehadiran pada manusia sebagai yang sudah selalu datang dan terus datang ini perlu dipahami secara tepat. Kehadiran dalam arti ini bukan berarti manusia secara aktif memproduksinya atau melakukannya lewat kesadaran yang persis dilakukan oleh Sartre. Oleh karenanya, kehadiran yang tak bisa dikontrol oleh manusia ini juga merupakan syarat mutlak adanya manusia. Dengan kata lain, “Dunia” juga bisa menampakkan dalam berbagai cara dengan sekitarnya secara a priori maupun aposteriori (Being and Time, 1996).

Dengan demikian, apakah anda masih optimis dengan kebenaran yang anda peroleh atau optimis dengan keberlanjutan tradisi-tradisi yang telah dimapankan oleh peradaban ?.

Setelah anda mengetahui bahwa kepercayaan antara "ada" dan "tiada" hanyalah ilusi (yang masih terus-menerus menjadi/non-finalitas), mungkin kini anda menjadi pesimis dalam menjalani hidup. Dan memang benar adanya, bahwa satu-satunya yang masuk akal adalah hidup itu tidak pantas untuk dijalani. Dengan kata lain, yang masuk akal adalah pesimisme atas hidup, bukan optimisme atas hidup.

Namun, apakah anda mampu untuk menjadi seorang pesimis sepenuhnya ?, mungkin ada yang mampu dan ada yang tidak. Hanya yang sanggup meruntuhkan vitalitas dirilah (melenyapkan fisiologis-psikologis) yang bisa dijuluki sebagai seorang pesimis sepenuhnya. Akan tetapi tentu saja hal itu sangat mustahil dilakukan oleh orang-orang yang belum sanggup melakukan upaya kemuliaan semacam itu.

Orang-orang yang tidak sanggup itulah yang hendaknya terus-menerus mengupayakan pesimisme, bukan malah menjadi optimis sepenuhnya ataupun menjadi pesimis sepenuhnya. Kondisi dimana orang yang terus-menerus berupaya menerapkan pesimisme inilah yang disebut sebagai "menjadi bayi", seperti yang dikatakan secara aforistik oleh Friderich Nietzsche dalam risalah magnum opusnya berjudul Zarathustra (1883). Istilah "bayi" inilah yang digunakan Nietzsche untuk menamakan seseorang yang tidak menggebu-gebu dalam menjadi pesimis pun tidak menggebu-gebu dalam menjadi optimis.

Kriteria orang seperti ini adalah kriteria orang yang selalu gamang, selalu berhati-hati dan selalu mereevaluasi hidupnya secara terus-menerus. Dalam konteks wabah covid-19 ini, ia tidak terpaku oleh kebenaran yang diperoleh dari para tokoh pejabat dan medis, atau kebenaran dari para tokoh konspirator.

Ia memilih untuk tetap mengantisipasi tapi juga tetap skeptis terhadap medis atau segala macam tokoh. Ia hidup diantara ketegangan-ketengangan fenomena dikotomi semacam itu. Sebab seperti yang dikatakan dimuka tadi, bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat niscaya/pasti. Semua selalu bersifat abu-abu. Tidak ada yang mudah di hitam-putihkan. Serupa metafisika Heraklitus yang menganalogikan kehidupan bak api yang senantiasa bergerak secara dinamis.

Kebijaksanaan.
Maka dari itu, yang bisa kita lakukan sebagai "bayi" adalah bertindak sebaik/sebijak mungkin dalam mengisi sisa hidup kita. Entah dengan cara berupaya tidak melahirkan keturunan, mengurangi hasrat-hasrat destruktif atau konsumtif, mengurangi mengeksploitasi bumi, bahkan meninggalkan tradisi kompetitif dalam membangga-banggakan kemewahan ataupun "daya hidup".

Semacam itulah upaya kita sebagai "bayi" sembari menunggu ajal tiba (misteri tentang ajal). Apakah upaya sedemikian itu mungkin untuk dilakukan ?, tentu saja mungkin, asal kita mau berupaya, namun tentu saja juga tergantung dengan seberapa mampu individu itu berupaya. Sebab setiap individu itu mempunyai kemampuanya masing-masing.

Orang-orang yang sedang berupaya semacam itulah yang juga biasa disebut sebagai pengikut Diogenes. Para manusia yang berupaya meninggalkan "keduniawian" dan memilih untuk menikmati hidup tanpa ada intensitas perasaan yang terlalu menggebu-gebu dalam menjalaninya. Mungkin juga bisa diartikan sebagai upaya pelampauan atas dikotomi kesedihan dan kesenangan, salah dan benar, hitam dan putih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun